A.
Pendahuluan
Perkembangan
sejarah pendidikan dari masa kemasa selalu mengalami progres yang berdampak
baik bagi perkembangan intelektual masyarakat Islam pada saat itu sampai
sekarang. Pendidikan terus mengalami perkembagan dari masa Rasulullah, masa
Khulafa Ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyyah, bahkan dinasti-dinasti
kecil yang muncul diantara dinasti kuduanya dan semakin berkembang pula setelah
masa pembaharuan pendidikan Islam.
Setelah
masa pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin berakhir, maka dilanjutkan oleh Hasan.
Akan tetapi, lemahnya posisi Hasan membuat Umayyah berusaha mendapatkan
kedudukan tersebut. Setelah Umayyah menjadi dinasti, ia mengubah sistem
pemerintahan menjadi Monarki atau Kerajaan. Pada masa dinasti Umayyah perluasan
daerah Islam sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang
merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa Ar-Rasyidin yaitu: Hijaz,
Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring
dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga
seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra. Materi yang diajarkan
bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tidak
sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang
tertentu, selain itu pada masa ini juga terjadi pergolakan politik untuk
memperluas wilayah kekuasaan. Semua itu berdampak kepada pola pendidikan Islam
pada masa itu, mulai dari adanya perbedaan kurikulum antara murid yang sekolah
di Khuttab dengan murid yang sekolah di sekolah Istana dan lain sebagainya.
Pada masa
Dinasti Umayyah pola pendidikan Islam senantiasa berusaha untuk bisa
lebih maju dari pendidikan Barat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
kegaiatan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, berkembangnya
lembaga pendidikan serta kurikulum dan metodenya, berkembangnya ilmu
pengetahuan, serta berkembang pula gerakan-gerakan ilmiah yang belum digalakkan
pada masa-masa sebelumnya.
B.
Perkembangan
Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
1.
Karakteristik
Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Ada beberapa karakteristik
pendidikan pada masa Dinasti Umayyah yang berbeda dengan masa Rasulullah dan Khulafa
Ar-Rasyidin, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Bersifat Arab
Pendidikan pada masa Dinasti Umayyah
adalah bersifat Arab dan Islam tulen, artinya yang terlibat dalam dunia
pendidikan masih didominasi oleh orang-orang Arab, karena pada saat itu
elemen-elemen Islam yang baru belum begitu tercampur. Hal ini disebabkan karena
pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politik
agama dan budaya.
b.
Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar
Agama Islam Yang Baru Muncul
Sangat wajar kalau pendidikan Islam
pada periode awal berusaha untuk menyiarkan Islam dan ajaran-ajarannya, itulah
sebabnya pada periode ini banyak dilakukan penaklukan-penaklukan wilayah dalam
rangka menyiarkan dan menguatkan prinsip-prinsip agama. Dalam pandangan mereka Islam
adalah agama dan negara, sehingga para khalifah mengutus para ulama dan tentara
keseluruh negeri untuk menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya.
c.
Perioritas Pada Ilmu-Ilmu Naqliyah
Dan Bahasa
Pada periode ini, pendidikan Islam
memberi prioritas pada ilmu-ilmu naqliyah dan bahasa. Kecenderungan naqliyah
dan bahasa dalam aspek budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama
bahwa pendidikan pada masa ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama
bertujuan untuk mengukuhkan dasar-dasar agama
d.
Menunjukkan Perhatian Pada Bahan Tertulis
Sebagai Media Komunikasi
Datangnya Islam merupakan faktor penting
bagi munculnya kepentingan penulisan. Pada mulanya penulisan dirasa penting
ketika Nabi Muhammad hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Atas
dasar itulah beliau mengangkat orang-orang yang bisa menulis untuk memegang
jabatan ini. Pada masa Umayyah tugas penulisan semakin banyak dan terbagi pada
lima bidang yaitu, penulis surat, penulis harta, penulis tentara, penulis
polisi dan penulis hakim. Dengan demikian pada masa ini terjadi Arabisasi dalam
semua segi kehidupan dan bahasa arab dijadikan bahasa komunikasi baik secara
lisan maupun secara tulisan diseluruh wilayah Islam.
e.
Membuka Pengajaran Bahasa-Bahasa
Asing
Keperluan untuk mempelajari
bahasa-bahasa asing dirasa sangat perlu semenjak kemunculan Islam yang perama
kali walaupun hanya dalam ruang lingkup yang terbatas. Keperluan ini semakin
dirasa penting ketika Islam dipegang oleh dinasti Umayyah, dimana wilayah Islam
sudah semakin meluas sampai ke Afrika utara dan Cina serta negeri-negeri
lainnya yang bahasa mereka bukanlah bahasa Arab. Dengan demikian pengajaran
bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan Islam masa itu bahkan
sejak kemunculan Islam pertama kali.[1]
f.
Menggunakan Surau (Kuttab) dan Masjid
Diantara jasa besar dinasti umayyah
dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas
ilmiah. Pada masa ini pula pendirian masjid banyak dilakukan terutama
didaerah-daerah yang baru ditaklukkan, pada masa ini pula didirikan masjid
zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua didunia yang
masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’ yang
menaklukkan Afrika utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi
pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa
kerajaan Umayyah pada saat itu.[2]
2.
Tempat-Tempat
Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan
pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah
di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra. Diantara
tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
a.
Khuttab
Khuttab
merupakan tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan menghafal Al Quran
serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang
dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar
menulis dan tata bahasa serta tulisan. Al Quran dipakai sebagai bahasa
bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis
untuk dipelajari. Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga
mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[3]
b.
Masjid
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah
dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al
Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak,
gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Diantara
jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan
adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah.[4] Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah Islam.
Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan
penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn
Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap
Universitas tertua sampai sekarang.[5]
c. Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi
membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai
urusan politik. Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan
kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab
dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[6]
d. Pendidikan Istana
yaitu pendidikan yang
diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para
pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk
memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada
sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya
diatur oleh guru dan orang tua murid.[7]
e. Pendidikan Badiah
yaitu tempat belajar
bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik
ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui
di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut.
Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar
bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn
Ahmad.[8]
3.
Pusat-Pusat
Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan
menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan
guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah
tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:[9]
a. Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah
Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram
dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi
ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh
dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur
seluruh negeri Islam.
b. Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di
sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat
ulama-ulama terkemuka.
c. Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas
bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al
Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry
sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia
bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga
mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
d.
Madrasah Kufah
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu:
‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil.
Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah.
Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di
Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e. Madrasah Damsyik (Syam)
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya
banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah.
Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman Al-Auza’iy yang
sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di
Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap,
karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f. Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat yang pertamakali mendirikan
madrasah dan menjadi guru dimesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau
adalah seorang ahli hadis yang bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi
beliau juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa
dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang
terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu
Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin
Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab
tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana Al-Auza’i di Syam.
4.
Perkembangan
Ilmu Pengetahuan
Disamping melakukan
ekspansi, pemerintahan dinasti umayyah juga menaruh perhatian dalam
bidang pendidikan. memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan
dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan,
para seniman, dan para ulama’ mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang
dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.[10]
Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:[11]
a. Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh.
Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak
saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang
membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al
Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
c. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang
mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya
berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung
dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
5.
Gerakan-Gerakan
Ilmiah Pada Masa Bani Umayyah
a.
Penyempurnaan
Tulisan Al-Qur’an[12]
Al-Qur’an yang
telah dikodifikasikan pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan ditulis tanpa
titik, sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf fa’ dan huruf qaf
atau buruf ta’ dengan huruf ba’
dan huruf tsa’ dan baris sehingga tidak dapat dibedakan dhamma yang
berbunyi “u” fathah yang berbunyi ‘a’ dan kasroh
yang berbunyi “i”. Menurut salah satu riwayat ulama’ yang pertama kali
memberikan baris dan titik pada huruf-huruf al-Qur’an adalah Hasan al-Bashri
atas perintah Abd. Malik Ibn Marwan. Beliau menginstruksikan kepada Al-Hajjaj
untuk menyempurnakan tulisan al-Qur’an, al-Hajjaj meminta Hasan Al-Bashri untuk
menyempurnakannya; dan hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya ibn Ya’mura.
b.
Penulisan
Hadits
Umar bin Abdul
Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau
memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas
perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya
adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru
Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak
diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang
membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri
c.
Teologi Islam
(Ilmu Kalam)
Berhadapan
dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum
datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam. Timbul dalam
Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian terkenal dengan sebutan
ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis
dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak akidah Islam. Kemudian
berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran
yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan
selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan
politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama
setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara
licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.
d.
Madrasah Hasan
Al-Bashri
Madrasah Hasan
Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan
antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu
ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan,
kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang
membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau
rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk
memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan
jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan
mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”.
Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya
sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya.
Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya
adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.
e.
Gerakan
Ijtihad
Dengan semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa sahabat dan seterusnya, dan karena
adanya interaksi dengan budaya-budaya bangsa lain, pola kehidupan masyarakat
muslim banyak terjadi perubahan dan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan
baru. Permasalahan-permasalahan baru tersebut mendorong para sahabat untuk
menetapkan ketentuan hukum yang sifatnya baru pula. Sebenarnya secara umum Nabi
Muhammad saw, telah memberikan pedoman bagaimana cara memberikan keputusan
hukum terhadap masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.[13]
Petunjuk Nabi
Muhammad saw dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama
hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ada dicari
dalam sunnah atau hadits, dan jika tidak terdapat dalam keduanya maka gunakan
akal pikiran (ijtihad) untuk memberikan ketentuan hukum. Namun demikian,
ternyata dalam prakteknya mereka mengalami kesulitan, karena pada umumnya ayat-ayat
al-Qur’an hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum.[14]
Penjelasan
yang rinci terdapat dalam hadits Rasulullah. Sedangkan hadits Rasulullah
tentunya tidak semua sahabat mengetahuinya secara lengkap. Kesulitan tersebut
menjadi lebih nampak jika suatu perkara
terjadi pada daerah yang jauh dari sahabat atau tabi’in yang menanganinya tidak
mengetahui hadits yang sesuai. Bagaimana penggunaan ra’yu atau ijtihad
tentunya hal ini akan sangat tergantung kepada kemampuan sahabat atau tabi’in
atau petugas yang bersangkutan. Dengan demikian dimungkinkan akan timbul
berbagai macam keputusan hukum yang berbeda dengan masalah yang sama.[15]
Menurut
Zuhairini, saat itu dalam ijtihad berkembang dua pola, pertama, tokoh-tokoh
hadits dalam memberikan ketetapan hukum
sangat tergantung pada ketetapan Rasulullah, sehingga bagaimana pun
juga, mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat
lain. Mereka ini lah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan
hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Yang mendapat dukungan sepenuhnya dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi sayangnya pada masa itu telah berkembang
pula hadits-hadits palsu untuk kepentingan-kepentingan politik. Pola kedua
adalah yang dikembangkan oleh Ahl-al-Ra’yu (ahli pikir). Mereka ini
karena keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak
hadits-hadits palsu. Sehubungan dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits
yang kuat atau sahih saja, dan mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu dalam
berijtihad. Selanjutnya aliran Ahl-al-Ra’yu ini mendorong usaha
penelitian terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Disamping
itu, mereka juga mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu
dalam berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian disebut
sebagai ilmu ushul fiqih.[16]
Dari dua pola
umum ijtihad tersebut, kemudian berkembang sebagai madzhab (aliran) dalam
fiqih, yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya. Diantara
ahli-ahli fiqih yang saat itu berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih
adalah Abu Hanifah yang memimpin madrasah Khuffah dan Imam Malik yang memegang
madrasah Madinah.
C.
ANALISIS
Pada masa
dinasti Umayah telah terjadi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari Theo
Demokrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Pada saat itu situasi
politik masih belum stabil sehingga kebijakan pemerintahan dalam pendidikan
terus berubah-ubah. Ini dikarenakan upaya peralihan kekuasaan dari Hasan
dianggap dilakukan atas dasar kelicikan. Sebelumnya Muawwiyyah telah berjanji
tidak akan merubah sistem pemerintahan. Akan tetapi, Muawwiyyah tetap merubah
sistemnya menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini sangat berdampak
sekali terhadap pola pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa sebelum dinasti
Umayah, pendidikan difokuskan di Khuttab dan di Masjid.
Setelah
sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja didasarkan
atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Pendidikan
ini bertujuan agar anak-anak para raja diajarkan ilmu-ilmu tentang kepemimpinan
dari sebuah kerajaan. Kurikulum dalam pendidikan istana inipun berbeda dengan
kurikulum yang diberlakukan di Khuttab atau masjid. Kurikulum di pendidikan
istana ini ditentukan dan diatur oleh guru dan orangtua. Ini menyebabkan terjadi
perbedaan kurikulum.
Selain itu,
seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Umayyah, menyebabkan
penggunaan bahasa Arab semakin berkembang. Ini menyebabkan berdirinya
Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini
terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka
muncul istilah badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih
dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah
yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga
pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad. Untuk mengimbangi dengan
tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan pelajaran
terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada saat itu telah
memulai kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang oleh orang
barat. Ini bertujuan agar orang-orang Islam bisa memperoleh ilmu dari buku
tersebut. tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai
kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni
bangunan.
DAFTAR RUJUKAN
Al
Abrasi, Athiyya. 1993. Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A.
Ghani. Jakarta: Bulan Bintang
Anwar,
Saipul. Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah
Langgulung,
Hasan. 1980. Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21. Jakarta: Pustaka Al
Husna
Langgulung, Hasan. 1998. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta:
Pustaka Husna
Langgulung,
Hasan. 2001. Pendidikan Islam Dalam
abad Kesatu. Jakarta: Al-Husna Zikra
Nizar, Samsul.
2008. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: kencana
Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta.
1986. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam
Salabi,
Ahmad. 1972. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang
Sunanto,
Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta:
Kencana
Yunus,
Mahmud. 1989. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Hida Karya Agung
Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :
Bumi Aksara
[1]
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan
Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1998), hlm. 69-74
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Dalam
abad Keduapuluh satu, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001), hlm. 18
[3] Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm.47
[4] Athiyya
Al Abrasi, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani, (Jakarta,
Bulan Bintang, 1993), hlm. 56
[5]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad-21, (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 19
[6] Ahmad
Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1972), hlm. 72
[7] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 91
[8] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, hlm.
96
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Hida Karya Agung, 1989 ), hlm. 34-39
[10] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam
Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,
(Jakarta: kencana, 2008), hlm.59
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 41-42
[13] Ibid.,
[14]
Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004) hlm. 85
Izin copy
BalasHapusPrediksi Bola Jitu Dan Jadwal Bola Malam Ini Ini Dirancang khusus oleh tim ahli bola kami dan sudah pasti tentang keakuratan nya. Semoga Prediksi ini dapat membantu anda semua khususnya member setia kami
BalasHapusDiinformasikan Untuk Para Pemain Taruhan Bola Jalan Di Indonesia. Kami Rekomendasikan Agen Bola Jalan Terpercaya Di Seluruh Indonesia. Bola206 Menjadi Salah Satu Agen Sabung Ayam dengan Catatan Terbaik dalam Memberikan Kepuasan Kepada Seluruh Pecinta Sabung Ayam Online di Indonesia.
Untuk Bermain Sabung Ayam S128 Dapat Langsung Klik Link Dibawah Ini :
Buat Akun S128
Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia