Jumat, 02 November 2012

Fiqih Kontemporer ( Sebuah Kajian Produk Hukum Majelis Ulama' Indonesia)

            Fiqih Kontemporer (Sebuah Kajian Produk Hukum Majelis Ulama' Indonesia)
Oleh: Ratnatus Saidah

Disajikan Dalam Acara Seminar Kelas Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Oktober, 2012

 
A.    Pendahuluan
Kemajuan dalam bidang iptek dan keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah keseluruh aspek bidang kehidupan. Tidak saja membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, melainkan tidak dapat tidak juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan - persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam pada dasawarsa terakhir semakin tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Oleh karena itu, kiranya sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan. Umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimana kedudukan hal tersebut dalam ajaran Islam atau bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terhadapnya.
Pandangan Islam tentang hal tersebut boleh jadi telah termuat dalam sumber ajaran Islam. Kitab suci Al-Qur'an dan sunnah Nabi, boleh jadi telah termuat dalam khazanah klasik karya peninggalan ulama terdahulu,dan tidak tertutup pula kemungkinan bahwa hal tersebut tidak termuat secara tegas (eksplisit) dan sumber ajaran Islam maupun dalam khzanah klasik itu, atau bahkan belum pernah tersentuh sama sekali.
Jika jawaban persoalan itu telah terkandung dalam al-qur'an atau sunnah maupun dalam khazanah klasik permasalahannya tetap belum selesai sampai disitu, sebab hanya beberapa orang saja yang mampu menelaahnya. Permasalahan akan semakin kompleks jika mengenainya belum pernah dibicarakan sama sekali.
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan. Persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara I'tiqadi maupun secara syari'i. Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi. Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana MUI memutuskan beberapa  permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.
B.    Pembahasan
1.    Metode Ijtihad
Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:
a.    Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
b.    Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa
c.    Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.
d.    Al-Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,  sedangkan menurut ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
e.    Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak)  sedangkan menurut ahli istilah Al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatan.
f.    Istishhab
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan. Berdasarkan kaidah:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
g.    Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.
h.    Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Pengertian sadd adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah “melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
i.    Madzhab Shahaby
Setelah Rasulullah wafat, tampilah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah. Jadi, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
j.    Syar’u Man Qablana (Syari’at Sebelum Kita)
Suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita.
k.    Kaidah Ushuliyyah ditinjau dari Segi Bahasa
1)    Al-‘Amm
Lafadz ‘Amm ialah lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
2)    Al-Khas
Lafadz khas ialah setiap lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).




2.    Masalah Hukum Islam (Sebuah Produk Fatwa MUI)
Bab: Ketentuan Hukum Ibadah
a.    Pemberian Zakat untuk Beasiswa
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Ramadhan 1416 H / 10 Februari 1996 M, yang kemudian dilanjutkan pada hari Rabu 24 Ramadhan 1416 H / 14 Februari 1996 M membahas tentang pemberian zakat untuk beasiswa, merumuskan bahwa “Memberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukumnya adalah SAH, karena termasuk dalam asnaf fi sabilillah.
Sidang memberikan pertimbangan bahwa pelajar/ mahasiswa/ sarjana muslim, penerima zakat beasiswa, hendaknya:
a)    Berprestasi akademik
b)    Diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu.
c)    Mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam penetapan hukum pemberian zakat untuk beasiswa adalah dengan menggunakan kaidah ushul fiqh ditinjau dari kaidah bahasa yaitu metode al-‘Am (lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafdz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu ).
Aspek kebahasaan yang menunjukkan lafdz al-‘Am adalah kata-kata   yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
                         
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
MUI merumuskan pemberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa dihukumi SAH karena orang yang menuntut ilmu di jalan Allah termasuk dalam asnaf fi sabilillah yaitu termasuk orang yang berjihad di jalan Allah, dan apabila orang yang sedang berjihad di jalan Allah terbengkalai dengan masalah keuangan, maka zakat bisa dialokasikan untuk membantu keperluan pendidikan. disamping itu MUI juga menggunakan metode Qiyas dalam penetapan hukum zakat ini, yaitu mengqiyaskan zakat untuk beasiswa terhadap nash al-Qur’an sebagaimana tersebut diatas.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mempertimbangkan kondisi perekonomian mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah, mahalnya biaya pendidikan saat ini, serta semakin ketatnya persaingan dalam era globalisasi, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan, keputusan fatwa MUI yang mengesahkan pemberian zakat untuk beasiswa terutama bagi mereka yang berprestasi akademik, kurang mampu dan mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia sangatlah baik atau sesuai dengan keadaan Indonesia saat ini.
b.    Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Bulan Jumadil Awal 1404/ Maret 1984 menghimbau kepada Ummat Islam  Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk:
a)    Menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan dengan syarat istitha'ah dalam arti yang luas.
b)    Memberi kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji terutama kepada keluarga yang belum haji.
c)    Kepada umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu, disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum, disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum ibadah haji hanya sekali seumur hidup adalah dengan menggunakan kaidah al-Mashlahah al-Mursalah (kesejahteraan umum). Metode ini digunakan agar para peminat haji yang sudah pernah melaksanakan haji yang kesekian kalinya, bisa memberikan kesempatan bagi para peminat haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji, serta dana yang awalnya digunakan untuk haji sunnah bisa dizakatkan atau disodaqohkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dengan demikian akan terjadi simbiosis mutualisme, bagi orang yang memberikan kesempatan haji bagi yang belum pernah melaksanakan serta menafkahkan dana haji sunnah kepada yang membutuhkan akan mendapatkan pahala, dan bagi orang yang diberi kesempatan serta orang yang diberi shodaqoh juga akan mendapat keuntungan, hal demikian akan menimbulkan kesejahteraan umum.

3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Tinjauan Konteks ke-Indonesia-an
Ditinjau dari banyaknya peminat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji semakin bertambah dari tahun ke tahun atau bisa dikatakan jauh lebih banyak dari kuota yang tersedia (over kuota), fatwa MUI telah menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk malaksanakan haji sekali seumur hidup, Hanya saja fatwa MUI ini tidak berani menegaskan bahwa haji kedua dan seterusnya adalah terlarang. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agamapun tidak dapat melarang orang menunaikan haji kedua kali, sehingga ketika yang bersangkutan mendaftar, langsung masuk dalam waiting list.
Menurut hemat penulis, banyaknya peminat haji yang ingin melaksanakan ibadah haji, hendaknya fatwa MUI yang berkaitan dengan haji hanya sekali seumur hidup bukan hanya himbauan semata, akan tetapi larangan, alasan penulis berkaitan dengan haji yang kedua dan seterusnya adalah sebagai berikut:
a)    Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Tidak ada perintah kedua kali dan selanjutnya. Haji berikutnya tidak memberi manfaat kecuali pahala sunnah, bahkan haji kedua dan seterusnya akan memberi mafsadah/ kerugian bagi calon jamaah haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji.
b)    Ibadah sunnah bisa diterima setelah ibadah wajib usai ditunaikan. Banyak jamaah haji yang begitu mudah mengeluarkan dana untuk haji sunnah, sementara ia belum selesai menunaikan yang wajib, seperti membayar zakat dan hutangnya. Padahal, sebelum berhaji masalah wajib harus ditunaikan terlebih dahulu.
c)    Mencegah kerusakan harus diprioritaskan daripada mencari kepentingan. Dari pemahaman ini, banyak orang yang keras kepala melanggar berbagai aturan hanya untuk bisa menunaikan ibadah haji sunnah yang sudah dibatasi itu. Misalnya dengan mengambil porsi orang lain.
d)    Masalah agama harus dirujuk kepada para ulama. Beberapa ulama banyak menyarankan dan menasehatkan agar dana untuk haji sunnah dipergunakan untuk sedekah meringankan umat Islam lainnya

Bab: Ketentuan Hukum Paham Keagamaan
a.    Ahmadiyah Qadiyan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam Musyawarah Nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H / 26 Mei-1 Juni 1980 M di Jakarta memfatwakan tentang jama’ah Ahmadiyah sebagai berikut:
a)    Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam sembilan buah buku tentang ahmadiyah, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah luar Islam sesat dan menyesatkan.
b)    Dalam menghadapi persoalan ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama’ Indonesia selalu berhubungan dengan pemerintah.
Adanya beberapa fakta tersebut kemudian Majelis Ulama’ Indonesia menyerukah bahwa:
a)    Agar Majelis Ulama’ Indonesia, majelis ulama’ daerah tingkat I, daerah tingkat II, para ulama’ dan da’i di seluruh Indonesia menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya jama’at Ahmadiyah Qadiyah yang berada di luar Islam.
b)    Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti jama’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
c)    Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham sesat. 
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia Dalam merespon aliran tersebut menggunakan al-Qur’an surat : (al-Ahzab [33]: 40)
•           • 
Artinya:  Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa kenabian Muhammad merupakan penutup dari para Nabi yang diutus kepada umat manusia. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada nabi lagi yang diutus.
Ayait inilah yang kemudian di Qiyaskan oleh Majelis Ulama’ Indonesia dalam menyanggah sebuah pernyataan dari aliran Ahmadiyah Qadiyan yang  mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad.
 Majelis Ulama’ Indonesia juga menggunakan hadits dalam memutuskan fatwa tentang aliran Ahmadiyah Qadiyan, yaitu hadits dari  Imam Bukhari yang berbunyi:
قال رسول الله, لا نبي بعد (رواه البخاري)
Artinya: "Bersabda Rasulullah: Tidak ada nabi sesudahku." (HR. al-Bukhari).
Dalam konteks tertentu, Ijma’ dipergunakan, seperti ketika MUI  memfatwakan kesesatan aliran Ahmadiyah Qadiyah. Secara umum,  fatwa tentang aliran sesat ini dikeluarkan untuk menghilangkan keresahan dalam masyarakat. Jadi, MUI mengedepankan maqashid al-syari’ah, yaitu terpeliharanya agama dalam kebutuhan primer manusia.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mengingat Eksistensi Ahmadiyah Qadiyan yang dilegalisasi oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan keresahan di dalam tubuh umat Islam yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat mengalami ketakutan terhadap berkembangnya ajaran-ajaran dan aqidah yang berseberangan dengan ajaran Islam yaitu pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad. Maka Majelis ulama’ Indonesia mengeluarkan fatwa akan sesatnya jema’ah Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam, serta menghimbau untuk mempertinggi kewaspadaan masyarakat Indonesia sehingga tidak mudah terpengaruh oleh faham sesat itu.

Bab : Ketentuan Hukum Masalah Sosial Kemasyarakatan
a.    Perkawinan Campuran
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam musyawarah nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei - 1 Juni 1980 M, memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a)    Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
b)    Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab terdapat perbedaan pendapat setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram. 
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Pada Masalah perkawinan antar agama, Majelis Ulama’ Indonesia berdiri sendiri dalam memecahkan hukum tersebut tanpa dipengaruhi oleh pendapat ahli hukum terdahulu. Sebagai buktinya, dengan tegas Majelis Ulama’ Indonesia menyatakan haram dengan berdalil pada al-Qur'an  Qs. Al-Baqarah: 221, Qs. Al-Maidah: 5, Qs. Al-Mumtahanah: 10 dan Qs. At-Tahrim: 6 yang secara garis besar menjelaskan larangan menikahi wanita atau laki-laki non muslim, serta larangan untuk menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim ataupun sebaliknya. MUI dalam hal ini juga menggunakan Hadits untuk melakukan istimbath tentang perkawinan campuran tersebut diantaranya adalah. Hadits yang diriwayatkan oleh Tabhrani dan hadits riwayat Aswad bin Sura’i yang artinya:
“Barang siapa telah kawin ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain”(HR. Thabrani)
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka ibu bapak nyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi ”(HR. Aswad bin Sura’i)
Nilai implisit dari ayat dan hadits diatas adalah perintah untuk menyelamatkan orang-orang yang berada dalam pengampuan kita dari api neraka. Didalam keluarga, orang tua bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya, baik di dunia dan akhirat. Dengan membiarkan anak-anak memeluk agama selain Islam, berarti orang tua seakan-akan membiarkan anaknya menjadi bahan bakar neraka. Sedangkan istri menjadi tanggung jawab suaminya, karena suami adalah kepala keluarga yang berkewajiban membimbing anak dan istrinya pada jalan Islam.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’.
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk. Maka untuk mengantisipasi terjadinya pernikahan beda agama tersebut MUI dengan tegas memutuskan bahwa perkawinan campuran (pernikahan beda agama) diharamkan hukumnya.

b.    Cecak, Tokek Dan Kadal Sebagai Bahan Obat
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam hal ini Majelis Ulama’ Indonesia propinsi Jawa Timur memutuskan dan menetapkan  pada tanggal 10 Rabiul Awal 1433 H / 22 Mei 2002 M tentang penggunaan hewan cecak, tokek, dan kadal sebagai obat adalah sebagai berikut:
Pertama, hukum penggunaan cecak (hemidactylus sp), tokek (gecko sp), dan kadal (maboya sp) sebagai bahan obat adalah halal
Kedua, surat keputusan ini mulai berlaku tanggal ditetapkan. Dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya maka akan dilakukan pembetulan sebagaimana mestinya.  
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan obat adalah berdasarkan pada QS. al-A’raf [7]: 157, QS. Al-An’am [6]: 145, dan QS. Al-Maidah [5]:  3. Yang secara garis besar, ayat-ayat tersebut menyatakan kehalalan segala yang baik dan keharaman segala yang buruk, pengharaman bangkai, darah yang mengalir, dan babi serta hewan yang disembelih tidak dengan nama Allah, hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam oleh binatang buas, kecuali apabila sempat disembelih. Lebih khusus, Hadits yang diriwayatkan oleh   Muslim, Abu Dawud dan Ahmad dari Amir ibn Sa'ad, Nabi:
ان النبى أمر بقتل الوزع وسماّ ه فو يسقا
Artinya: "Nabi memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya   sebagai binatang yang berbahaya.”
Selain itu dalam memutuskan fatwa tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan  obat MUI juga menggunakan kaidah ushuliyyah:
أ لحاجة تنزل منزلة الضرورة في إباحة المحضورات
Artinya: (hajat [kebutuhan yang mendesak] itu sama dengan darurat dalam hal kebolehan melakukan hal-hal yang dilarang)
Artinya setiap yang mengandung unsur dharurat dan mendesak maka diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang, selama tidak melanggar yang di syari’atkan sebelumnya. Selain itu ijma’ ulama dan kajian zoologi juga menjadi pertimbangan MUI dalam memutuskan fatwa hukum ini, ijma’ ulama menyatakan bahwa jumhur ulama’ termasuk di dalamnya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan haram makan binatang melata seperti tikus, ular, cicak, kadal dan yang serupa dengannya. Imam Malik menyatakan bahwa semua itu makruh bukan haram. Tetapi jika binatang tersebut dipergunakan untuk obat maka menurut jumhur ulama’ “boleh/halal” karena telah menjadi hajat manusia. Sedangkan dari segi kajian zoologi cicak, tokek, dan kadal bukan binatang yang memiliki taring, binatang berracun, binatang buas, binatang yang berdarah panas, dan bukan juga binatang yang berdarah dingin. Sehingga penggunaannya ketika dalam keadaan yang sangat terpaksa sehingga tidak ada jalan lain selain melakukan atau mengkonsumsi yang haram, maka melakukan atau mengkonsumsinya diperbolehkan, bahkan diharuskan. Namun, bila ada alternatif lain, maka pilihan untuk melakukan atau mengkonsumsi alternatif tersebut harus ditangguhkan.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
    Akhir-akhir ini, cicak, tokek, dan kadal menjadi populer di tengah masyarakat Indonesian karena dipercaya dapat menjadi alternatif dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit membandel seperti, gatal-gatal, kadas, kudis, kurap, panu, bisul, eksim, dan lain-lain yang tidak bisa disembuhkan oleh obat-obatan selain obat yang terbuat dari tiga jenis binatag tersebut. Oleh karena itu Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenagan dalam memutuskan fatwa hukum Islam menetapkan bahwa mengkonsumsi cicak, tokek, dan kadal diperbolehkan hukumnya jika dalam keadaan mendesak dan dharurat.

  Bab: Ketentuan Hukum Masalah Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
a.    Bayi Tabung (inseminasi buatan)
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam masalah ini dewan pimpinan Majelis Ulama’ Indonesia memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a.    Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hal ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.    Bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram.
c.    Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
d.    Bayi tabung yang sperma dan ovumya diambil dari selain pasangan suami-isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina).
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Sedangkan dalam permasalahan yang lain seperti bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain maka hukumnya adalah haram, hal ini berdasarkan pada kaidah Sadd adz-dzari’ah. Sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, begitu juga sebaliknya).
kaidah Sadd adz-dzari’ah ini juga berlaku pada dua permasalahan yang berbeda pertama, permasalahan bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia yaitu haram, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. Kedua, bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis diluar pernikahan  yang sah (zina) yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Kesulitan memiliki keturunan di Indonesia telah banyak di alami oleh sebagian besar pasangan suami isteri oleh karena itu teknologi bayi tabung menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahn tersebut. Teknologi bayi tabung merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan teknologi bayi tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa bayi tabung hanya diperbolehkan ketika sperma dan ovum berasal dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh).
b.    Kloning
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Fatwa musyawarah nasional VI Majelis Ulama’ Indonesia tentang kloning pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 141 H / 29 Juli 2000 M memutuskan dan menetapkan bahwa:
a.    Kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram
b.    Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan kemudharatan (hal-hal negatif)
c.    Mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia
d.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama para ulama’ untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi kloning, meneliti peristilahan dan permasalahannya, serta menyelenggarakan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
e.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk mendorong pembentukan (pendirian) dan mendukung institusi-institusi ilmiah yang menyelenggarakan penelitian di bidang biologi dan teknik rekayasa genetika pada selain bidang kloning manusia yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
f.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk segera merumuskan kriteria dan kode etik penelitian dan eksperimen di bidang biologi untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukan.
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa-fatwa dalam hukum Islam memutuskan untuk memperbolehkan melakukan kloning sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan madharat. Oleh sebab itu dalam memutuskan permaslahan yang terkait dengan kloning baik itu terhadap manusia, tumbuh-tumbuhan, ataupun hewan Majelis Ulama’ Indonesia dalam hal ini menggkajinya dengan menggunakan kaidah ushulul fiqh yaitu Al-Maslahah Al-Mursalah. 
Kaidah ini digunakan jika suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi tidak juga ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat maka penentuan hukumnya harus berdasrkan pada Al-Maslahah Al-Mursalah.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Berkaitan dengan kloning, para ilmuwan dan agamawan juga memiliki sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak para ilmuwan berusaha untuk meneruskan percobaannya, sementara di lain pihak para agamawan dengan berbagai dalilnya menolak kloning manusia secara tegas. Secara aklamasi mereka memutuskan bahwa kloning terhadap hewan dan tumbuhan diperbolehkan karena jika kloning dilakukan pada tumbuhan dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak. Akan diperoleh tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat dan dengan sifat yang identik atau sama dengan induknya. Jika tanaman induk mempunyai sifat-sifat unggul maka dapat dipastikan keturunannya pun akan memiliki sifat unggul yang sama dengan induknya. Di Indonesia Upaya kloning pada tumbuhan juga dapat di gunakan sebagai upaya konservasi tumbuhan langka. Disamping itu adanya teknologi kloning pada tumbuhan juga dapat meningkatkan agrobisnis akan tetapi tidak demikian dengan kloning terhadap manusia. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan kloning pada manusia tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa melakukan kloning pada manusia adalah haram hukumnya.

Bab: Ketentuan Hukum Masalah Lembaga Keuangan Syari’ah
a.    Tabungan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang fatwa Majelis Ulama’ Indonesia pada tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H/ 1 Apr il 2000 memutuskan fatwa tentang tabungan:
Pertama
Tabungan ada dua jenis:
a)    Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
b)    Tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Kedua  
Ketentuan umum tabungan berdasarkan mudhorobah:
a)    Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shohibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudhorib atau pengelola dana.
b)    Dalam kapasitasnya sebagai mudhorib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya mudhorobah dengan pihak lain.
c)    Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai, bukan piutang.
d)    Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukuan rekening.
e)    Bank sebagai mudhorib menutup biaya operasional tabungan dengna menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f)    Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga 
Ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a)    Bersifat simpanan
b)    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
c)    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘Athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank.
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Dalam menetapkan fatwa tentang tabungan, majelis ulama’ Indonesia menggunakan metode:
a)    Ijma’, diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’   
b)    Qiyas, hadits Nabi riwayat Ibnu Majah yang artinya:
   “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqorodhoh (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari shuhaib)”. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah (secara terminologi adalah suatu akan dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya ). 
c)    Kaidah fiqih :
عَلَى تَحْرِيْميْهاَ اَلأَصْلُ فيِ الْمُعَا مَلاَتِ أَلأِبَاحَةُ إِلأَ أَنْ يَدُلُ دَلِيْلٌ
Artinya: “pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang menharamkannya”.
d)    Para ulama’ menyatakan dalam kenyataannya banyak orang yang mempunyai harta, namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memprodutifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama diantara kedua pihak tersebut.
3)    Penetapan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Seiring dengan berkembangnya tingkat perekonomian sebagian besar masyaralat Indonesia, tabungan menjadi alternatif dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam penyimpanan kekayaan, sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia memerlukan jasa perbankan dibidang penghimpunan dana masyarakat berupa tabungan. Namun tidak semua tabungan dapat dibenarkan dalam syari’at Islam. oleh karenanya MUI perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tabungan bank.



















C.    Penutup
Dalam melakukan pengkajian masalah yang akan ditentukan hukumnya, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok. Hampir seluruh fatwa-fatwa Komisi Fatwa selalu mendasarkan pada al- Qur’an dan Sunnah.
Meskipun terdapat beberapa fatwa yang tidak mencantumkan al-Qur’an   dan Sunnah sebagai pijakan, namun jumlahnya tidak signifikan. Jadi, dalam      menetapkan hukum permasalahan tertentu, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode bayaniy atau pengambilan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah secara langsung.
Namun, apabila al-Qur’an dan Sunnah belum menetapkan secara qath’i, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode ta’liliy atau qiyasiy, yaitu menetapkan hukum permasalahan baru karena adanya persamaan illat dengan permasalahan yang sudah ada ketetapannya dalam nash.
Sebagaimana metode bayaniy, metode ta’liliy atau qiyâsiy sering dipergunakan oleh Komisi Fatwa, terutama terhadap permasalahan baru yang belum ada ketetapannya secara qath’i dari nash.
Meskipun Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan fatwa-fatwanya pada al- Qur’an dan Sunnah, bukan berarti tidak memandang pada kepentingan kemanusiaan. Apabila metode bayaniy dan metode ta’liliy atau qiyasiy masih belum mewujudkan ke-mashlahah-an, maka Komisi Fatwa mempergunakan metode istislahiy, yaitu cara istinbath hukum mengenai  suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak  adanya  dalil  khusus mengenai masalah tersebut dengan berpijak pada asas kemashlahatan yang sesuai dengan maqashid asy-syari’ah.

        


DAFTAR RUJUKAN
Buchori, Abdusshomad, dkk. 2003. 101 Masalah Hukum Islam; Sebuah Produk Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Surabaya: Pustaka Da’I Muda
Syafe’i, Rahmat. 2007.  Ilmu Ushul Fiqh; Untuk UIN, Stain, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani
Khallaf, Abdul Wahab . 2002.  Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushulul Fiqh . Jakarta: Raja Grafindo Persada

http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah shul-fiqh.html. diakses pada 05 Oktober 2012
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003. Website : hhtp ://geocities.com/al-qur’an indo.
  

FIQIH KONTEMPORER (KAJIAN PRODUK HUKUM MUI)

                          “KAJIAN PRODUK HUKUM MAJELIS ULAMA INDONESIA”
                                                      Oleh:  Ratnatus Saidah

                      Disajikan Dalam Acara Seminar Kelas Magister Pendidikan Agama Islam
                                  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
                                                                 Oktober, 2012

A.    Pendahuluan
Kemajuan dalam bidang iptek dan keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah keseluruh aspek bidang kehidupan. Tidak saja membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, melainkan tidak dapat tidak juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan - persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam pada dasawarsa terakhir semakin tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Oleh karena itu, kiranya sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan. Umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimana kedudukan hal tersebut dalam ajaran Islam atau bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terhadapnya.
Pandangan Islam tentang hal tersebut boleh jadi telah termuat dalam sumber ajaran Islam. Kitab suci Al-Qur'an dan sunnah Nabi, boleh jadi telah termuat dalam khazanah klasik karya peninggalan ulama terdahulu,dan tidak tertutup pula kemungkinan bahwa hal tersebut tidak termuat secara tegas (eksplisit) dan sumber ajaran Islam maupun dalam khzanah klasik itu, atau bahkan belum pernah tersentuh sama sekali.
Jika jawaban persoalan itu telah terkandung dalam al-qur'an atau sunnah maupun dalam khazanah klasik permasalahannya tetap belum selesai sampai disitu, sebab hanya beberapa orang saja yang mampu menelaahnya. Permasalahan akan semakin kompleks jika mengenainya belum pernah dibicarakan sama sekali.
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan. Persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara I'tiqadi maupun secara syari'i. Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi. Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana MUI memutuskan beberapa  permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.

B.    Pembahasan
1.    Metode Ijtihad
Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:
a.    Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).

b.    Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa

c.    Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.

d.    Al-Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,  sedangkan menurut ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

e.    Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak)  sedangkan menurut ahli istilah Al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatan.

f.    Istishhab
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan. Berdasarkan kaidah:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.

g.    Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.

h.    Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Pengertian sadd adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah “melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).

i.    Madzhab Shahaby
Setelah Rasulullah wafat, tampilah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah. Jadi, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.

j.    Syar’u Man Qablana (Syari’at Sebelum Kita)
Suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita.

k.    Kaidah Ushuliyyah ditinjau dari Segi Bahasa
1)    Al-‘Amm
Lafadz ‘Amm ialah lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
2)    Al-Khas
Lafadz khas ialah setiap lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).

2.    Masalah Hukum Islam (Sebuah Produk Fatwa MUI)
Bab: Ketentuan Hukum Ibadah
a.    Pemberian Zakat untuk Beasiswa
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Ramadhan 1416 H / 10 Februari 1996 M, yang kemudian dilanjutkan pada hari Rabu 24 Ramadhan 1416 H / 14 Februari 1996 M membahas tentang pemberian zakat untuk beasiswa, merumuskan bahwa “Memberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukumnya adalah SAH, karena termasuk dalam asnaf fi sabilillah.
Sidang memberikan pertimbangan bahwa pelajar/ mahasiswa/ sarjana muslim, penerima zakat beasiswa, hendaknya:
a)    Berprestasi akademik
b)    Diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu.
c)    Mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam penetapan hukum pemberian zakat untuk beasiswa adalah dengan menggunakan kaidah ushul fiqh ditinjau dari kaidah bahasa yaitu metode al-‘Am (lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafdz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu ).
Aspek kebahasaan yang menunjukkan lafdz al-‘Am adalah kata-kata   yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
                         
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
MUI merumuskan pemberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa dihukumi SAH karena orang yang menuntut ilmu di jalan Allah termasuk dalam asnaf fi sabilillah yaitu termasuk orang yang berjihad di jalan Allah, dan apabila orang yang sedang berjihad di jalan Allah terbengkalai dengan masalah keuangan, maka zakat bisa dialokasikan untuk membantu keperluan pendidikan. disamping itu MUI juga menggunakan metode Qiyas dalam penetapan hukum zakat ini, yaitu mengqiyaskan zakat untuk beasiswa terhadap nash al-Qur’an sebagaimana tersebut diatas.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mempertimbangkan kondisi perekonomian mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah, mahalnya biaya pendidikan saat ini, serta semakin ketatnya persaingan dalam era globalisasi, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan, keputusan fatwa MUI yang mengesahkan pemberian zakat untuk beasiswa terutama bagi mereka yang berprestasi akademik, kurang mampu dan mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia sangatlah baik atau sesuai dengan keadaan Indonesia saat ini.
b.    Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Bulan Jumadil Awal 1404/ Maret 1984 menghimbau kepada Ummat Islam  Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk:
a)    Menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan dengan syarat istitha'ah dalam arti yang luas.
b)    Memberi kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji terutama kepada keluarga yang belum haji.
c)    Kepada umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu, disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum, disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum ibadah haji hanya sekali seumur hidup adalah dengan menggunakan kaidah al-Mashlahah al-Mursalah (kesejahteraan umum). Metode ini digunakan agar para peminat haji yang sudah pernah melaksanakan haji yang kesekian kalinya, bisa memberikan kesempatan bagi para peminat haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji, serta dana yang awalnya digunakan untuk haji sunnah bisa dizakatkan atau disodaqohkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dengan demikian akan terjadi simbiosis mutualisme, bagi orang yang memberikan kesempatan haji bagi yang belum pernah melaksanakan serta menafkahkan dana haji sunnah kepada yang membutuhkan akan mendapatkan pahala, dan bagi orang yang diberi kesempatan serta orang yang diberi shodaqoh juga akan mendapat keuntungan, hal demikian akan menimbulkan kesejahteraan umum.

3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Tinjauan Konteks ke-Indonesia-an
Ditinjau dari banyaknya peminat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji semakin bertambah dari tahun ke tahun atau bisa dikatakan jauh lebih banyak dari kuota yang tersedia (over kuota), fatwa MUI telah menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk malaksanakan haji sekali seumur hidup, Hanya saja fatwa MUI ini tidak berani menegaskan bahwa haji kedua dan seterusnya adalah terlarang. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agamapun tidak dapat melarang orang menunaikan haji kedua kali, sehingga ketika yang bersangkutan mendaftar, langsung masuk dalam waiting list.
Menurut hemat penulis, banyaknya peminat haji yang ingin melaksanakan ibadah haji, hendaknya fatwa MUI yang berkaitan dengan haji hanya sekali seumur hidup bukan hanya himbauan semata, akan tetapi larangan, alasan penulis berkaitan dengan haji yang kedua dan seterusnya adalah sebagai berikut:
a)    Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Tidak ada perintah kedua kali dan selanjutnya. Haji berikutnya tidak memberi manfaat kecuali pahala sunnah, bahkan haji kedua dan seterusnya akan memberi mafsadah/ kerugian bagi calon jamaah haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji.
b)    Ibadah sunnah bisa diterima setelah ibadah wajib usai ditunaikan. Banyak jamaah haji yang begitu mudah mengeluarkan dana untuk haji sunnah, sementara ia belum selesai menunaikan yang wajib, seperti membayar zakat dan hutangnya. Padahal, sebelum berhaji masalah wajib harus ditunaikan terlebih dahulu.
c)    Mencegah kerusakan harus diprioritaskan daripada mencari kepentingan. Dari pemahaman ini, banyak orang yang keras kepala melanggar berbagai aturan hanya untuk bisa menunaikan ibadah haji sunnah yang sudah dibatasi itu. Misalnya dengan mengambil porsi orang lain.
d)    Masalah agama harus dirujuk kepada para ulama. Beberapa ulama banyak menyarankan dan menasehatkan agar dana untuk haji sunnah dipergunakan untuk sedekah meringankan umat Islam lainnya

Bab: Ketentuan Hukum Paham Keagamaan
a.    Ahmadiyah Qadiyan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam Musyawarah Nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H / 26 Mei-1 Juni 1980 M di Jakarta memfatwakan tentang jama’ah Ahmadiyah sebagai berikut:
a)    Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam sembilan buah buku tentang ahmadiyah, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah luar Islam sesat dan menyesatkan.
b)    Dalam menghadapi persoalan ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama’ Indonesia selalu berhubungan dengan pemerintah.
Adanya beberapa fakta tersebut kemudian Majelis Ulama’ Indonesia menyerukah bahwa:
a)    Agar Majelis Ulama’ Indonesia, majelis ulama’ daerah tingkat I, daerah tingkat II, para ulama’ dan da’i di seluruh Indonesia menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya jama’at Ahmadiyah Qadiyah yang berada di luar Islam.
b)    Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti jama’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
c)    Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham sesat.  


2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia Dalam merespon aliran tersebut menggunakan al-Qur’an surat : (al-Ahzab [33]: 40)
•           • 
Artinya:  Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa kenabian Muhammad merupakan penutup dari para Nabi yang diutus kepada umat manusia. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada nabi lagi yang diutus.
Ayait inilah yang kemudian di Qiyaskan oleh Majelis Ulama’ Indonesia dalam menyanggah sebuah pernyataan dari aliran Ahmadiyah Qadiyan yang  mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad.
 Majelis Ulama’ Indonesia juga menggunakan hadits dalam memutuskan fatwa tentang aliran Ahmadiyah Qadiyan, yaitu hadits dari  Imam Bukhari yang berbunyi:
قال رسول الله, لا نبي بعد (رواه البخاري)
Artinya: "Bersabda Rasulullah: Tidak ada nabi sesudahku." (HR. al-Bukhari).
Dalam konteks tertentu, Ijma’ dipergunakan, seperti ketika MUI  memfatwakan kesesatan aliran Ahmadiyah Qadiyah. Secara umum,  fatwa tentang aliran sesat ini dikeluarkan untuk menghilangkan keresahan dalam masyarakat. Jadi, MUI mengedepankan maqashid al-syari’ah, yaitu terpeliharanya agama dalam kebutuhan primer manusia.


3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mengingat Eksistensi Ahmadiyah Qadiyan yang dilegalisasi oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan keresahan di dalam tubuh umat Islam yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat mengalami ketakutan terhadap berkembangnya ajaran-ajaran dan aqidah yang berseberangan dengan ajaran Islam yaitu pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad. Maka Majelis ulama’ Indonesia mengeluarkan fatwa akan sesatnya jema’ah Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam, serta menghimbau untuk mempertinggi kewaspadaan masyarakat Indonesia sehingga tidak mudah terpengaruh oleh faham sesat itu.

Bab : Ketentuan Hukum Masalah Sosial Kemasyarakatan
a.    Perkawinan Campuran
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam musyawarah nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei - 1 Juni 1980 M, memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a)    Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
b)    Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab terdapat perbedaan pendapat setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.  
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Pada Masalah perkawinan antar agama, Majelis Ulama’ Indonesia berdiri sendiri dalam memecahkan hukum tersebut tanpa dipengaruhi oleh pendapat ahli hukum terdahulu. Sebagai buktinya, dengan tegas Majelis Ulama’ Indonesia menyatakan haram dengan berdalil pada al-Qur'an  Qs. Al-Baqarah: 221, Qs. Al-Maidah: 5, Qs. Al-Mumtahanah: 10 dan Qs. At-Tahrim: 6 yang secara garis besar menjelaskan larangan menikahi wanita atau laki-laki non muslim, serta larangan untuk menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim ataupun sebaliknya. MUI dalam hal ini juga menggunakan Hadits untuk melakukan istimbath tentang perkawinan campuran tersebut diantaranya adalah. Hadits yang diriwayatkan oleh Tabhrani dan hadits riwayat Aswad bin Sura’i yang artinya:
“Barang siapa telah kawin ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain”(HR. Thabrani)
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka ibu bapak nyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi ”(HR. Aswad bin Sura’i)
Nilai implisit dari ayat dan hadits diatas adalah perintah untuk menyelamatkan orang-orang yang berada dalam pengampuan kita dari api neraka. Didalam keluarga, orang tua bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya, baik di dunia dan akhirat. Dengan membiarkan anak-anak memeluk agama selain Islam, berarti orang tua seakan-akan membiarkan anaknya menjadi bahan bakar neraka. Sedangkan istri menjadi tanggung jawab suaminya, karena suami adalah kepala keluarga yang berkewajiban membimbing anak dan istrinya pada jalan Islam.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’.
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk. Maka untuk mengantisipasi terjadinya pernikahan beda agama tersebut MUI dengan tegas memutuskan bahwa perkawinan campuran (pernikahan beda agama) diharamkan hukumnya.

b.    Cecak, Tokek Dan Kadal Sebagai Bahan Obat
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam hal ini Majelis Ulama’ Indonesia propinsi Jawa Timur memutuskan dan menetapkan  pada tanggal 10 Rabiul Awal 1433 H / 22 Mei 2002 M tentang penggunaan hewan cecak, tokek, dan kadal sebagai obat adalah sebagai berikut:
Pertama, hukum penggunaan cecak (hemidactylus sp), tokek (gecko sp), dan kadal (maboya sp) sebagai bahan obat adalah halal
Kedua, surat keputusan ini mulai berlaku tanggal ditetapkan. Dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya maka akan dilakukan pembetulan sebagaimana mestinya.  
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan obat adalah berdasarkan pada QS. al-A’raf [7]: 157, QS. Al-An’am [6]: 145, dan QS. Al-Maidah [5]:  3. Yang secara garis besar, ayat-ayat tersebut menyatakan kehalalan segala yang baik dan keharaman segala yang buruk, pengharaman bangkai, darah yang mengalir, dan babi serta hewan yang disembelih tidak dengan nama Allah, hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam oleh binatang buas, kecuali apabila sempat disembelih. Lebih khusus, Hadits yang diriwayatkan oleh   Muslim, Abu Dawud dan Ahmad dari Amir ibn Sa'ad, Nabi:
ان النبى أمر بقتل الوزع وسماّ ه فو يسقا
Artinya: "Nabi memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya   sebagai binatang yang berbahaya.”
Selain itu dalam memutuskan fatwa tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan  obat MUI juga menggunakan kaidah ushuliyyah:
أ لحاجة تنزل منزلة الضرورة في إباحة المحضورات
Artinya: (hajat [kebutuhan yang mendesak] itu sama dengan darurat dalam hal kebolehan melakukan hal-hal yang dilarang)
Artinya setiap yang mengandung unsur dharurat dan mendesak maka diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang, selama tidak melanggar yang di syari’atkan sebelumnya. Selain itu ijma’ ulama dan kajian zoologi juga menjadi pertimbangan MUI dalam memutuskan fatwa hukum ini, ijma’ ulama menyatakan bahwa jumhur ulama’ termasuk di dalamnya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan haram makan binatang melata seperti tikus, ular, cicak, kadal dan yang serupa dengannya. Imam Malik menyatakan bahwa semua itu makruh bukan haram. Tetapi jika binatang tersebut dipergunakan untuk obat maka menurut jumhur ulama’ “boleh/halal” karena telah menjadi hajat manusia. Sedangkan dari segi kajian zoologi cicak, tokek, dan kadal bukan binatang yang memiliki taring, binatang berracun, binatang buas, binatang yang berdarah panas, dan bukan juga binatang yang berdarah dingin. Sehingga penggunaannya ketika dalam keadaan yang sangat terpaksa sehingga tidak ada jalan lain selain melakukan atau mengkonsumsi yang haram, maka melakukan atau mengkonsumsinya diperbolehkan, bahkan diharuskan. Namun, bila ada alternatif lain, maka pilihan untuk melakukan atau mengkonsumsi alternatif tersebut harus ditangguhkan.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
    Akhir-akhir ini, cicak, tokek, dan kadal menjadi populer di tengah masyarakat Indonesian karena dipercaya dapat menjadi alternatif dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit membandel seperti, gatal-gatal, kadas, kudis, kurap, panu, bisul, eksim, dan lain-lain yang tidak bisa disembuhkan oleh obat-obatan selain obat yang terbuat dari tiga jenis binatag tersebut. Oleh karena itu Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenagan dalam memutuskan fatwa hukum Islam menetapkan bahwa mengkonsumsi cicak, tokek, dan kadal diperbolehkan hukumnya jika dalam keadaan mendesak dan dharurat.

  Bab: Ketentuan Hukum Masalah Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
a.    Bayi Tabung (inseminasi buatan)
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam masalah ini dewan pimpinan Majelis Ulama’ Indonesia memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a.    Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hal ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.    Bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram.
c.    Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
d.    Bayi tabung yang sperma dan ovumya diambil dari selain pasangan suami-isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina). 
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Sedangkan dalam permasalahan yang lain seperti bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain maka hukumnya adalah haram, hal ini berdasarkan pada kaidah Sadd adz-dzari’ah. Sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, begitu juga sebaliknya).
kaidah Sadd adz-dzari’ah ini juga berlaku pada dua permasalahan yang berbeda pertama, permasalahan bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia yaitu haram, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. Kedua, bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis diluar pernikahan  yang sah (zina) yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Kesulitan memiliki keturunan di Indonesia telah banyak di alami oleh sebagian besar pasangan suami isteri oleh karena itu teknologi bayi tabung menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahn tersebut. Teknologi bayi tabung merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan teknologi bayi tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa bayi tabung hanya diperbolehkan ketika sperma dan ovum berasal dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh).
b.    Kloning
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Fatwa musyawarah nasional VI Majelis Ulama’ Indonesia tentang kloning pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 141 H / 29 Juli 2000 M memutuskan dan menetapkan bahwa:
a.    Kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram
b.    Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan kemudharatan (hal-hal negatif)
c.    Mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia
d.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama para ulama’ untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi kloning, meneliti peristilahan dan permasalahannya, serta menyelenggarakan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
e.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk mendorong pembentukan (pendirian) dan mendukung institusi-institusi ilmiah yang menyelenggarakan penelitian di bidang biologi dan teknik rekayasa genetika pada selain bidang kloning manusia yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
f.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk segera merumuskan kriteria dan kode etik penelitian dan eksperimen di bidang biologi untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukan.
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa-fatwa dalam hukum Islam memutuskan untuk memperbolehkan melakukan kloning sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan madharat. Oleh sebab itu dalam memutuskan permaslahan yang terkait dengan kloning baik itu terhadap manusia, tumbuh-tumbuhan, ataupun hewan Majelis Ulama’ Indonesia dalam hal ini menggkajinya dengan menggunakan kaidah ushulul fiqh yaitu Al-Maslahah Al-Mursalah. 
Kaidah ini digunakan jika suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi tidak juga ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat maka penentuan hukumnya harus berdasrkan pada Al-Maslahah Al-Mursalah.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Berkaitan dengan kloning, para ilmuwan dan agamawan juga memiliki sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak para ilmuwan berusaha untuk meneruskan percobaannya, sementara di lain pihak para agamawan dengan berbagai dalilnya menolak kloning manusia secara tegas. Secara aklamasi mereka memutuskan bahwa kloning terhadap hewan dan tumbuhan diperbolehkan karena jika kloning dilakukan pada tumbuhan dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak. Akan diperoleh tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat dan dengan sifat yang identik atau sama dengan induknya. Jika tanaman induk mempunyai sifat-sifat unggul maka dapat dipastikan keturunannya pun akan memiliki sifat unggul yang sama dengan induknya. Di Indonesia Upaya kloning pada tumbuhan juga dapat di gunakan sebagai upaya konservasi tumbuhan langka. Disamping itu adanya teknologi kloning pada tumbuhan juga dapat meningkatkan agrobisnis akan tetapi tidak demikian dengan kloning terhadap manusia. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan kloning pada manusia tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa melakukan kloning pada manusia adalah haram hukumnya.

Bab: Ketentuan Hukum Masalah Lembaga Keuangan Syari’ah
a.    Tabungan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang fatwa Majelis Ulama’ Indonesia pada tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H/ 1 Apr il 2000 memutuskan fatwa tentang tabungan:
Pertama
Tabungan ada dua jenis:
a)    Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
b)    Tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Kedua  
Ketentuan umum tabungan berdasarkan mudhorobah:
a)    Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shohibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudhorib atau pengelola dana.
b)    Dalam kapasitasnya sebagai mudhorib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya mudhorobah dengan pihak lain.
c)    Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai, bukan piutang.
d)    Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukuan rekening.
e)    Bank sebagai mudhorib menutup biaya operasional tabungan dengna menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f)    Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga 
Ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a)    Bersifat simpanan
b)    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
c)    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘Athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank. 
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Dalam menetapkan fatwa tentang tabungan, majelis ulama’ Indonesia menggunakan metode:
a)    Ijma’, diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’    
b)    Qiyas, hadits Nabi riwayat Ibnu Majah yang artinya: 
   “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqorodhoh (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari shuhaib)”. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah (secara terminologi adalah suatu akan dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya ). 
c)    Kaidah fiqih :
عَلَى تَحْرِيْميْهاَ اَلأَصْلُ فيِ الْمُعَا مَلاَتِ أَلأِبَاحَةُ إِلأَ أَنْ يَدُلُ دَلِيْلٌ
Artinya: “pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang menharamkannya”.
d)    Para ulama’ menyatakan dalam kenyataannya banyak orang yang mempunyai harta, namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memprodutifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama diantara kedua pihak tersebut.
3)    Penetapan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Seiring dengan berkembangnya tingkat perekonomian sebagian besar masyaralat Indonesia, tabungan menjadi alternatif dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam penyimpanan kekayaan, sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia memerlukan jasa perbankan dibidang penghimpunan dana masyarakat berupa tabungan. Namun tidak semua tabungan dapat dibenarkan dalam syari’at Islam. oleh karenanya MUI perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tabungan bank.








C.    Penutup
Dalam melakukan pengkajian masalah yang akan ditentukan hukumnya, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok. Hampir seluruh fatwa-fatwa Komisi Fatwa selalu mendasarkan pada al- Qur’an dan Sunnah.
Meskipun terdapat beberapa fatwa yang tidak mencantumkan al-Qur’an   dan Sunnah sebagai pijakan, namun jumlahnya tidak signifikan. Jadi, dalam      menetapkan hukum permasalahan tertentu, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode bayaniy atau pengambilan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah secara langsung.
Namun, apabila al-Qur’an dan Sunnah belum menetapkan secara qath’i, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode ta’liliy atau qiyasiy, yaitu menetapkan hukum permasalahan baru karena adanya persamaan illat dengan permasalahan yang sudah ada ketetapannya dalam nash.
Sebagaimana metode bayaniy, metode ta’liliy atau qiyâsiy sering dipergunakan oleh Komisi Fatwa, terutama terhadap permasalahan baru yang belum ada ketetapannya secara qath’i dari nash.
Meskipun Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan fatwa-fatwanya pada al- Qur’an dan Sunnah, bukan berarti tidak memandang pada kepentingan kemanusiaan. Apabila metode bayaniy dan metode ta’liliy atau qiyasiy masih belum mewujudkan ke-mashlahah-an, maka Komisi Fatwa mempergunakan metode istislahiy, yaitu cara istinbath hukum mengenai  suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak  adanya  dalil  khusus mengenai masalah tersebut dengan berpijak pada asas kemashlahatan yang sesuai dengan maqashid asy-syari’ah.

        


DAFTAR RUJUKAN
Buchori, Abdusshomad, dkk. 2003. 101 Masalah Hukum Islam; Sebuah Produk Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Surabaya: Pustaka Da’I Muda
Syafe’i, Rahmat. 2007.  Ilmu Ushul Fiqh; Untuk UIN, Stain, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani
Khallaf, Abdul Wahab . 2002.  Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushulul Fiqh . Jakarta: Raja Grafindo Persada

http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah shul-fiqh.html. diakses pada 05 Oktober 2012
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003. Website : hhtp ://geocities.com/al-qur’an indo.

Kamis, 23 Agustus 2012

TAREKAT : INSTITUSI PERSAUDARAAN KAUM SUFI

A.    PENDAHULUAN
Jika ditelaah secara sosiologis dengan lebih mendalam, tampak ada hubungan antara latar belakang lahirnya trend  dan pola hidup sufistik dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan ‘uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Bashri (110 H.) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh para pejabat Bani Umayyah.[1] Demikian juga berkembangnya tasawuf  filosofis yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Hallaj (309 H). dan Ibn Arabi (637 H), tampaknya tidak bisa terlepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cenderung tersilaukan oleh berkembangnya pola hidup rasional. Hal ini merupakan pengaruh berkembangnya filsafat dan kejayaan para filosof peripatetik, seperti; al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain.[2]
Demikian juga halnya, munculnya gerakan tasawuf sunni yang dipelopori oleh al-Qusyairi, al-Ghazali dan lain-lain, juga tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada saat itu. Mereka banyak mengikuti pola kehidupan sufistik yang menjauhi syari’at, dan tenggelam dalam keasikan filsafatnya. Sehingga sebagai antitesanya, munculah gerakan kembali ke syari’at dalam ajaran tasawuf, yang dikenal dengan istilah tasawuf sunni.[3]
Adapun tarekat, sebagai gerakan kesufian populer (massal), sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, tampaknya juga tidak begitu saja muncul. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis, maupun politis pada waktu itu.[4] oleh karena itu tulisan ini akan mendeskripsikan “tarekat sebagai institusi persaudaraan kaum sufi”.
B.     PEMBAHASAN
1.  Pengertian Tarekat
Tarekat secara etimologi berasal dari bahasa Arab “tharikah” jamaknya “taraiq” secara etimologis berarti (1) jalan, cara (al-kaifiyah), (2) metode, sistem (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halal), (5) pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah aththawillah), (6) tiang tempat berteduh, tongkat payung (amud al-mizallah), (7) yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif al-qaum) dan (8) goresan/garis pada sesuatu (al-khathth fi asy-syay).[5]
Secara terminologi tarekat adalah jalan yang mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas[6] atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.[7]
Sementara itu Harun Nasution, menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata tariqah yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir masing-masing.[8]
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan atau maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan.[9] Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) tumbuh sejalan dengan semakin mantapnya berbagai teori dan amalan-amalan sufistik. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan hubungan Syeikh dan murid sejak abad ke 10 dengan adanya hubungan yang lebih formal melalui lembaga khanaqah, thariqah, tha’ifah sebagai pusat kegiatannya. Selanjutnya lahir pula konsep ijazah[10] istilah ini muncul setelah ajaran tasawuf ‘amali. Klimaksnya adalah terbentuknya ordo sufi atau tarekat. Dalam tarekat dikenal adanya mursyid (pembimbing) sebagai guru dan salik (penempuh) atau murid (orang yang berkehendak menuju Allah) sebagai peserta didiknya. Salik atau murid tidak boleh mengamalkan atau mentransformasikan suatu ilmu tanpa ada petunjuk dan bimbingan seorang mursyid. Baru setelah diarasa cukup menempuh ilmu, Salik atau murid diperbolehkan atau diberi ijazah untuk mengamalkan sendiri atau ditransformasikan pada orang lain sekaligus sebagai indikator kelayakan dan kemampuan (fit and proper) ilmu yang diberikan.[11]
Bahkan pada masa-masa berikutnya, seorang murid tidaklah sekedar pengikut Syaikh akan tetapi mereka juga harus menerima bai’ah (sumpah setia) kepada sang Syeikh ataupun pendiri tarekat sesuai dengan garis lurus silsilah yang diterimanya dari Syeikh, maka dengan begitu seorang murid memperoleh legitimasi dalam pengetahuan tarekat dan jalinan silsilah persaudaraan, yang berarti sudah berada dalam satu keluarga besar tarekat yang dimasukinya.[12]
Dari beberapa penjelasan diatas dapat difahami bahwa tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawuf secara bersama-sama dimana seorang syekh yang menganut suatu tarekat tertentu kemudian mengamalkannya bersama dengan murid-muridnya dalam suatu lembaga yang benama khanaqah, thariqah, tha’ifah.
2.    Sejarah Muncul Dan Berkembangnya Tarekat
Tarekat sebagai gerakan kesufian populer sekaligus sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, memiliki sejarah yang cukup menarik untuk diketahui. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis, maupun politis pada waktu itu. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan politik.[13]
Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti: wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang terkenal dengan Perang Salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H. / 1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.[14]
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Ia melahap setiap wilayah yang dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena  selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir (Turki dan Dinasti Buwaihi).[15]
Secara formal khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan sultan-sultan. Keadaan  yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang memporak porandakan pusat peradaban Umat Islam (1258 M.).[16]
Kerunyaman politik dan krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintegrasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara golongan sunni dengan syi’ah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah yang mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa di mana-mana.[17]
Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim.[18]
Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan, sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat anak ayam kehilangan induk).
Dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan tarekat.[19] 
Tarekat kemudian berkembang jadi persaudaraan kesufian yang berkembang luas. Secara historis pertumbuhan tarekat sudah dimulai sejak abad ke-3 H dan ke-4 H (abad ke-9 dan 10 M), seperti al-Malamatiyah yang didirikan Ahmadun Al-Qashar, atau Ta’rifiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami, atau pun al-Khazzajiyah yang mengacu pada Abu Dzaid al-Khazzaz, tarekat-tarekat tersebut dan semacamnya masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja. Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pada awal abad ke-6 H, kemudian menyusul tarekat-tarekat lainnya.[20]   
Sejarah perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap diantaranya adalah tahap Khanqah, tahap Ribath, dan tahap Zawiyah:[21]
a.       Tahap khanaqah
Tahap khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama dibawah peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad X M. Gerakan ini mempunyai masa keemasan tasawuf.
b.      Tahap thariqah
Sekitar abad XIII M. di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf telah mencapai kedekatan diri kepada Tuhan, dan disini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.
c.       Tahap tha’ifah
Terjadinya pada sekitar abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah inilah tarekat mengandung arti lain, yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu. Terdapatlah tarekat-tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah dan lain-lain.

4.  Kriteria Murid Untuk Menjalankan Tarekat
Guru dalam tarekat yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syekh, dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun pengikutnya disebut murid. Selain itu tiap tarekat juga memiliki ajaran dan juga amalan wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaanya, tata tertibnya dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya. Menurut ketentuan tarekat pada umumnya bahwa seorang syekh sangat menentukan terhadap muridnya, keberadaan murid di hadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Dan karena ini tarekat merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang menjalankan syariat dan si murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.    Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
b.    Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak guru, dan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
c.    Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
d.   Berbuat dan mengisi waktu seefisien  mungkin dengan segala wirid dan doa guna memantapkan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
e.    Memegang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.[22]
5.    Tata Cara Pelaksanaan Tarekat (Ritual)
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain :
a.    Dengan Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati dan menyebutkan namanya dengan lisan, zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
b.    Ratib, yaitu mengucapkan lafadz La Illaha Illallah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c.    Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu. Selain itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tarekat sebagaimana disebutkan diatas, perlu mengadakan latihan batin, riadhoh dan mujahadah (perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti itu dinamakan pula suluk dan yang mengerjakannya di sebut salik.[23]
3.    Aliran-aliran Tarekat Yang Berkembang di Indonesia
Setidaknya ada ratusan tarekat yang telah berkembang di Dunia. Tentu untuk menjelaskan kesemua tarekat tersebut tidak cukup memuat di lembaran makalah yang hanya beberapa lembar ini. Untuk itu penulis hanya mengangkat beberapa tarekat saja yang paling tidak bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada kita tentang Tarekat tersebut termasuk ajaran-ajarannya, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani lahir di desa Naif kota Gilan tahun 470/1077, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut Baghdad, Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani meninggal di Baghdad pada tahun 561/1166. Tarekat ini menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia lslam.[24]
Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah seorang sufi yang pertama kali mendirikan gerakan spiritualitas yang bersifat masif dan terorganisir dengan baik. Sebelum Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, spiritualitas Islam bersifat individual dan belum terstruktur. Disamping itu, beberapa pendiri tarekat seperti Khwajah Mu’in al-Din al-Khisti dan Syeikh Najib al-Din ‘Abd al-Qathir Suhrawardi terpengaruh oleh ajaran-ajarannya dan ungkapan para sahabatnya.[25] 
Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.[26]
1)   Ajaran
Ajaran Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tinggi adapun beberapa ajaran tersebut adalah
a)     Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari hati dan kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani taubat itu ada dua macam, pertama taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia, taubat ini tidak terrealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya. kedua taubat yang berkaitan dengan hak Allah, taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi dimasa mendatang.[27] 
b)   Zuhud
Ibn Qadamah al-Maqdisi mendefinisikan zuhud sebagai gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehinaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, zuhud ada dua yaitu, zuhud hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari atau zuhud lahir (mengeluarkan duia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.[28]

c)    Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir.[29]  
Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi, “Apabila inngatan manusia telah condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada akhiratakan berkurang.[30]
Disinilah letak perbandingan antara manusia yang mengejar dunia, sehingga semua hati dan perasaannya ditumpuhkan kepada dunia yang di kejarnya. Berusahalah dia siang dan malam kerena dunia, padahal urusan keduniaan itu ada akhirnya. Semakin banyak yang diraihnya, semakin serakah ia untuk terus  berusaha mendapatkannya. Sebaliknya, bila ingatan manusia condong kepada akhirat maka ingatannya terhadap dunia akan berkurang. Oleh kerena itu, pilihlah akhirat daripada dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu.[31]
d)   Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama syukur dengan lisan yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukan. Kedua syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Dalam hal ini si penerima nikmat selalu berusaha menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga syukur dengan hati, yaitu beri’tikaf atau berdiam diri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.[32]         
e)    Sabar
Sabar adalah tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani sabar ada tiga macam yaitu, pertama bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya dan mejauhi larangannya, kedua bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatannya terhadapmu dari berbagai macam kesulitan dan musibah, ketiga bersabar atas Allah yaitu, bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di akhirat.[33]
f)    Ridha
Ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir)[34] Tidak diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakan jiwa manusia  dan memasukan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya; kerena seorang hamba yang ridha dan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya, dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam keadaan. Keridhaan ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa tenang, hilang rasa gundah, dan kegalauan.[35]
g)   Jujur
Secara bahasa jujur adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam istilah sufi dan menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan.[36]
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membedakan antara al-shadaq (orang jujur) dengan al-shiddiq (orang yang sangat jujur). Al-hadiq adalah isim lazim dari kata al-shidq, sedangkan al-shiddiq adalah untuk menunjukan kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan jalan kehidupan baginya. Sikap jujur ini sangat diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan bersih.[37]

b.   Tarekat Syadziliyah
Tarekat syadziliyah tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya yaitu Syaziliyah yang mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan tarekat yang lain.[38] Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, diutara Maroko pada tahun 573 H.[39]
Tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Lanka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur[40]  
1)   Ajaran
Antara ajaran Syadziliyah dan Qadariyah memiliki beberapa persamaan tetapi juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila Qadariyah lebih menekankan pada riyadhah al-abadan (latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqaah, misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain), maka syadziliyah lebih menekankan pada riyadhoh al-qulub tanpa menekankan adanya musyaqaah al-abadan, misalnya menekankan senang, rela, selalu bersyukur atas nikmat Allah.[41] Adapun ajaran tarekat Syadziliyah adalah sebagai berikut:
(a)  Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana  karena meninggalkan dunia yang berlebih-lebihan akan menghilangkan rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfataatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Artinya manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
(b)  Menjalankan syari’at Islam sesuai dengan al-Qur’an dan hadits.
(c)  Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah.
(d) Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Artinya seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan namun jangan sampai menjadi hamba dunia (melalaikan-Nya).
(e)  Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, artinya seorang salik berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi.
(f)   Berakhlak sesuai dengan akhlak Allah SWT dan senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya untuk selalu bersama dengan-Nya secara sungguh-sungguh.[42]              

c.    Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat ini adalah Muhammad bin Muhammad Bah al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi. Lahir di Qashrul Arifah.[43] Ia mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai pemimpin spiritual. Ia belajar Ilmu Tarekat pada Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Dari sinilah ia pertama belajar tarekat. Pada dasarnya tarekat ini bersumber dari Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdani, seorang sufi yang hidup sezaman dengan Abdul Qadir Jailani.[44] Pusat perkembangan Tarekat Tarekat Naqsyabandiyah adalah di Asia Tengah, ke Turki, India, Mekkah termasuk ke Indonesia, melalui Jemaah Haji yang pulang ke Indonesia. Dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : Gerakan Pembaharuan dan politik. Penaklukan Makkah oleh Abd al-Aziz bin Saud berakibat besar terhambatnya perkembangan tarekat Naqsabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintah oleh kaum Wahaby yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat ini di Makkah bagi Jamaah haji khususnya dari Indonesia yang setiap dari generasi banyak dari mereka masuk tarekat.[45]
1)   Ajaran
Diantara beberapa ajaran tarekat naqsyabandiyah adalah sebagai berikut:[46]
(a)  Husyr Dar Dam (sadar ketika bernafas), suatu latihan konsentrasi dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah, kaena hal ini akan memberikan kekuatan spiritual dan membawa seseorang lebih dekat dengan Allah.
(b) Nazhar Bar Qadam (menjaga langkah), seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah kaki. Dan bila duduk, tidak memandang kanan kiri hal ini dilakukan agar tujuan-tujuan rohaninya tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada disekelilingnya.
(c) Safar Dar Wathan (melakukan perjalanan ditanah kelahirannya), maknanya adalah melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.
(d)Khalwat Dar Anjuman (sepi ditengah keramaian), dalam hal ini ada dua cara yang bisa dilakukan yaitu. Pertama dengan khalwat lahir (mengasingkan diri kesebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai). Kedua khalwat batin (mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergauln sesama makhluk).
(e) Yad Krad (ingat atau menyebut), berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ism al-dzat (menyebut Allah), maupun dzikir nafi itsbat (menyebut La Illaha Illa Allah).
(f)  Baz Gaht (kembali/memperbaharui), hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang.
(g)   Nigah Dasyt (waspada), ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran dan perasaan dari sesuatu walau sekejap ketika melakukan dzikir tauhid, hal ini dilakukan untuk memelihara pikiran dan perilaku agar sesuai dengan makna kalimah yang diucapkan (kalimat dzikir).
(h)  Wukuf Zamani (memeriksa penggunaan waktu), yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali.
(i)   Wukuf Adadi (memeriksa hitungan dzikir), yakni dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali.
(j)     Wuquf Qalbi (menjaga hati tetap terkontrol), kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara sempurna sejalan dengan dzikir dan maknanya.



d.   Tarekat Khalwatiyah.
Nama tersebut diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar yaitu Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin al-Taj al-Khalwaty al-Makassary.[47] Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama kita. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.[48] Tarekat Khalwatiyah ini hanya menyebar dikalangan orang Makassar dan sedikit orang Bugis. Para khalifah yang diangkat terdiri dari orang Makassar sehingga secara etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku tersebut.[49] Beliau yang pertama kali menyebarkan tarekat ini ke Indonesia. Guru beliau Syaikh Abu al- Baraqah Ayyub al-Kahlwati al-Quraisy.[50] bergelar ” Taj al- Khalwaty” sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj al-Khalwaty. Al-Makassary di baiat menjadi penganut Tarekat Khalwatiyah di Damaskus  ada indikasi bahwa tarekat yang dijarkan merupakan penggabungan dari beberapa tarekat yang pernah ia pelajari, walaupun Tarekat Khalwatiyah tetap yang paling dominan.[51]
1)   Ajaran 
Adapun dasar ajaran Tarekat khalwatiyah adalah :
(a)    Yaqza maksudnya kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang maha Agung.
(b)   Taubah Mohon ampun atas segala dosa.
(c)    Muhasabah, menghitung-hitung atau introspeksi diri.
(d)   Inabah, berhasrat kembali kepada Allah.
(e)    Tafakkur Merenung tentang kebesaran Allah.
(f)    I’tisam selalu bertindak sebagai Khalifah Allah di bumi.
(g)   Firar, Lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna.
(h)   Riyadah, melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya.
(i)     Tasyakur, selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memujinya.
(j)     Sima’ mengkonsentrasikan seluruh anggota tubuh dan mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[52]

e.       Tarekat Syattariyah.
Tarekat Syaikh Abd Allah al-Syathary. Jika ditelusuri lebih awal lagi tarekat ini sesunggguhnya memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, karena silsilahnya terhubungkan kepada Abu Yazid al-Isyqi, yang terhubungkan lagi kepada Abu yazid al- Bustami dan Imam Ja’far Shadiq. Tidak mengherankan kemudian jika tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Isyqiyyah di Iran, atau Tarekat Bistamiyah di Turki Utsmani. Sekitar abad ke lima cukup popular di Wilayah Asia Tengah,[53] Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir dalam ajarannya. Para pengikut tarekat ini mencapai tujuan-tujuan mistik melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk menjalaninya seseorang terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat akhyar (orang yang terpilih) dan Abrar (orang yang terbaik). Ada sepuluh ajaran yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat Syattariyah ini, Sebagaimana yang di kutip dalam Ensiklopedi Islam[54] yaitu : Tobat, Zuhud, Tawakkal, Qanaah, Uzlah, Muraqabah, Sabar, Ridha, Dzikir dan Musyaahadah (menyaksikan Keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah SWT.

f.       Tarekat Sammaniyah.
Didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman, lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Di kalangan muridnya ia lebih di kenal dengan nama al-Sammany atau Muhammad Samman. Beliau banyak menghabiskan hidupnya di Madinah dan tinggal di rumah bersejarah milik Abu Bakar As-siddiq.[55] Guru–guru beliau adalah Muhammad Hayyat seorang muhaddits di Haramain sebagai penganut tarekat Naqsyabandiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang penentang bid’ah dan praktik-praktik syirik serta pendiri Wahabiyah.[56], Muhammad Sulaiman Al-Qurdi, Abu Thahir Al-Qur ani, Abdul Allah Al-Basri, dan Mustafa bin Kamal Al-Din Al-Bakri. Mustafa bin kamal Al-Din al-Bakri (Mustafa Al-Bakri) adalah guru bidang tasawuf dan tauhid dan merupakan Syaikh Tarekat Khalwatiyah yang menetap di Madinah.[57] Samman membuka cabang tarekat Al-Muhammadiyah.[58]
Samman belajar tarekat Khalwatiyah, Naqshabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah. Dengan masuk menjadi murid tarekat Qadiriyah ia dikenal dengan nama Muhammad Bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Samman dalam perjalanan belajarnya itu ternyata tarekat Naqsabandiyah juga banyak mempengaruhinya, sementara itu tarekat Syadziliyah juga dipelajari oleh Samman sebagai Tarekat yang mewakili tradisi tasawuf Maghribi.[59] Dari beberapa ajaran tarekat yang dipelajarinya, Samman akhirnya meracik tarekat tersebut, termasuk memadukan tekhnik-tekhnik zikir, bacaan bacaan, dan ajaran mistis lainnya, sehingga menjadi satu nama tarekat yaitu tarekat Sammaniyah.[60] Tarekat Sammaniyah ini juga berkembang di Nusantara, menurut keterangan dari Snouck Haugronje selama tinggal di Aceh, ia menyaksikan tarekat ini telah dipakai oleh masyarakat setempat.[61]. selain itu Tarekat ini juga banyak berkembang di daerah lain terutama di Sulawesi selatan. Dan menurut keterangan Sri Muliyati bahwa dapat dipastikan bahwa di daerah Sulawesi Selatanlah Tarekat Sammaniyah yang terbanyak pengikutnya hingga kini.[62]

1)   Ajaran
Ajaran-ajaran pokok yang terdapat Tarekat ini adalah :
(a)    Tawassul, Memohon berkah kepada pihak-pihak tertentu yang dijadikan wasilah (perantara) agar maksud bisa tercapai. Obyek tawasul tarekat ini adalah Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, asma-asma Allah, para Auliya, para ulama Fiqih, para ahli Tarekat, para ahli Makrifat, kedua orang tua
(b)   Wahdat al-Wujud, merupakan tujuan akhir yang mau dicapai oleh para sufi dalam mujahadahnya.Wahdatul wujud merupakan tahapan dimana ia menyatu dengan hakikat alam yaitu Hakikat Muhammad atau nur Muhammad
(c)    Nur Muhammad. Nur Muhammad merupakan salah satu rahasia Allah yang kemudian diberinya maqam. Nur Muhammad adalah pangkal terbentuknya alam semesta dan dari wujudnya terbentuk segala makhluk
(d)   Insan Kamil, dari segi syariat Wujud Insan kamil adalah Muhammad dan sedang dari segi hakekat adalah Nur Muhammad atau hakekat Muhammad, Orang Islam yang berminat menuju Tuhan sampai bertemu denganya harus melewati koridor ini yaitu mengikuti jejak langkah Muhammad.[63]
g.      Tarekat Tijaniyah
Didirkan oleh syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani, lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko. Syaikh Ahmad Tijani diyakini sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat,[64] menurut pengakuannya, Ahmad Tijani memiliki Nasab sampai kepada Nabi Muhammad . Silsilah dan garis nasabnya adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-Idl bin salim bin Ahmad bin Ishaq bin Zain al Abidin bin Ahmad bin Abi Thalib, dari garis Siti Fatimah al-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW. Ahmad Tijani lahir dan di besarkan dalam lingkungan tradisi keluarga yang taat beragama. Beliau  memperdalam ilmu kepada para wali besar di berbagai Negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Medinah, Maroko. Kunjungan itu untuk mecari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas, sehingga ia berhasil mencapai derajat kewalian yang sangat tinggi.[65] Selanjutnya tarekat ini berkembang di Negara Afrika seperti Sinegal, Mauritania, Guinea, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai ke luar Afrika termasuk Saudi Arabia dan Indonesia.
Tarekat Tijaniah masuk ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tarekat Tijaniyah yaitu: Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib dan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib tidak diketahui secara pasti tahunnya. Menurut penjelasan GF. Pijper dalam buku Fragmenta Islamica: Beberapa tentang Studi tentang Islam di Indonesia abad 20 sebagaimana yang di kutip oleh Sri Muliyati bahwa Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib datang pertama kali ke Indonesia, saat menyebarkan Tarekat Tijaniyah ini di Tasikmalaya.[66]
Berdarkan kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke 20 M. namun menurut Pijper, sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau jawa. Pijper menjelaskan bawha Cirebon merupakan tempat pertama diketahui adanya gerakan tarekat Tijaniyah. Pada bulan Maret 1928 pemerintah Kolonial mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa oleh guru agama ( Kiyai) yag membawa ajaran Tarekat baru yaitu Tijaniyah. Dari Cirebon ini kemudian menyebar secara luas ke daerah-daerah di pulau Jawa melalui murid-murid pesantren Buntet ini. Perkembanga tarekat ini pada akhirnya bukan hanya dari pesantren Buntet di Cirebon tetapi juga dari luar Cirebon. Seperti Tasikmalaya, Brebes dan Ciamis.[67]
1)   Ajaran
Mengenai ajaran Tarekat ini, pada dasarnya hampir sama dengan tarekat-tarekat yang telah berkembang sebelumnya pendekatan kepada Allah melalui Dzikir. Ajaran Tarekat ini cukup sederhana, yaitu perlu adanya perantara ( wasilah) antar manusia dan Tuhan. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/naibnya. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru-guru lain yang manapun, bahkan ia dilarang pula untuk memohon kepada wali dimanapun selain diriya.[68] Secara umum amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, Istigfar, Shalawat, dan Hailalah. Inti ajaran zikir dalam Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah SWT melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan Allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk, yaitu zikir bil al-Lisan dan zikir bi al-Qalb.[69] Adapun bentuk amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis yaitu, Wirid Wajibah dan wirid Ikhtiyaariyah, Wirid Wajibah yakni wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak dan menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Ikhtiyariyah yakni Wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk mengamalkannya, dan tidak menjadi ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah.[70]

h.      Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Tarekat ini adalah merupakan tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru dan berdiri yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan juga Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Tarekat ini didirikan oleh Orang Indonesia Asli yaitu Ahmad Khatib Ibn al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Makkah pada pertengahan abad kesembilan belas.[71] Bila dilihat dari perkembangannya Tarekat ini bisa juga disebut “Tarekat Sambasiyah” Tapi Nampaknya Syaikh al-Khatib tidak menamakan tarekatnya dengan namanya sendiri. berbeda dengan guru-gurunya yang lain yang memberikan nama tarekatnya sesuai dengan nama pengembangnya.[72] Sebagaimana kebiasaan ulama-ulama sebelumnya untuk memperdalam ilmu agama, kiranya mereka berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu yang mereka miliki. Demikian pula halnya dengan Ahmad Khatib, ia berangkat ke Makkah untuk belajar Ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf dan mencapai posisi yang sangat di hargai diantara teman-temannya dan kemudian menjadi seorang tokoh yang berpengaruh di seluruh Indonesia. Diantara gurunya adalah Syaikh Daud bin Abd Allah bin Idris al Fatani, Syaikh Muhammad Shalih Rays, selain itu ia juga banyak mengikuti dan menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan oleh Syaikh Bishry al-Jabaty, Sayyid ahmad al-Marzuki, Sayyid abd Allah ibn Muhammad al- Mirghany.[73]
Sebagaimana di singgung sebelumnya bahwa tarekat ini mengambil dua nama tarekat yang telah berkembang sebelumnya yaitu Qadiriyah dan  Naqsabandiyah. Tarekat Qadariyah sendiri dibangun oleh Abd Qadir Jilani, yang mengacu pada tradisi Mazhab Iraqy yang dikembangkan oleh al-Junaid, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah dibangun oleh Muhammad bin Muhammad Bah al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang didasarkan kepada tradisi al-Khurasany yang dipelopori oleh al-Bisthami. Di samping itu keduanya juga mempunyai cara-cara yang berbeda terutama dalam menerapkan cara dan teknik berzikir. Qadiriyah lebih mengutamakan pada penggunaan cara-cara zikir keras dan jelas ( dzikr Jahr ), dalam menyebutkan Nafy dan Itsbath, yakni Kalimat La Ilaaha Illa Allah. Sementara Naqsyabandiyah lebih suka memilih dzikir dengan cara yang lembut dan samar ( Dzikr Khafy), pada pelafalan Ism al-Dzat,Yakni Allah-Allah-Allah.[74]
1)   Ajaran
Tarekat ini mengajarkan tiga syarat yang harus dipenuhi orang yang sedang berjalan menuju Allah, yaitu zikir diam dalam mengingat, merasa selalu diawasi oleh Allah di dalam hatinya dan pengabdian kepada Syaikh.[75]Aturan dzikir yang telah diformulasikan oleh Syaikh Ahmad Khatib pada Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah dalam bentuk Nafyi wa Itsbat atau dengan Ism al-Dza, merupakan satu bentuk bimbingan praktis yang didorong dan didasari ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga Thariqah, jalan spritualnya diformulasikan sedemikian rupa sehingga berzikir (mengingat Allah) menjadi lebih efektif, mudah dirasakan dan diresapkan dalam hati orang yang melakukannya, baik dalam bentuk dzikir Jahr maupun dalam bentuk Sirr. Secara rinci Syaikh Ahmad Khatib merumuskan cara-cara meresapi zikir kepada Allah agar sampai pada tingkat hakikat atau kesempurnaan, yaitu Pertama, Salik hendaklah berkonsentrasi dan membersihkan hatinya dari segala cela sehingga dalam hati dan fikirannya tidak ada sesuatu pun selain Zat Allah, Kemudian meminta limpahan karunia dan kasih sayangnya serta pengenalan yang sempurna melalui perantaraan Mursyid (Syaikh). Kadua, ketika mengucapkan lafal-lafal dzikir terutama Nafyi wa Itsbat La Ilaaha Illa Allah, hendaknya salik menarik gerakan melalui suatu trayek dibadannya, dari pusat perut sampai ke otak kepalanya. Kemudian ditarik kearah bahu kanan dan dari sana dipukulkan dengan keras ke jantung. Disini kepala juga ikut bergerak sesuai dengan trayek zikir. Dari bawah ke atas ditarik kata” La ” dengan ukuran tujuh mad, kemudian kata ilaha ditarik ke bahu kanan dengan ukuran yang sama dan akhirnya kata ” illallah ” dipukulkan ke jantung dengan ukuran yang lebih lama sekitar tiga mad. Dan yang ketiga  dengan memusatkan zikir pada titik-titik halus (Lathaif) dalam anggota badan. Titik-titik halus semacam Lathifah al-Qalb terletak di bawah susu kiri berukuran dua jari. Lathifah ar-Ruh terletak di bawah susu kanan berukuran dua jari. Lathifah as-Sirr terletak bertepatan dengan susu kiri berukuran dua jari. Lathifah al-Khafy letaknya bertepatan dengan susu kanan berukuran dua jari. Lathifah al-akhfa letaknya di tengah dada dan Lathifah an-Nafs letaknya dalam dahi dan seluruh kepala. Seadangkan unsur unsur yang empat (Anashir al-Arbaah) adalah seluruh anggota badan harus merasakan zikir dan merasakan hakikatnya. Maka di sinilah seluruh anggota badan dituntut untuk menyempurnakan dan melengkapi dalam membantu gerak zikir Lathaif tadi.[76]










C.    PENUTUP
Dari pembahsaan di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat, adalah dimana suatu jalan yang ditempuh oleh seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemudian didalam pelaksanaan tarekat itu sendiri ada berbagai macam cara dan sangat beraneka ragam antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya, diantaranya dengan metode, wirid atau dikir yang keras, tarian, ratib, nafas, dan dengan musik.
Munculnya tarekat itu sendiri setidaknya ada dua faktor yang, yaitu faktor kultural dan struktur. Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti: wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang terkenal dengan Perang Salib. Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Demikian halnya di Baghdad situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena  selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir. Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim disamping itu juga didukung oleh kepedulian ulama sufi dalam memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat sehingga dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri  yang disebut dengan tarekat.
Beberapa tarekat yang pernah ada antara lain: Tarekat Qadiriyah, Syadziliah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan masih banyak lagi tarekat yang lainnya yang tentu sangat beraneka ragam keberadaannya. tujuan tarekat itu sendiri yaitu suatu  sistem atau suatu cara dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak dikir kepada Allah SWT, dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan bersatu secara ruhiyah dengan Tuhan.
DAFTAR RUJUKAN
Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi, (http://www.wordpress.com, diakses 01 Mei 2012)

Abdul Majid, Khatib. 2003. Rahasia Sufi Syaikh ‘Abd alQadir Jilani, Yogyakarta: Pustaka Sufi

Anonin. 1997. Ensiklopedi Islam, Cetakan keempat, Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta  :  PT Ichtiar baru van hoeve

Anonim, Tarekat, (http://www.wikipedia.com, diakses 01 Mei 2012)

Ali, A. K. 1990. Study of Islamic History. Delhi : Idarat Adabi

Arisandi, Ajaran tarekat qadiriyah, (http://www.blogspot.com, diakses 05 mei 2012)

Azra, Azyumard.  1998 Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:Mizan

Fuad Said, H.A. 1996. Hakekat Tarekat Naqsyabandiyah. Jakarta : Al-Husna Zikra

Hasan,  Zainul. Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi Historis), Tadris Jurnal Pendidikan Islam . volume. 1, nomor.1, tahun 2006

Ibrahim Hasan, Hasan.  1989. Islamic History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh Djahdan Human (ed) dengan judul : Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang

Iskandar Al Barsyany, Noer. 2001. Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, Jakarta: Grafindo

Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang

Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa Tathiquhu. diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran Teologi dan Filsafat  Islam, Jakarta : Bumi Aksara

Makluf, Luis. 1896. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam. Beirut: Dar Al-Masyrik
Mas Hajir Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh Di Indonesia, (http://wwww.wordpress.com, diakses 05 Mei 2012)

Muhammad al-Ghazali. Abu Hamid Ihya’ Ulum al-Din, jilid III. Kairo : Mustafa al-Bab al Halabi
Mulyati, Sri. 2006.  Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana

Muzani, Saifulah (Ed). 1996. Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung : Mizan

Nasution,Harun.  1973. Islam Ditinjau, jilid 1. Jakarta : Bulan Bintang

Nasution, Harun. 1990 (ed.). Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya. Tasikmalaya: IAIIM

Nasution, Harun. 2000. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI Pres

Pangeran karyonagoro, Kandjeng Sejarah Tarekat Sufi, (http://www.kompassania.com, diakses 01 Mei 2012)

Rusliana, Iu Mengenal Tarekat, (http://www.Blogger Sunan Gunung Djati.com, diakses 01 Mei 2012)

Samad, Dasuki Tasawuf Dan Tarekat Bukan Aliran Sesat, (http://www.blogspot.com, diakses 01 Mei 2012)

Thohir, Ajid.  2002. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,
(Bandung, Pustaka Hidayah

Van Bruinessen, Martin. 1996. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan

Zahri, Mustafa. 1995.  Kunci Memahai Ilmu Tasawuf . Jakarta : Bina Ilmu






[1] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 64
[2] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa Tathiquhu, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran Teologi dan Filsafat  Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm. 101
[3] Ibid., hlm. 103
[4] Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.), Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAIIM, 1990),  hlm. 28
[5] Luis Makluf. 1896. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam. (Beirut: Dar Al-Masyrik, tt) hlm. 465
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 8
[7] Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Grafindo, 2001) hlm. 73
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II, (Jakarta: UI Press, 2000) hlm. 127
[9] Anonim, Tarekat, (http://www.wikipedia.com, diakses 01 Mei 2012)
[10] Secara harfiyah, berasal dari bahasa arab; ajaza-yujizu-ijazah, artinya, memperbolehkan. Maksudnya, setelah melalui proses pendidikan, seorang guru (mursyid, syaikh)memperbolehkan atau memberi izin peserta didik (murid) untuk mengamalkan ilmu yang telah didapat sekaligus memperbolehkan untuk ditransformasikan pada orang lain.  
[11] Zainul Hasan, “Tadris Jurnal Pendidikan Islam”, Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi Historis), volume. 1, nomor.1, tahun 2006, hlm.2-3
[12] Dasuki Samad, Tasawuf Dan Tarekat Bukan Aliran Sesat, (http://www.blogspot.com, diakses 01 Mei 2012)
[13] Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.), Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAIIM, 1990),  hlm. 28
[14] K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi : Idarat Adabi. 1990),  hlm. 273
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh Djahdan Human (ed) dengan judul : Sejarah dan Kebudayaan Islam , (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 245 – 266
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau, jilid 1,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 79
[17] Ali, A Study of Islamic History...134-135
[18] Mereka banyak berkumpul dengan para al-’ulama al Shalihin banyak puasa, membaca Al-Quran, dan dzikir serta mengasingkan diri dari keramaian duniawi yang diyakini sebagi obat penentram jiwa. Baca Abu Bakar al-Makky, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’ ,(Surabaya : Sahabat Ilmu, tt), hlm. 49-51.
[19] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid III, (Kairo : Mustafa al-Bab al Halabi, 1334 .H), hlm. 16-20
[20] Iu Rusliana, Mengenal Tarekat, (http://www.Blogger Sunan Gunung Djati.com, diakses 01 Mei 2012)
[21] Saifulah Muzani (Ed), Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution , (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 366
[22] Abudin Nata,  Akhlak Tasawuf, PT. Raja grafindo (Jakarta : Persada, 1996), hlm. 176
[23] Mustafa Zahri, Kunci Memahai Ilmu Tasawuf , ( Jakarta : Bina Ilmu, 1995) : Hlm 59
[24] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat...26
[25] Ibid., 33-34
[26] Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi, (http://www.wordpress.com, diakses 01 Mei 2012)
[27] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 38-39
[28] Ibid., 39-40
[29] Ibid., 40
[30]Khatib Abdul Majid, Rahasia Sufi Syaikh ‘Abd alQadir Jilani, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), cet. V, hlm. 267
[31] Ibid., 269
[32] Ibid., 41
[33] Ibid., 42
[34] Ibid.,
[35] Arisandi, Ajaran tarekat qadiriyah, (http://www.blogspot.com, diakses 05 mei 2012)
[36] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 43
[37] Ibid.,
[38] Ibid., 57
[39] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf dalam Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 58
[40] Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi,...
[41] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 75
[42] Ibid.,73-75
[43] H.A Fuad Said, Hakekat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 1996)
hlm 23.
[44] Ensiklopedi Islam, Cetakan keempat, Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ( Jakarta  :  PT Ichtiar baru van hoeve, 1997)...8
[45] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat...95
[46] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat., 103-105
[47] Azyumard Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia
, (Bandung:Mizan, 1998)hlm 212
[48] Ibid..hlm 117
[49] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...127
[50]Mas Hajir Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh Di Indonesia, (http://wwww.wordpress.com, diakses 05 Mei 2012)
[51] Ibid.,
[52] Ibid.,
[53] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...154
[54] Anonim, Ensiklopedi Islam...2
[55] Azra, Jaringan Ulama Timur ....159
[56] Ibid.,
[57] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...182
[58] Azra, Jaringan Ulama Timur ....160
[59] Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[60] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...183-184
[61] Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[62] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...214
[63] Ibid., 207-210
[64] Anonim, Ensiklopedi Islam...102
[65] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...218
[66] Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[67] Ibid.,
[68] Anonim, Ensiklopedi Islam...102
[69] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...218
[70] Ibid.,
[71] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan Cet
IV,1996), hlm 89
[72] Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,
(Bandung, Pustaka Hidayah,
Cet I, 2002), hlm 49
[73] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...225
[74] Ibid.,
[75] Ibid.,258
[76] Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat...75