Kamis, 23 Agustus 2012

TAREKAT : INSTITUSI PERSAUDARAAN KAUM SUFI

A.    PENDAHULUAN
Jika ditelaah secara sosiologis dengan lebih mendalam, tampak ada hubungan antara latar belakang lahirnya trend  dan pola hidup sufistik dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan ‘uzlah yang dipelopori oleh Hasan al-Bashri (110 H.) dan Ibrahim Ibn Adham (159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik (berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh para pejabat Bani Umayyah.[1] Demikian juga berkembangnya tasawuf  filosofis yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Hallaj (309 H). dan Ibn Arabi (637 H), tampaknya tidak bisa terlepas dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cenderung tersilaukan oleh berkembangnya pola hidup rasional. Hal ini merupakan pengaruh berkembangnya filsafat dan kejayaan para filosof peripatetik, seperti; al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain.[2]
Demikian juga halnya, munculnya gerakan tasawuf sunni yang dipelopori oleh al-Qusyairi, al-Ghazali dan lain-lain, juga tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada saat itu. Mereka banyak mengikuti pola kehidupan sufistik yang menjauhi syari’at, dan tenggelam dalam keasikan filsafatnya. Sehingga sebagai antitesanya, munculah gerakan kembali ke syari’at dalam ajaran tasawuf, yang dikenal dengan istilah tasawuf sunni.[3]
Adapun tarekat, sebagai gerakan kesufian populer (massal), sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, tampaknya juga tidak begitu saja muncul. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis, maupun politis pada waktu itu.[4] oleh karena itu tulisan ini akan mendeskripsikan “tarekat sebagai institusi persaudaraan kaum sufi”.
B.     PEMBAHASAN
1.  Pengertian Tarekat
Tarekat secara etimologi berasal dari bahasa Arab “tharikah” jamaknya “taraiq” secara etimologis berarti (1) jalan, cara (al-kaifiyah), (2) metode, sistem (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halal), (5) pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah aththawillah), (6) tiang tempat berteduh, tongkat payung (amud al-mizallah), (7) yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif al-qaum) dan (8) goresan/garis pada sesuatu (al-khathth fi asy-syay).[5]
Secara terminologi tarekat adalah jalan yang mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas[6] atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.[7]
Sementara itu Harun Nasution, menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata tariqah yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir masing-masing.[8]
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan atau maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan.[9] Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) tumbuh sejalan dengan semakin mantapnya berbagai teori dan amalan-amalan sufistik. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan hubungan Syeikh dan murid sejak abad ke 10 dengan adanya hubungan yang lebih formal melalui lembaga khanaqah, thariqah, tha’ifah sebagai pusat kegiatannya. Selanjutnya lahir pula konsep ijazah[10] istilah ini muncul setelah ajaran tasawuf ‘amali. Klimaksnya adalah terbentuknya ordo sufi atau tarekat. Dalam tarekat dikenal adanya mursyid (pembimbing) sebagai guru dan salik (penempuh) atau murid (orang yang berkehendak menuju Allah) sebagai peserta didiknya. Salik atau murid tidak boleh mengamalkan atau mentransformasikan suatu ilmu tanpa ada petunjuk dan bimbingan seorang mursyid. Baru setelah diarasa cukup menempuh ilmu, Salik atau murid diperbolehkan atau diberi ijazah untuk mengamalkan sendiri atau ditransformasikan pada orang lain sekaligus sebagai indikator kelayakan dan kemampuan (fit and proper) ilmu yang diberikan.[11]
Bahkan pada masa-masa berikutnya, seorang murid tidaklah sekedar pengikut Syaikh akan tetapi mereka juga harus menerima bai’ah (sumpah setia) kepada sang Syeikh ataupun pendiri tarekat sesuai dengan garis lurus silsilah yang diterimanya dari Syeikh, maka dengan begitu seorang murid memperoleh legitimasi dalam pengetahuan tarekat dan jalinan silsilah persaudaraan, yang berarti sudah berada dalam satu keluarga besar tarekat yang dimasukinya.[12]
Dari beberapa penjelasan diatas dapat difahami bahwa tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawuf secara bersama-sama dimana seorang syekh yang menganut suatu tarekat tertentu kemudian mengamalkannya bersama dengan murid-muridnya dalam suatu lembaga yang benama khanaqah, thariqah, tha’ifah.
2.    Sejarah Muncul Dan Berkembangnya Tarekat
Tarekat sebagai gerakan kesufian populer sekaligus sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, memiliki sejarah yang cukup menarik untuk diketahui. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis, maupun politis pada waktu itu. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan politik.[13]
Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti: wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang terkenal dengan Perang Salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H. / 1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.[14]
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Ia melahap setiap wilayah yang dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena  selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir (Turki dan Dinasti Buwaihi).[15]
Secara formal khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan sultan-sultan. Keadaan  yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang memporak porandakan pusat peradaban Umat Islam (1258 M.).[16]
Kerunyaman politik dan krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintegrasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara golongan sunni dengan syi’ah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah yang mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa di mana-mana.[17]
Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim.[18]
Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan, sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat anak ayam kehilangan induk).
Dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan tarekat.[19] 
Tarekat kemudian berkembang jadi persaudaraan kesufian yang berkembang luas. Secara historis pertumbuhan tarekat sudah dimulai sejak abad ke-3 H dan ke-4 H (abad ke-9 dan 10 M), seperti al-Malamatiyah yang didirikan Ahmadun Al-Qashar, atau Ta’rifiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami, atau pun al-Khazzajiyah yang mengacu pada Abu Dzaid al-Khazzaz, tarekat-tarekat tersebut dan semacamnya masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja. Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pada awal abad ke-6 H, kemudian menyusul tarekat-tarekat lainnya.[20]   
Sejarah perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap diantaranya adalah tahap Khanqah, tahap Ribath, dan tahap Zawiyah:[21]
a.       Tahap khanaqah
Tahap khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama dibawah peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad X M. Gerakan ini mempunyai masa keemasan tasawuf.
b.      Tahap thariqah
Sekitar abad XIII M. di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf telah mencapai kedekatan diri kepada Tuhan, dan disini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.
c.       Tahap tha’ifah
Terjadinya pada sekitar abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah inilah tarekat mengandung arti lain, yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu. Terdapatlah tarekat-tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah dan lain-lain.

4.  Kriteria Murid Untuk Menjalankan Tarekat
Guru dalam tarekat yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syekh, dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun pengikutnya disebut murid. Selain itu tiap tarekat juga memiliki ajaran dan juga amalan wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaanya, tata tertibnya dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya. Menurut ketentuan tarekat pada umumnya bahwa seorang syekh sangat menentukan terhadap muridnya, keberadaan murid di hadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Dan karena ini tarekat merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang menjalankan syariat dan si murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.    Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
b.    Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak guru, dan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
c.    Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
d.   Berbuat dan mengisi waktu seefisien  mungkin dengan segala wirid dan doa guna memantapkan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
e.    Memegang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.[22]
5.    Tata Cara Pelaksanaan Tarekat (Ritual)
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain :
a.    Dengan Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati dan menyebutkan namanya dengan lisan, zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
b.    Ratib, yaitu mengucapkan lafadz La Illaha Illallah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c.    Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu. Selain itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tarekat sebagaimana disebutkan diatas, perlu mengadakan latihan batin, riadhoh dan mujahadah (perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti itu dinamakan pula suluk dan yang mengerjakannya di sebut salik.[23]
3.    Aliran-aliran Tarekat Yang Berkembang di Indonesia
Setidaknya ada ratusan tarekat yang telah berkembang di Dunia. Tentu untuk menjelaskan kesemua tarekat tersebut tidak cukup memuat di lembaran makalah yang hanya beberapa lembar ini. Untuk itu penulis hanya mengangkat beberapa tarekat saja yang paling tidak bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada kita tentang Tarekat tersebut termasuk ajaran-ajarannya, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani lahir di desa Naif kota Gilan tahun 470/1077, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut Baghdad, Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani meninggal di Baghdad pada tahun 561/1166. Tarekat ini menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia lslam.[24]
Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah seorang sufi yang pertama kali mendirikan gerakan spiritualitas yang bersifat masif dan terorganisir dengan baik. Sebelum Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, spiritualitas Islam bersifat individual dan belum terstruktur. Disamping itu, beberapa pendiri tarekat seperti Khwajah Mu’in al-Din al-Khisti dan Syeikh Najib al-Din ‘Abd al-Qathir Suhrawardi terpengaruh oleh ajaran-ajarannya dan ungkapan para sahabatnya.[25] 
Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.[26]
1)   Ajaran
Ajaran Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tinggi adapun beberapa ajaran tersebut adalah
a)     Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari hati dan kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani taubat itu ada dua macam, pertama taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia, taubat ini tidak terrealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya. kedua taubat yang berkaitan dengan hak Allah, taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi dimasa mendatang.[27] 
b)   Zuhud
Ibn Qadamah al-Maqdisi mendefinisikan zuhud sebagai gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehinaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, zuhud ada dua yaitu, zuhud hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari atau zuhud lahir (mengeluarkan duia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.[28]

c)    Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir.[29]  
Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi, “Apabila inngatan manusia telah condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada akhiratakan berkurang.[30]
Disinilah letak perbandingan antara manusia yang mengejar dunia, sehingga semua hati dan perasaannya ditumpuhkan kepada dunia yang di kejarnya. Berusahalah dia siang dan malam kerena dunia, padahal urusan keduniaan itu ada akhirnya. Semakin banyak yang diraihnya, semakin serakah ia untuk terus  berusaha mendapatkannya. Sebaliknya, bila ingatan manusia condong kepada akhirat maka ingatannya terhadap dunia akan berkurang. Oleh kerena itu, pilihlah akhirat daripada dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu.[31]
d)   Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama syukur dengan lisan yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukan. Kedua syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Dalam hal ini si penerima nikmat selalu berusaha menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga syukur dengan hati, yaitu beri’tikaf atau berdiam diri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.[32]         
e)    Sabar
Sabar adalah tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani sabar ada tiga macam yaitu, pertama bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya dan mejauhi larangannya, kedua bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatannya terhadapmu dari berbagai macam kesulitan dan musibah, ketiga bersabar atas Allah yaitu, bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di akhirat.[33]
f)    Ridha
Ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir)[34] Tidak diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakan jiwa manusia  dan memasukan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya; kerena seorang hamba yang ridha dan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya, dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam keadaan. Keridhaan ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa tenang, hilang rasa gundah, dan kegalauan.[35]
g)   Jujur
Secara bahasa jujur adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam istilah sufi dan menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan.[36]
Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membedakan antara al-shadaq (orang jujur) dengan al-shiddiq (orang yang sangat jujur). Al-hadiq adalah isim lazim dari kata al-shidq, sedangkan al-shiddiq adalah untuk menunjukan kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan jalan kehidupan baginya. Sikap jujur ini sangat diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan bersih.[37]

b.   Tarekat Syadziliyah
Tarekat syadziliyah tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya yaitu Syaziliyah yang mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan tarekat yang lain.[38] Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, diutara Maroko pada tahun 573 H.[39]
Tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Lanka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur[40]  
1)   Ajaran
Antara ajaran Syadziliyah dan Qadariyah memiliki beberapa persamaan tetapi juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila Qadariyah lebih menekankan pada riyadhah al-abadan (latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqaah, misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain), maka syadziliyah lebih menekankan pada riyadhoh al-qulub tanpa menekankan adanya musyaqaah al-abadan, misalnya menekankan senang, rela, selalu bersyukur atas nikmat Allah.[41] Adapun ajaran tarekat Syadziliyah adalah sebagai berikut:
(a)  Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana  karena meninggalkan dunia yang berlebih-lebihan akan menghilangkan rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfataatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Artinya manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
(b)  Menjalankan syari’at Islam sesuai dengan al-Qur’an dan hadits.
(c)  Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah.
(d) Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Artinya seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan namun jangan sampai menjadi hamba dunia (melalaikan-Nya).
(e)  Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, artinya seorang salik berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi.
(f)   Berakhlak sesuai dengan akhlak Allah SWT dan senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya untuk selalu bersama dengan-Nya secara sungguh-sungguh.[42]              

c.    Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat ini adalah Muhammad bin Muhammad Bah al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi. Lahir di Qashrul Arifah.[43] Ia mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai pemimpin spiritual. Ia belajar Ilmu Tarekat pada Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Dari sinilah ia pertama belajar tarekat. Pada dasarnya tarekat ini bersumber dari Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdani, seorang sufi yang hidup sezaman dengan Abdul Qadir Jailani.[44] Pusat perkembangan Tarekat Tarekat Naqsyabandiyah adalah di Asia Tengah, ke Turki, India, Mekkah termasuk ke Indonesia, melalui Jemaah Haji yang pulang ke Indonesia. Dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : Gerakan Pembaharuan dan politik. Penaklukan Makkah oleh Abd al-Aziz bin Saud berakibat besar terhambatnya perkembangan tarekat Naqsabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintah oleh kaum Wahaby yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat ini di Makkah bagi Jamaah haji khususnya dari Indonesia yang setiap dari generasi banyak dari mereka masuk tarekat.[45]
1)   Ajaran
Diantara beberapa ajaran tarekat naqsyabandiyah adalah sebagai berikut:[46]
(a)  Husyr Dar Dam (sadar ketika bernafas), suatu latihan konsentrasi dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah, kaena hal ini akan memberikan kekuatan spiritual dan membawa seseorang lebih dekat dengan Allah.
(b) Nazhar Bar Qadam (menjaga langkah), seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah kaki. Dan bila duduk, tidak memandang kanan kiri hal ini dilakukan agar tujuan-tujuan rohaninya tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada disekelilingnya.
(c) Safar Dar Wathan (melakukan perjalanan ditanah kelahirannya), maknanya adalah melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.
(d)Khalwat Dar Anjuman (sepi ditengah keramaian), dalam hal ini ada dua cara yang bisa dilakukan yaitu. Pertama dengan khalwat lahir (mengasingkan diri kesebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai). Kedua khalwat batin (mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergauln sesama makhluk).
(e) Yad Krad (ingat atau menyebut), berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ism al-dzat (menyebut Allah), maupun dzikir nafi itsbat (menyebut La Illaha Illa Allah).
(f)  Baz Gaht (kembali/memperbaharui), hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang.
(g)   Nigah Dasyt (waspada), ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran dan perasaan dari sesuatu walau sekejap ketika melakukan dzikir tauhid, hal ini dilakukan untuk memelihara pikiran dan perilaku agar sesuai dengan makna kalimah yang diucapkan (kalimat dzikir).
(h)  Wukuf Zamani (memeriksa penggunaan waktu), yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali.
(i)   Wukuf Adadi (memeriksa hitungan dzikir), yakni dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali.
(j)     Wuquf Qalbi (menjaga hati tetap terkontrol), kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara sempurna sejalan dengan dzikir dan maknanya.



d.   Tarekat Khalwatiyah.
Nama tersebut diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar yaitu Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin al-Taj al-Khalwaty al-Makassary.[47] Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama kita. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.[48] Tarekat Khalwatiyah ini hanya menyebar dikalangan orang Makassar dan sedikit orang Bugis. Para khalifah yang diangkat terdiri dari orang Makassar sehingga secara etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku tersebut.[49] Beliau yang pertama kali menyebarkan tarekat ini ke Indonesia. Guru beliau Syaikh Abu al- Baraqah Ayyub al-Kahlwati al-Quraisy.[50] bergelar ” Taj al- Khalwaty” sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj al-Khalwaty. Al-Makassary di baiat menjadi penganut Tarekat Khalwatiyah di Damaskus  ada indikasi bahwa tarekat yang dijarkan merupakan penggabungan dari beberapa tarekat yang pernah ia pelajari, walaupun Tarekat Khalwatiyah tetap yang paling dominan.[51]
1)   Ajaran 
Adapun dasar ajaran Tarekat khalwatiyah adalah :
(a)    Yaqza maksudnya kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang maha Agung.
(b)   Taubah Mohon ampun atas segala dosa.
(c)    Muhasabah, menghitung-hitung atau introspeksi diri.
(d)   Inabah, berhasrat kembali kepada Allah.
(e)    Tafakkur Merenung tentang kebesaran Allah.
(f)    I’tisam selalu bertindak sebagai Khalifah Allah di bumi.
(g)   Firar, Lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna.
(h)   Riyadah, melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya.
(i)     Tasyakur, selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memujinya.
(j)     Sima’ mengkonsentrasikan seluruh anggota tubuh dan mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[52]

e.       Tarekat Syattariyah.
Tarekat Syaikh Abd Allah al-Syathary. Jika ditelusuri lebih awal lagi tarekat ini sesunggguhnya memiliki akar keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, karena silsilahnya terhubungkan kepada Abu Yazid al-Isyqi, yang terhubungkan lagi kepada Abu yazid al- Bustami dan Imam Ja’far Shadiq. Tidak mengherankan kemudian jika tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Isyqiyyah di Iran, atau Tarekat Bistamiyah di Turki Utsmani. Sekitar abad ke lima cukup popular di Wilayah Asia Tengah,[53] Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir dalam ajarannya. Para pengikut tarekat ini mencapai tujuan-tujuan mistik melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk menjalaninya seseorang terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat akhyar (orang yang terpilih) dan Abrar (orang yang terbaik). Ada sepuluh ajaran yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat Syattariyah ini, Sebagaimana yang di kutip dalam Ensiklopedi Islam[54] yaitu : Tobat, Zuhud, Tawakkal, Qanaah, Uzlah, Muraqabah, Sabar, Ridha, Dzikir dan Musyaahadah (menyaksikan Keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah SWT.

f.       Tarekat Sammaniyah.
Didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman, lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Di kalangan muridnya ia lebih di kenal dengan nama al-Sammany atau Muhammad Samman. Beliau banyak menghabiskan hidupnya di Madinah dan tinggal di rumah bersejarah milik Abu Bakar As-siddiq.[55] Guru–guru beliau adalah Muhammad Hayyat seorang muhaddits di Haramain sebagai penganut tarekat Naqsyabandiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang penentang bid’ah dan praktik-praktik syirik serta pendiri Wahabiyah.[56], Muhammad Sulaiman Al-Qurdi, Abu Thahir Al-Qur ani, Abdul Allah Al-Basri, dan Mustafa bin Kamal Al-Din Al-Bakri. Mustafa bin kamal Al-Din al-Bakri (Mustafa Al-Bakri) adalah guru bidang tasawuf dan tauhid dan merupakan Syaikh Tarekat Khalwatiyah yang menetap di Madinah.[57] Samman membuka cabang tarekat Al-Muhammadiyah.[58]
Samman belajar tarekat Khalwatiyah, Naqshabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah. Dengan masuk menjadi murid tarekat Qadiriyah ia dikenal dengan nama Muhammad Bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Samman dalam perjalanan belajarnya itu ternyata tarekat Naqsabandiyah juga banyak mempengaruhinya, sementara itu tarekat Syadziliyah juga dipelajari oleh Samman sebagai Tarekat yang mewakili tradisi tasawuf Maghribi.[59] Dari beberapa ajaran tarekat yang dipelajarinya, Samman akhirnya meracik tarekat tersebut, termasuk memadukan tekhnik-tekhnik zikir, bacaan bacaan, dan ajaran mistis lainnya, sehingga menjadi satu nama tarekat yaitu tarekat Sammaniyah.[60] Tarekat Sammaniyah ini juga berkembang di Nusantara, menurut keterangan dari Snouck Haugronje selama tinggal di Aceh, ia menyaksikan tarekat ini telah dipakai oleh masyarakat setempat.[61]. selain itu Tarekat ini juga banyak berkembang di daerah lain terutama di Sulawesi selatan. Dan menurut keterangan Sri Muliyati bahwa dapat dipastikan bahwa di daerah Sulawesi Selatanlah Tarekat Sammaniyah yang terbanyak pengikutnya hingga kini.[62]

1)   Ajaran
Ajaran-ajaran pokok yang terdapat Tarekat ini adalah :
(a)    Tawassul, Memohon berkah kepada pihak-pihak tertentu yang dijadikan wasilah (perantara) agar maksud bisa tercapai. Obyek tawasul tarekat ini adalah Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, asma-asma Allah, para Auliya, para ulama Fiqih, para ahli Tarekat, para ahli Makrifat, kedua orang tua
(b)   Wahdat al-Wujud, merupakan tujuan akhir yang mau dicapai oleh para sufi dalam mujahadahnya.Wahdatul wujud merupakan tahapan dimana ia menyatu dengan hakikat alam yaitu Hakikat Muhammad atau nur Muhammad
(c)    Nur Muhammad. Nur Muhammad merupakan salah satu rahasia Allah yang kemudian diberinya maqam. Nur Muhammad adalah pangkal terbentuknya alam semesta dan dari wujudnya terbentuk segala makhluk
(d)   Insan Kamil, dari segi syariat Wujud Insan kamil adalah Muhammad dan sedang dari segi hakekat adalah Nur Muhammad atau hakekat Muhammad, Orang Islam yang berminat menuju Tuhan sampai bertemu denganya harus melewati koridor ini yaitu mengikuti jejak langkah Muhammad.[63]
g.      Tarekat Tijaniyah
Didirkan oleh syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani, lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko. Syaikh Ahmad Tijani diyakini sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat,[64] menurut pengakuannya, Ahmad Tijani memiliki Nasab sampai kepada Nabi Muhammad . Silsilah dan garis nasabnya adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-Idl bin salim bin Ahmad bin Ishaq bin Zain al Abidin bin Ahmad bin Abi Thalib, dari garis Siti Fatimah al-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW. Ahmad Tijani lahir dan di besarkan dalam lingkungan tradisi keluarga yang taat beragama. Beliau  memperdalam ilmu kepada para wali besar di berbagai Negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Medinah, Maroko. Kunjungan itu untuk mecari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas, sehingga ia berhasil mencapai derajat kewalian yang sangat tinggi.[65] Selanjutnya tarekat ini berkembang di Negara Afrika seperti Sinegal, Mauritania, Guinea, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai ke luar Afrika termasuk Saudi Arabia dan Indonesia.
Tarekat Tijaniah masuk ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tarekat Tijaniyah yaitu: Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib dan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib tidak diketahui secara pasti tahunnya. Menurut penjelasan GF. Pijper dalam buku Fragmenta Islamica: Beberapa tentang Studi tentang Islam di Indonesia abad 20 sebagaimana yang di kutip oleh Sri Muliyati bahwa Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib datang pertama kali ke Indonesia, saat menyebarkan Tarekat Tijaniyah ini di Tasikmalaya.[66]
Berdarkan kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke 20 M. namun menurut Pijper, sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum mempunyai pengikut di pulau jawa. Pijper menjelaskan bawha Cirebon merupakan tempat pertama diketahui adanya gerakan tarekat Tijaniyah. Pada bulan Maret 1928 pemerintah Kolonial mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa oleh guru agama ( Kiyai) yag membawa ajaran Tarekat baru yaitu Tijaniyah. Dari Cirebon ini kemudian menyebar secara luas ke daerah-daerah di pulau Jawa melalui murid-murid pesantren Buntet ini. Perkembanga tarekat ini pada akhirnya bukan hanya dari pesantren Buntet di Cirebon tetapi juga dari luar Cirebon. Seperti Tasikmalaya, Brebes dan Ciamis.[67]
1)   Ajaran
Mengenai ajaran Tarekat ini, pada dasarnya hampir sama dengan tarekat-tarekat yang telah berkembang sebelumnya pendekatan kepada Allah melalui Dzikir. Ajaran Tarekat ini cukup sederhana, yaitu perlu adanya perantara ( wasilah) antar manusia dan Tuhan. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/naibnya. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru-guru lain yang manapun, bahkan ia dilarang pula untuk memohon kepada wali dimanapun selain diriya.[68] Secara umum amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, Istigfar, Shalawat, dan Hailalah. Inti ajaran zikir dalam Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah SWT melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan Allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk, yaitu zikir bil al-Lisan dan zikir bi al-Qalb.[69] Adapun bentuk amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis yaitu, Wirid Wajibah dan wirid Ikhtiyaariyah, Wirid Wajibah yakni wirid yang wajib diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak dan menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Ikhtiyariyah yakni Wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk mengamalkannya, dan tidak menjadi ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah.[70]

h.      Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Tarekat ini adalah merupakan tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang baru dan berdiri yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan juga Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Tarekat ini didirikan oleh Orang Indonesia Asli yaitu Ahmad Khatib Ibn al-Ghaffar Sambas, yang bermukim dan mengajar di Makkah pada pertengahan abad kesembilan belas.[71] Bila dilihat dari perkembangannya Tarekat ini bisa juga disebut “Tarekat Sambasiyah” Tapi Nampaknya Syaikh al-Khatib tidak menamakan tarekatnya dengan namanya sendiri. berbeda dengan guru-gurunya yang lain yang memberikan nama tarekatnya sesuai dengan nama pengembangnya.[72] Sebagaimana kebiasaan ulama-ulama sebelumnya untuk memperdalam ilmu agama, kiranya mereka berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu yang mereka miliki. Demikian pula halnya dengan Ahmad Khatib, ia berangkat ke Makkah untuk belajar Ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf dan mencapai posisi yang sangat di hargai diantara teman-temannya dan kemudian menjadi seorang tokoh yang berpengaruh di seluruh Indonesia. Diantara gurunya adalah Syaikh Daud bin Abd Allah bin Idris al Fatani, Syaikh Muhammad Shalih Rays, selain itu ia juga banyak mengikuti dan menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan oleh Syaikh Bishry al-Jabaty, Sayyid ahmad al-Marzuki, Sayyid abd Allah ibn Muhammad al- Mirghany.[73]
Sebagaimana di singgung sebelumnya bahwa tarekat ini mengambil dua nama tarekat yang telah berkembang sebelumnya yaitu Qadiriyah dan  Naqsabandiyah. Tarekat Qadariyah sendiri dibangun oleh Abd Qadir Jilani, yang mengacu pada tradisi Mazhab Iraqy yang dikembangkan oleh al-Junaid, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah dibangun oleh Muhammad bin Muhammad Bah al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang didasarkan kepada tradisi al-Khurasany yang dipelopori oleh al-Bisthami. Di samping itu keduanya juga mempunyai cara-cara yang berbeda terutama dalam menerapkan cara dan teknik berzikir. Qadiriyah lebih mengutamakan pada penggunaan cara-cara zikir keras dan jelas ( dzikr Jahr ), dalam menyebutkan Nafy dan Itsbath, yakni Kalimat La Ilaaha Illa Allah. Sementara Naqsyabandiyah lebih suka memilih dzikir dengan cara yang lembut dan samar ( Dzikr Khafy), pada pelafalan Ism al-Dzat,Yakni Allah-Allah-Allah.[74]
1)   Ajaran
Tarekat ini mengajarkan tiga syarat yang harus dipenuhi orang yang sedang berjalan menuju Allah, yaitu zikir diam dalam mengingat, merasa selalu diawasi oleh Allah di dalam hatinya dan pengabdian kepada Syaikh.[75]Aturan dzikir yang telah diformulasikan oleh Syaikh Ahmad Khatib pada Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah dalam bentuk Nafyi wa Itsbat atau dengan Ism al-Dza, merupakan satu bentuk bimbingan praktis yang didorong dan didasari ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga Thariqah, jalan spritualnya diformulasikan sedemikian rupa sehingga berzikir (mengingat Allah) menjadi lebih efektif, mudah dirasakan dan diresapkan dalam hati orang yang melakukannya, baik dalam bentuk dzikir Jahr maupun dalam bentuk Sirr. Secara rinci Syaikh Ahmad Khatib merumuskan cara-cara meresapi zikir kepada Allah agar sampai pada tingkat hakikat atau kesempurnaan, yaitu Pertama, Salik hendaklah berkonsentrasi dan membersihkan hatinya dari segala cela sehingga dalam hati dan fikirannya tidak ada sesuatu pun selain Zat Allah, Kemudian meminta limpahan karunia dan kasih sayangnya serta pengenalan yang sempurna melalui perantaraan Mursyid (Syaikh). Kadua, ketika mengucapkan lafal-lafal dzikir terutama Nafyi wa Itsbat La Ilaaha Illa Allah, hendaknya salik menarik gerakan melalui suatu trayek dibadannya, dari pusat perut sampai ke otak kepalanya. Kemudian ditarik kearah bahu kanan dan dari sana dipukulkan dengan keras ke jantung. Disini kepala juga ikut bergerak sesuai dengan trayek zikir. Dari bawah ke atas ditarik kata” La ” dengan ukuran tujuh mad, kemudian kata ilaha ditarik ke bahu kanan dengan ukuran yang sama dan akhirnya kata ” illallah ” dipukulkan ke jantung dengan ukuran yang lebih lama sekitar tiga mad. Dan yang ketiga  dengan memusatkan zikir pada titik-titik halus (Lathaif) dalam anggota badan. Titik-titik halus semacam Lathifah al-Qalb terletak di bawah susu kiri berukuran dua jari. Lathifah ar-Ruh terletak di bawah susu kanan berukuran dua jari. Lathifah as-Sirr terletak bertepatan dengan susu kiri berukuran dua jari. Lathifah al-Khafy letaknya bertepatan dengan susu kanan berukuran dua jari. Lathifah al-akhfa letaknya di tengah dada dan Lathifah an-Nafs letaknya dalam dahi dan seluruh kepala. Seadangkan unsur unsur yang empat (Anashir al-Arbaah) adalah seluruh anggota badan harus merasakan zikir dan merasakan hakikatnya. Maka di sinilah seluruh anggota badan dituntut untuk menyempurnakan dan melengkapi dalam membantu gerak zikir Lathaif tadi.[76]










C.    PENUTUP
Dari pembahsaan di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat, adalah dimana suatu jalan yang ditempuh oleh seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemudian didalam pelaksanaan tarekat itu sendiri ada berbagai macam cara dan sangat beraneka ragam antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya, diantaranya dengan metode, wirid atau dikir yang keras, tarian, ratib, nafas, dan dengan musik.
Munculnya tarekat itu sendiri setidaknya ada dua faktor yang, yaitu faktor kultural dan struktur. Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti: wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang terkenal dengan Perang Salib. Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Demikian halnya di Baghdad situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena  selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir. Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim disamping itu juga didukung oleh kepedulian ulama sufi dalam memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat sehingga dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri  yang disebut dengan tarekat.
Beberapa tarekat yang pernah ada antara lain: Tarekat Qadiriyah, Syadziliah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan masih banyak lagi tarekat yang lainnya yang tentu sangat beraneka ragam keberadaannya. tujuan tarekat itu sendiri yaitu suatu  sistem atau suatu cara dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak dikir kepada Allah SWT, dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan bersatu secara ruhiyah dengan Tuhan.
DAFTAR RUJUKAN
Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi, (http://www.wordpress.com, diakses 01 Mei 2012)

Abdul Majid, Khatib. 2003. Rahasia Sufi Syaikh ‘Abd alQadir Jilani, Yogyakarta: Pustaka Sufi

Anonin. 1997. Ensiklopedi Islam, Cetakan keempat, Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta  :  PT Ichtiar baru van hoeve

Anonim, Tarekat, (http://www.wikipedia.com, diakses 01 Mei 2012)

Ali, A. K. 1990. Study of Islamic History. Delhi : Idarat Adabi

Arisandi, Ajaran tarekat qadiriyah, (http://www.blogspot.com, diakses 05 mei 2012)

Azra, Azyumard.  1998 Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:Mizan

Fuad Said, H.A. 1996. Hakekat Tarekat Naqsyabandiyah. Jakarta : Al-Husna Zikra

Hasan,  Zainul. Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi Historis), Tadris Jurnal Pendidikan Islam . volume. 1, nomor.1, tahun 2006

Ibrahim Hasan, Hasan.  1989. Islamic History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh Djahdan Human (ed) dengan judul : Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang

Iskandar Al Barsyany, Noer. 2001. Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, Jakarta: Grafindo

Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang

Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa Tathiquhu. diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran Teologi dan Filsafat  Islam, Jakarta : Bumi Aksara

Makluf, Luis. 1896. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam. Beirut: Dar Al-Masyrik
Mas Hajir Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh Di Indonesia, (http://wwww.wordpress.com, diakses 05 Mei 2012)

Muhammad al-Ghazali. Abu Hamid Ihya’ Ulum al-Din, jilid III. Kairo : Mustafa al-Bab al Halabi
Mulyati, Sri. 2006.  Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Kencana

Muzani, Saifulah (Ed). 1996. Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung : Mizan

Nasution,Harun.  1973. Islam Ditinjau, jilid 1. Jakarta : Bulan Bintang

Nasution, Harun. 1990 (ed.). Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya. Tasikmalaya: IAIIM

Nasution, Harun. 2000. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI Pres

Pangeran karyonagoro, Kandjeng Sejarah Tarekat Sufi, (http://www.kompassania.com, diakses 01 Mei 2012)

Rusliana, Iu Mengenal Tarekat, (http://www.Blogger Sunan Gunung Djati.com, diakses 01 Mei 2012)

Samad, Dasuki Tasawuf Dan Tarekat Bukan Aliran Sesat, (http://www.blogspot.com, diakses 01 Mei 2012)

Thohir, Ajid.  2002. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,
(Bandung, Pustaka Hidayah

Van Bruinessen, Martin. 1996. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan

Zahri, Mustafa. 1995.  Kunci Memahai Ilmu Tasawuf . Jakarta : Bina Ilmu






[1] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 64
[2] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa Tathiquhu, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran Teologi dan Filsafat  Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm. 101
[3] Ibid., hlm. 103
[4] Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.), Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAIIM, 1990),  hlm. 28
[5] Luis Makluf. 1896. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam. (Beirut: Dar Al-Masyrik, tt) hlm. 465
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 8
[7] Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Grafindo, 2001) hlm. 73
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II, (Jakarta: UI Press, 2000) hlm. 127
[9] Anonim, Tarekat, (http://www.wikipedia.com, diakses 01 Mei 2012)
[10] Secara harfiyah, berasal dari bahasa arab; ajaza-yujizu-ijazah, artinya, memperbolehkan. Maksudnya, setelah melalui proses pendidikan, seorang guru (mursyid, syaikh)memperbolehkan atau memberi izin peserta didik (murid) untuk mengamalkan ilmu yang telah didapat sekaligus memperbolehkan untuk ditransformasikan pada orang lain.  
[11] Zainul Hasan, “Tadris Jurnal Pendidikan Islam”, Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi Historis), volume. 1, nomor.1, tahun 2006, hlm.2-3
[12] Dasuki Samad, Tasawuf Dan Tarekat Bukan Aliran Sesat, (http://www.blogspot.com, diakses 01 Mei 2012)
[13] Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.), Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAIIM, 1990),  hlm. 28
[14] K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi : Idarat Adabi. 1990),  hlm. 273
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh Djahdan Human (ed) dengan judul : Sejarah dan Kebudayaan Islam , (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 245 – 266
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau, jilid 1,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 79
[17] Ali, A Study of Islamic History...134-135
[18] Mereka banyak berkumpul dengan para al-’ulama al Shalihin banyak puasa, membaca Al-Quran, dan dzikir serta mengasingkan diri dari keramaian duniawi yang diyakini sebagi obat penentram jiwa. Baca Abu Bakar al-Makky, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’ ,(Surabaya : Sahabat Ilmu, tt), hlm. 49-51.
[19] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid III, (Kairo : Mustafa al-Bab al Halabi, 1334 .H), hlm. 16-20
[20] Iu Rusliana, Mengenal Tarekat, (http://www.Blogger Sunan Gunung Djati.com, diakses 01 Mei 2012)
[21] Saifulah Muzani (Ed), Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution , (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 366
[22] Abudin Nata,  Akhlak Tasawuf, PT. Raja grafindo (Jakarta : Persada, 1996), hlm. 176
[23] Mustafa Zahri, Kunci Memahai Ilmu Tasawuf , ( Jakarta : Bina Ilmu, 1995) : Hlm 59
[24] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat...26
[25] Ibid., 33-34
[26] Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi, (http://www.wordpress.com, diakses 01 Mei 2012)
[27] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 38-39
[28] Ibid., 39-40
[29] Ibid., 40
[30]Khatib Abdul Majid, Rahasia Sufi Syaikh ‘Abd alQadir Jilani, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), cet. V, hlm. 267
[31] Ibid., 269
[32] Ibid., 41
[33] Ibid., 42
[34] Ibid.,
[35] Arisandi, Ajaran tarekat qadiriyah, (http://www.blogspot.com, diakses 05 mei 2012)
[36] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 43
[37] Ibid.,
[38] Ibid., 57
[39] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf dalam Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 58
[40] Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi,...
[41] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 75
[42] Ibid.,73-75
[43] H.A Fuad Said, Hakekat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 1996)
hlm 23.
[44] Ensiklopedi Islam, Cetakan keempat, Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ( Jakarta  :  PT Ichtiar baru van hoeve, 1997)...8
[45] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat...95
[46] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat., 103-105
[47] Azyumard Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia
, (Bandung:Mizan, 1998)hlm 212
[48] Ibid..hlm 117
[49] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...127
[50]Mas Hajir Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh Di Indonesia, (http://wwww.wordpress.com, diakses 05 Mei 2012)
[51] Ibid.,
[52] Ibid.,
[53] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...154
[54] Anonim, Ensiklopedi Islam...2
[55] Azra, Jaringan Ulama Timur ....159
[56] Ibid.,
[57] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...182
[58] Azra, Jaringan Ulama Timur ....160
[59] Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[60] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...183-184
[61] Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[62] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...214
[63] Ibid., 207-210
[64] Anonim, Ensiklopedi Islam...102
[65] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...218
[66] Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[67] Ibid.,
[68] Anonim, Ensiklopedi Islam...102
[69] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...218
[70] Ibid.,
[71] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan Cet
IV,1996), hlm 89
[72] Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,
(Bandung, Pustaka Hidayah,
Cet I, 2002), hlm 49
[73] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...225
[74] Ibid.,
[75] Ibid.,258
[76] Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat...75