Kamis, 23 Agustus 2012

PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

A.    PENDAHULUAN

Manusia dalam jagad raya ini adalah makhluk yang unik, keunikannya sangat menarik dimata manusia sendiri, sehingga banyak kajian-kajian tentang manusia yang terus berkembang karena memang pengetahuan manusia tentang dirinya terbatas. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Al-Qur’an telah banyak menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan manusia.
Untuk membangun sebuah konsepsi tentang siapa itu manusia Al-Qur’an menjelaskan konsep manusia yang ditunjukkan dengan kata insan, basyar, bani adam dan zuriyah Adam, serta an-naas dengan masing-masing penafsiran dan kedudukannya.
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekholifahan yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu untuk mengembangkan aspek-aspek kepribadian anak, baik jasmaniah maupun rohaniah, termasuk didalam aspek individualitas, sosialitas, moralitas, maupun aspek religius. Sehingga dengan pendidikan itu akan tercapai kehidupan yang harmonis, seimbang antara kebutuhan fisik material dengan kebutuhan mental spiritual dan antara duniawiyah dan ukhrowiyah. Sehingga pendidikan bukan hanya sekedar pewarisan nilai-nilai budaya bangsa, dari satu generasi kepada generasi berikutnya.          
Makalah ini akan membahas tentang“Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan” Untuk lebih jelas dan detailnya terkait dengan tema diatas akan dijelasakan pada bagian pembahasan.







B.     PEMBAHASAN
1.    Pandangan AL-Qur’an Tentang Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan
a.    Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-Insan, al-Basyr, Bani Adam dan Zuriyah Adam  yang hal ini sebagai penolakan terhadap teori Darwin tentang evolusi, bahwa manusia  adalah keturunan dari kera serta an-Nas, Adapun konsep manusia menurut Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1)        Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari pada yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang) dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”.[1] Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilaku negatif dan merugikan.[2]
2)        Basyar
Kata basyar terambil dari akar kata yang mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah, dari akar yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap. Disini tampak bahwa kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab, sebab itu pula tugas kekhalifahan dipikulkan kepada basyar seperti dijelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Ruum ayat 20:[3]
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& Nä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? ¢OèO !#sŒÎ) OçFRr& ֍t±o0 šcrçŽÅ³tFZs? ÇËÉÈ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.[4]
                                    
3)        Bani Adam dan Zuriyah Adam
Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.[5] Penggunaan istilah banii Aadam dan Zuriyah Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum).[6]
4)      An-Naas
Manusia dilihat dari segala permasalahan hidupnya.[7] Kosa kata An- Naas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi”. Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[8]

b.   Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang kedudukan, perlu diketahui tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah dan khalifah sebagai utusan Tuhan dimuka bumi, disini harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dengan disemangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penjalan amanah Tuhan di muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dalam rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa hal yang terkait dengan kedudukan manusia dalam alam semesta menurut al-qur’an adalah sebagai berikut:
1)   Manusia Sebagai Khalifah dimuka bumi
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30).[9]
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù
 à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya:  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian :[10]
1)   Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2)   Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehubungan dengan makna khalifah yakni unsur intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan  Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut memang sangat berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa kedudukan manusia selaku makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia.[11]
2)   Hamba Allah (Abdul Allah)
Dalam konteks konsep abdul Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu allah SWT.[12] Kedudukan sebagai hamba Allah ini memang menjadi tujuan Allah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang artinya manusia berkewajiban memaknai semua usaha dan kegiatannya sebagai ikhtiar dan realisasi penghambaan diri kepada Allah termasuk melalui aktifitas pengelolaan alam raya dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan hidup.[13] Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat ayat:56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat ayat:56)[14]

c.    Implikasi Manusia Dalam Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi),[15] tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan atau ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand).[16] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.[17]
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah raja hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorang pun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang terarah, teratur serta berkesinambungan  yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl. secara rinci implikasi manusia dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:[18]
1)   Manusia sebagai orang yang mendidik:
(a) Menjadikan Allah sebagai sentral tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.
(b) Menyajikan materi pendidikan yang diorientasikan agar anak didik mampu mengenal Allah, mengenal diri sendiri, mengenal alam lingkungan sosial.
(c) Menyusun draf-draf materi pelajaran berdasarkan urutan, tingkatan, kemampuan dan kebutuhannya. Dengan demikian setelah siswa menyelesaikan studinya ia mampu menempatkan fungsinya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan makhluk pengelola alam.
(d)Memberikan materi pelajaran yang harus dibatasi dengan ruang lingkupnya.
(e) Menjadikan alam sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, objek pendidikan, alat pendidikan, serta media pendidikan,[19] mengingat manusia adalah pemanfaat dan penjaga kelestarian alam.[20]
2)   Manusia sebagai orang yang dapat dididik (peserta didik):[21]
(a) Mengutamakan kesucian hatinya dari akhlak atau moral yang jelek dan sifat-sifat yang tercela
(b) Mengurangi kesibukan pikiran dengan hal keduniaan, karena bilamana kurang konsentrasi, maka sulit mencapai hakikat ilmu yang dipelajari.
(c) Harus patuh kepada perintah guru
(d)Hendaknya mempelajari semua cabang ilmu dan memperhatikan maksud dan tujuannya.
(e) Tidak boleh mendalami suatu cabang ilmu yang lebih tinggi, sebelum memahami betul ilmu yang sebelumnya. Karena ilmu-ilmu itu mempunyai tingkatan sistematis dan sebagian ilmu itu merupakan jalan atau tangga untuk sapai pada sebagian lainnya. 






C.    ANALISIS DAN DISKUSI
1.    Analisis
Sesungguhnya pandangan Al-Qur’an terhadap manusia adalah pandangan yang menyeluruh, terpadu, seimbang, dan tepat. Manusia bukan hanya berupa wujud materi sebagaimana pandangan filosof-filosof materialistis. Manusia juga bukan hanya roh yang terlepas dari raga, manusia menurut Al-Qur’an adalah terdiri dari jiwa dan raga yang keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi, manusia bukanlah seekor binatang yang akan habis riwayatnya dan lenyap hidupnya setelah ia mati, manusia juga bukanlah makhluk yang paling tinggi dan tidak ada sesuatu diatasnya namun manusia mempunyai keutamaan dan kelebihan untuk berfikir, Saifuddin Anshori M.A dalam bukunya “Ilmu, Filsafat Agama” mengatakan bahwa manusia adalah makhluk berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia adalah untuk mencari suatu kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran akan penciptanya, sehingga dengan begitu manusia akan selalu menjalakan tugas dan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi dan sebagai hamba Allah. Jika dilihat dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum yaitu makhluk yang harus mendidik dan dididik. Manusia dapat mendidik dan dapat dididik karena manusia mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan, disamping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya sendiri.

2.    Diskusi
Implikasi al-insan, al-basyar, bani adam, dan an-naas dalam pendidikan
a.    Implikasi al-insan dalam pendidikan dilihat dari arti al-insan itu sendiri yang mengarah pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi, maka dalam hal ini implikasi konsep al-insan dalam pendidikan adalah berupaya untuk mengajarkan tentang bagaimana berkreasi dan berinovasi sehingga nantinya manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan yang  kemudian melalui kemampuan berinovasi tersebut, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban. 
b.    Implikasi konsep al-basyar dalam pendidikan jika dilihat dari artinya adalah kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak, makan dan minum. Sehingga dalam hal ini implikasi konsep al-basyar dalam pendidikan adalah mengajarkan bagaimana manusia mampu memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan penciptanya, yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier selaku makhluk biologis.
c.    Implikasi konsep bani adam dalam pendidikan jika dilihat dari artinya adalah konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian karena pada dasarnya al- qur’an menjelaskan bahwa manusia lebih unggul daripada makhluk lain sehingga dalam konteks pendidikan implikasi konsep bani adam adalah mengajarkan akan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain, seperti  anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah. Di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya, mengingatkan pada manusia agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya.
d.   Implikasi konsep an-naas dalam pendidikan jika dilihat dari artinya konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial, sehingga dalam hal ini implikasi konsep an-naas dalam pendidikan adalah mengajarkan bagaimana manusia hidup dilingkungan sosial sekaligus sebagai makhluk sosial sehingga mampu membentuk pemahaman bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan.

D.    KESIMPULAN
1.    Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan empat macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-basyar kata basyar mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap. Bani Adam dan Zuriyah Adam, maksudnya ialah anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Sedangkan an-Naas adalah manusia jika dilihat dari segala permasalahan hidupnya.
2.    Menelaah kedudukan manusia baik sebagai khalifah dimuka bumi dan sebagai hamba Allah dalam rangka identifikasi posisi saja, sesungguhnya kedua posisi tersebut sulit untuk dibedakan secara tegas. Posisi manusia sebagai khalifah dimuka bumi berkuasa dan bertugas mengelola alam semesta untuk memenuhi kebutuhan manusia guna melaksanakan kehidupannya. Posisi manusia sebaga hamba Allah berarti ia berkewajiban memaknai semua usaha dan kegiatannya sebagai ikhtiar dan realisasi penghambaan diri kepada Allah, termasuk melalui aktifitas mengelola alam raya dengan kekuasaan yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan hidup.
3.    Secara singkat implikasi manusia dalam pendidikan adalah sebagai orang yang mendidik dan sebagai orang yang dapat dididik











DAFTAR RUJUKAN

Abd. Mujib, Muhaimin, 1993, Pemikiran Pendidikan Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003. Website : http ://geocities.com/al-qur’an indo.
Arifin, 2000, Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI,  Jakarta: PT Bumi Aksara
El Habeb's, Najm, Kedudukan manusia dalam alam semesta (kajian filsafat pendidikan), (http://www.blog.com, diakses pada 14 Oktober 2011 
Hadhiri SP, Choiruddin, 2005,  Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press
Halimsani, filsafat-manusia-siapakah-manusia, (http://www.wordpress.com, Diskses pada 14 Oktober 2011
Ikah Rohilah, hakikat manusia dalam al-Qur’an, (http://www.wordpress.com, diakses pada 14 Oktober 2011)
Jalaludin, 2001, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, (Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000)
Muhammad, Abubakar, tt, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas
Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artikel basis). Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001
Shihab, Quraish, 2001,  Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan Media Utama
Shihab, Quraisy, 2003, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”,  Bandung: Mizan, Cet. XXV
Syar’i, Ahmad, 2005,  Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firda


[1] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat  (Bandung: Mizan Media Utama, 2001) 280
[2] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada  2001)  21
[3] Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat  278-279
[4] Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003. Website : http ://geocities.com/al-qur’an indo.
[5] Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat , 278
[6] Ikah Rohilah, hakikat manusia dalam al-Qur’an, (http://www.wordpress.com, diakses pada 14 Oktober 2011)
[7] Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani Press 2005)  56 
[8] Najm El habeb’s, Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta (Kajian Filsafat Pendidikan), (http://www.blogspot.com, diakses pada 14 Oktober 2011)
[9]Halimsani, filsafat-manusiasiapakah-manusia (http://www.wordpress.com, Diskses pada 14 Oktober 2011
[10] M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat” ( Bandung: Mizan Cet. XXV 2003) 158
[11] Najm El Habeb's blog.html, loc.cit, diakses pada 14 Oktober 2011 
[12] Ibid.,
[13] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus 2005) 13-14
[14] Al-Qur’an Digital 20
[15] Paulo freire dalam Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (pilihan Artikel basis). Sinhunata (ed), Kanisius, 2001 sebagaimana dikutip dalam Resensi Amanat, Edisi 84/Februari 2001 16
[16] Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam Cet. VI (Jakarta: PT Bumi Aksara 2000) 57
[17] Karnadi Hasan, “Konsep Pedidikan Jawa” dalam : Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jaw  No 3 tahun 2000 (Pusat Pengkajian Islam Strategis IAIN Walisongo 2000) 29
[18]Muhaimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya 1993) 76
[19] Ibid., 67                        
[20] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 13
[21] Abubakar Muhammad, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an (Surabaya: Al-Ikhlas tt) 212-213

2 komentar: