Kamis, 23 Agustus 2012

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI UMAYYAH

A.  Pendahuluan

Perkembangan sejarah pendidikan dari masa kemasa selalu mengalami progres yang berdampak baik bagi perkembangan intelektual masyarakat Islam pada saat itu sampai sekarang. Pendidikan terus mengalami perkembagan dari masa Rasulullah, masa Khulafa Ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyyah, bahkan dinasti-dinasti kecil yang muncul diantara dinasti kuduanya dan semakin berkembang pula setelah masa pembaharuan pendidikan Islam.
Setelah masa pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin berakhir, maka dilanjutkan oleh Hasan. Akan tetapi, lemahnya posisi Hasan membuat Umayyah berusaha mendapatkan kedudukan tersebut. Setelah Umayyah menjadi dinasti, ia mengubah sistem pemerintahan menjadi Monarki atau Kerajaan. Pada masa dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa Ar-Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra.  Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.  Metode pengajarannya pun tidak sama.  Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu, selain itu pada masa ini juga terjadi pergolakan politik untuk memperluas wilayah kekuasaan. Semua itu berdampak kepada pola pendidikan Islam pada masa itu, mulai dari adanya perbedaan kurikulum antara murid yang sekolah di Khuttab dengan murid yang sekolah di sekolah Istana dan lain sebagainya.
Pada masa Dinasti Umayyah pola pendidikan Islam senantiasa berusaha untuk bisa lebih  maju dari pendidikan Barat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah kegaiatan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, berkembangnya lembaga pendidikan serta kurikulum dan metodenya, berkembangnya ilmu pengetahuan, serta berkembang pula gerakan-gerakan ilmiah yang belum digalakkan pada masa-masa sebelumnya.
B.  Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
1.    Karakteristik Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Ada beberapa karakteristik pendidikan pada masa Dinasti Umayyah yang berbeda dengan masa Rasulullah dan Khulafa Ar-Rasyidin, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Bersifat Arab
Pendidikan pada masa Dinasti Umayyah adalah bersifat Arab dan Islam tulen, artinya yang terlibat dalam dunia pendidikan masih didominasi oleh orang-orang Arab, karena pada saat itu elemen-elemen Islam yang baru belum begitu tercampur. Hal ini disebabkan karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politik agama dan budaya.
b.    Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam Yang Baru Muncul
Sangat wajar kalau pendidikan Islam pada periode awal berusaha untuk menyiarkan Islam dan ajaran-ajarannya, itulah sebabnya pada periode ini banyak dilakukan penaklukan-penaklukan wilayah dalam rangka menyiarkan dan menguatkan prinsip-prinsip agama. Dalam pandangan mereka Islam adalah agama dan negara, sehingga para khalifah mengutus para ulama dan tentara keseluruh negeri untuk menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya. 
c.    Perioritas Pada Ilmu-Ilmu Naqliyah Dan Bahasa
Pada periode ini, pendidikan Islam memberi prioritas pada ilmu-ilmu naqliyah dan bahasa. Kecenderungan naqliyah dan bahasa dalam aspek budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama bahwa pendidikan pada masa ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama bertujuan untuk mengukuhkan dasar-dasar agama 
d.   Menunjukkan Perhatian Pada Bahan Tertulis Sebagai Media Komunikasi
Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya kepentingan penulisan. Pada mulanya penulisan dirasa penting ketika Nabi Muhammad hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Atas dasar itulah beliau mengangkat orang-orang yang bisa menulis untuk memegang jabatan ini. Pada masa Umayyah tugas penulisan semakin banyak dan terbagi pada lima bidang yaitu, penulis surat, penulis harta, penulis tentara, penulis polisi dan penulis hakim. Dengan demikian pada masa ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan bahasa arab dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun secara tulisan diseluruh wilayah Islam.
e.    Membuka Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing
Keperluan untuk mempelajari bahasa-bahasa asing dirasa sangat perlu semenjak kemunculan Islam yang perama kali walaupun hanya dalam ruang lingkup yang terbatas. Keperluan ini semakin dirasa penting ketika Islam dipegang oleh dinasti Umayyah, dimana wilayah Islam sudah semakin meluas sampai ke Afrika utara dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang bahasa mereka bukanlah bahasa Arab. Dengan demikian pengajaran bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan Islam masa itu bahkan sejak kemunculan Islam pertama kali.[1]
f.     Menggunakan Surau (Kuttab) dan Masjid
Diantara jasa besar dinasti umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada masa ini pula pendirian masjid banyak dilakukan terutama didaerah-daerah yang baru ditaklukkan, pada masa ini pula didirikan masjid zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua didunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’ yang menaklukkan Afrika utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa kerajaan Umayyah pada saat itu.[2]  

2.    Tempat-Tempat Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Diantara tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
a.    Khuttab
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[3]
b.    Masjid
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah.[4] Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[5]


c.    Majelis Sastra
d.   Pendidikan Istana
yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.[7]
e.    Pendidikan Badiah
yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.[8]

3.    Pusat-Pusat Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:[9]
a.       Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
b.      Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c.       Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
d.      Madrasah Kufah
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e.       Madrasah Damsyik (Syam)
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f.       Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat yang pertamakali mendirikan madrasah dan menjadi guru dimesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli hadis yang bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi beliau juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana Al-Auza’i di Syam.    

4.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Disamping melakukan ekspansi, pemerintahan dinasti umayyah juga menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama’ mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.[10] Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:[11]    
a.       Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b.      Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
c.       Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d.      Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

5.      Gerakan-Gerakan Ilmiah Pada Masa Bani Umayyah
a.    Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an[12]
Al-Qur’an yang telah dikodifikasikan pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan ditulis tanpa titik, sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf fa’ dan huruf qaf  atau buruf ta’ dengan huruf ba’ dan huruf tsa’ dan baris sehingga tidak dapat dibedakan dhamma yang berbunyi “u fathah yang berbunyi ‘a’ dan kasroh yang berbunyi “i”. Menurut salah satu riwayat ulama’ yang pertama kali memberikan baris dan titik pada huruf-huruf al-Qur’an adalah Hasan al-Bashri atas perintah Abd. Malik Ibn Marwan. Beliau menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan al-Qur’an, al-Hajjaj meminta Hasan Al-Bashri untuk menyempurnakannya; dan hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya ibn Ya’mura.    


b.   Penulisan Hadits
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri    
   
c.    Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian terkenal dengan sebutan ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak akidah Islam. Kemudian berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.   
     
d.   Madrasah Hasan Al-Bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.          

e.       Gerakan Ijtihad
Dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa sahabat dan seterusnya, dan karena adanya interaksi dengan budaya-budaya bangsa lain, pola kehidupan masyarakat muslim banyak terjadi perubahan dan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Permasalahan-permasalahan baru tersebut mendorong para sahabat untuk menetapkan ketentuan hukum yang sifatnya baru pula. Sebenarnya secara umum Nabi Muhammad saw, telah memberikan pedoman bagaimana cara memberikan keputusan hukum terhadap masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.[13]
Petunjuk Nabi Muhammad saw dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ada dicari dalam sunnah atau hadits, dan jika tidak terdapat dalam keduanya maka gunakan akal pikiran (ijtihad) untuk memberikan ketentuan hukum. Namun demikian, ternyata dalam prakteknya mereka mengalami kesulitan, karena pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum.[14]
Penjelasan yang rinci terdapat dalam hadits Rasulullah. Sedangkan hadits Rasulullah tentunya tidak semua sahabat mengetahuinya secara lengkap. Kesulitan tersebut menjadi lebih nampak  jika suatu perkara terjadi pada daerah yang jauh dari sahabat atau tabi’in yang menanganinya tidak mengetahui hadits yang sesuai. Bagaimana penggunaan ra’yu atau ijtihad tentunya hal ini akan sangat tergantung kepada kemampuan sahabat atau tabi’in atau petugas yang bersangkutan. Dengan demikian dimungkinkan akan timbul berbagai macam keputusan hukum yang berbeda dengan masalah yang sama.[15]  
Menurut Zuhairini, saat itu dalam ijtihad berkembang dua pola, pertama, tokoh-tokoh hadits dalam memberikan ketetapan hukum  sangat tergantung pada ketetapan Rasulullah, sehingga bagaimana pun juga, mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain. Mereka ini lah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi sayangnya pada masa itu telah berkembang pula hadits-hadits palsu untuk kepentingan-kepentingan politik. Pola kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl-al-Ra’yu (ahli pikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak hadits-hadits palsu. Sehubungan dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits yang kuat atau sahih saja, dan mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu dalam berijtihad. Selanjutnya aliran Ahl-al-Ra’yu ini mendorong usaha penelitian terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Disamping itu, mereka juga mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian disebut sebagai ilmu ushul fiqih.[16]
Dari dua pola umum ijtihad tersebut, kemudian berkembang sebagai madzhab (aliran) dalam fiqih, yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya. Diantara ahli-ahli fiqih yang saat itu berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih adalah Abu Hanifah yang memimpin madrasah Khuffah dan Imam Malik yang memegang madrasah Madinah.   
                       
 




















C.    ANALISIS

Pada masa dinasti Umayah telah terjadi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari Theo Demokrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Pada saat itu situasi politik masih belum stabil sehingga kebijakan pemerintahan dalam pendidikan terus berubah-ubah. Ini dikarenakan upaya peralihan kekuasaan dari Hasan dianggap dilakukan atas dasar kelicikan. Sebelumnya Muawwiyyah telah berjanji tidak akan merubah sistem pemerintahan. Akan tetapi, Muawwiyyah tetap merubah sistemnya menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini sangat berdampak sekali terhadap pola pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa sebelum dinasti Umayah, pendidikan difokuskan di Khuttab dan di Masjid.
Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja didasarkan atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Pendidikan ini bertujuan agar anak-anak para raja diajarkan ilmu-ilmu tentang kepemimpinan dari sebuah kerajaan. Kurikulum dalam pendidikan istana inipun berbeda dengan kurikulum yang diberlakukan di Khuttab atau masjid. Kurikulum di pendidikan istana ini ditentukan dan diatur oleh guru dan orangtua. Ini menyebabkan terjadi perbedaan kurikulum.
Selain itu, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Umayyah, menyebabkan penggunaan bahasa Arab semakin berkembang. Ini menyebabkan berdirinya Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad. Untuk mengimbangi dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada saat itu telah memulai kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang oleh orang barat. Ini bertujuan agar orang-orang Islam bisa memperoleh ilmu dari buku tersebut. tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. 

































DAFTAR RUJUKAN

Al Abrasi, Athiyya. 1993. Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani. Jakarta: Bulan Bintang

Anwar, Saipul. Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah
Langgulung, Hasan. 1980. Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21. Jakarta: Pustaka Al Husna

Langgulung, Hasan. 1998.  Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Husna

Langgulung, Hasan.  2001. Pendidikan Islam Dalam abad Kesatu. Jakarta: Al-Husna Zikra
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: kencana
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta. 1986. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Salabi, Ahmad.  1972. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana
Yunus, Mahmud.  1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hida Karya Agung
Zuhairini. 1992.  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara


[1] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1998), hlm. 69-74
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Dalam abad Keduapuluh satu, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001), hlm. 18
[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm.47
[4] Athiyya Al Abrasi, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hlm. 56
[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 19
[6] Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1972), hlm. 72
[7] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 91
[8] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 96
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989 ), hlm. 34-39
[10] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: kencana, 2008), hlm.59
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 41-42
[12] Saipul Anwar, Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah

[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 85

4 komentar:

  1. terimah kasih... Minta izin copy yah... :)

    BalasHapus
  2. Prediksi Bola Jitu Dan Jadwal Bola Malam Ini Ini Dirancang khusus oleh tim ahli bola kami dan sudah pasti tentang keakuratan nya. Semoga Prediksi ini dapat membantu anda semua khususnya member setia kami

    Diinformasikan Untuk Para Pemain Taruhan Bola Jalan Di Indonesia. Kami Rekomendasikan Agen Bola Jalan Terpercaya Di Seluruh Indonesia. Bola206 Menjadi Salah Satu Agen Sabung Ayam dengan Catatan Terbaik dalam Memberikan Kepuasan Kepada Seluruh Pecinta Sabung Ayam Online di Indonesia.

    Untuk Bermain Sabung Ayam S128 Dapat Langsung Klik Link Dibawah Ini :
    Buat Akun S128

    BalasHapus
  3. Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus