A.
PENDAHULUAN
Dalam
belajar mengajar
hal yang terpenting adalah proses, karena proses inilah yang menentukan tujuan belajar
akan tercapai atau tidak tercapai. Ketercapaian dalam proses belajar mengajar
ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut
baik yang menyangkut perubahan bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Dalam
proses belajar mengajar ada banyak faktor yang mempengaruhi tercapainaya tujuan pembelajaran
diantaranya pendidik, peserta didik, lingkungan, metode/teknik serta media pembelajaran.
Dengan
adanya media pembelajaran
maka tradisi lisan dan tulisan dalam proses pembelajaran
dapat diperkaya dengan berbagai media pembelajaran. Dengan tersedianya media pembelajaran,
guru atau pendidik dapat menciptakan berbagai situasi kelas, menentukan metode pengajaran
yang akan dipakai dalam situasi yang berlainan dan menciptakan iklim yang
emosional yang sehat diantara peserta didik.
Dalam
pembelajaran,
alat atau media pendidikan jelas diperlukan. Sebab alat atau media pembelajaran
ini memiliki peranan yang besar dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan
pendidikan yang diinginkan. Akan tetapi untuk menjadikan media tersebut memiliki
nilai guna maka diperlukan adanya tujuan pembelajaran dimana dengan tujuan
pembelajaran tersebut guru (pendidik) bisa mengaur jalannya proses kegiatan
belajar dan mengajar dengan cara mengorganisasikan peserta didik, menentukan
tempat dan media yang digunakan serta merumuskan berapa lama waktu yang akan
digunakan untuk mencapai suatu kompetensi atau tujuan belajar yang telah
disepakati sebelumnya.
Secara
garis besar makalah ini akan membahas mengenai beberapa hal yang terkait dengan
peran media dalam pengaturan pembelajaran, dengan pokok bahasan tentang
pengorganisasian, alokasi tempat, serta alokasi waktu pembelajaran.
B.
PEMBAHASAN
1.
Organization
Of Group
(mengorganisasi kelompok)
Menurut Ngalim Purwanto organisasi dapat
diartikan sebagai pemberian struktur atau penempatan beberapa orang di dalam
suatu kelompok, sehingga terjalin hubungan dengan tanggung jawab masing-masing
yang bertujuan agar tercapainya segala apa yang disusun bersama kelompok.[1]
Sedangkan menurut Dales S. Beach dalam
(Burhanuddin) organisasi dapat diartikan sebagai berikut:
“Organisasi adalah suatu sistem,
mempunyai struktur dan perencanaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, di
dalamnya orang-orang bekerja dan
berhubungan satu sama lain dengan suatu cara yang terkoordinasi dan
kooperatif guna mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.”[2]
Definisi di atas memberikan gambaran bahwa ada
beberapa poin saling menguatkan dalam sebuah organisasi. Poin tersebut ialah adanya
struktur, adanya perencanaan, rasa sadar (kesadaran), adanya koordinasi dan
kooperatif serta terdapat tujuan. Berdasarkan poin-poin tersebut maka sebuah
organisasi tidak akan berjalan baik jika salah satu poin tersebut hilang. Hal
ini jika direalisasikan dalam proses pembelajaran, maka seorang guru harus
mampu mengorganisir peserta didik di dalam kelas baik secara individu maupun
kelompok tanpa menghilangkan poin-poin tadi sehingga pembelajaran berjalan
dengan baik.
Sedangkan menurut Oteng Sutisna bahwa ada tiga
faktor yang terdapat di dalam pengertian organisasi, dan ketiga faktor tersebut
berimplikasi kepada kesatuan sebuah organisasi serta mengokohkan keberadaannya. Tiga faktor
tersebut adalah tujuan-tujuan, kewenangan, serta pengetahuan.[3]
Pada pengertian lainnya bahwa dalam proses
pembelajaran, organisasi kelompok belajar sangat dibutuhkan untuk mengontrol
proses pembelajaran sehingga berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai
yaitu tujuan pembelajaran. Serta memudahkan guru untuk memberikan matapelajaran
karena kondisi kelas sudah terorganisir
dengan baik dan benar. Selain itu, peserta didik juga merasa memiliki tanggungjawab
setiap mengikuti pembelajaran dan berimplikasi kepada semangat serta motivasi
belajar peserta didik.
Siagan dalam (Burhanuddin) juga memberikan
definisi berkenaan dengan organisasi sebagai berikut:
“Setiap bentuk persekutuan antara
dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan bersama dan terikat
secara formal dalam persekutuan mana selalu terdapat hubungan antara
seorang/sekelompok orang yang disebut pemimpin dan seorang/ kelompok orang lain
yang disebut bawahan.”[4]
Pengertian di atas jika dikaitkan dengan
organisasi pembelajaran atau kelompok belajar, maka pemimpin tersebut ialah
guru sedangkan bawahannya ialah peserta didik. Diantara keduanya terikat dalam
suatu sistem pembelajaran yang sama-sama hendak mencapai suatu tujuan demi masa
depan.
Organisasi pada setiap negara, sekolah, maupun
pada tataran yang paling kecil yaitu organisasi kelompok memiliki perbedaan.
Perbedaan tersebut tercermin pada landasan yang dipegang. Jika semua hal diatur
oleh seorang maka organisasi tersebut cenderung ke arah sentralisasi.
Sebaliknya jika setiap kelompok memimpin sendiri kelompok atau golongannya maka
organisasi seperti ini cenderung ke arah desentralisasi.[5]
Perbedaan pola organisasi tersebut tetap
berpegang kepada dua ketentuan sebagai berikut:
a.
Tidak lebih
dari seorang guru bertanggungjawab untuk mengajar semua matapelajaran atau
gabungan matapelajaran dalam suatu kelompok yang berjumlah 25-30 peserta didik
serta bertatap muka lima kali dalam seminggu;
b.
Organisasi
berfungsi langsung kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.[6]
Sebenarnya proses organisasi tidak terlepas
dari kegiatan-kegiatan di bawah ini yaitu:
a.
Pembagian
kerja baik kepada individu maupun kelompok.
b.
Pembagian
aktivitas menurut kekuasaan serta tanggungjawab.
c.
Pembagian
tugas menurut tipe atau jenis yang berbeda setiap kelompok maupun individu.
d.
Berkoordinasi
dalam melaksanakan setiap kegiatan baik secara individu maupun berkelompok.
e.
Mengatur
hubungan antar personil kerja atau kelompok.[7]
Kelima kegiatan di atas selalu tercermin dalam
sebuah organisasi, oleh karena itu proses pembelajaran yang terorganisir akan
mencakup lima kegiatan terserbut. Inilah tugas yang harus dilakukan oleh
seorang guru bersama peserta didik.
Kegiatan-kegiatan di dalam organisasi
memberikan makna bahwa organisasi memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
a.
Mengatur tugas
dan kegiatan secara personal maupun kelompok.
b.
Menjauhkan
dari kesulitan dan kesalahan dalam mengerjakan tugas.
c.
Menetapkan
pedoman pekerjaan atau tugas.[8]
Berdasarkan fungsi tersebut, tak dapat
dinafikan bahwa mengorganisasikan proses pembelajaran memberikan keuntungan dan
kemudahan baik bagi guru sebagai organisator maupun peserta didik. Beberapa
keuntungan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Memberikan
pengertian kepada peserta didik akan tugas yang diberikan kepadanya.
b.
Memberikan
kejelasan hubungan atau kerjasama antar perserta didik baik dalam pembelajaran secara
individu maupun kelompok.
c.
Mengerjakan
pekerjaan atau tugas sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik.
d.
Memberikan
nilai efektif serta efisien dalam proses pembelajaran.[9]
Menurut Mursell dan Nasution bahwa mengajar
sebagai salah satu tugas seorang guru dapat diartikan mengorganisasi pelajaran
atau kegiatan dalam proses pembelajaran. Namun tugas ini tidak hanya guru yang
bisa melakukan, peserta didik secara individu maupun kelompok juga ikut
berperan aktif melakukan tugas ini.[10]
Jika mengajar diartikan dengan mengorganisasi
sejumlah kegiatan baik yang ada di dalam kelas maupun diluar secara individu
dan kelompok. Maka tugas guru adalah selalu mengikuti kegiatan tersebut
sehingga diharapkan guru dapat berperan di tengah-tengah peserta didik baik
sebagai pembimbing maupun pemberi saran.[11]
Oleh karena itu, seorang guru merupakan
organisator yang memiliki beberapa sifat dan karakter sebagai berikut:
a.
Guru bukan
seorang outokrat, karena tidak hanya menyuruh peserta didik menjalankan
perintahnya namun ia ikut serta dalam melakukan segala perencanaan yang telah
diputuskan.
b.
Guru selalu
membantu peserta didik baik secara individu maupun kelompok untuk menemukan,
merumuskan serta menjelaskan tujuan pembelajaran.
c.
Guru
memberikan seluas-luasnya tanggungjawab kepada setiap peserta didik sesuai
tingkat kemampuannya.
d.
Guru akan
menghargai setiap inisiatif peserta didik atas ide-ide dalam koordinasi
kelompok.
e.
Guru
memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada peserta didik untuk menyampaikan
pendapat dalam ruanglingkup tujuan pembelajaran.
f.
Guru mampu
mengontrol setiap peserta didik dalam kelompok maupun sebagai individu.
g.
Guru mampu
membangkitkan jiwa kritis kepada peserta didik.[12]
Peserta didik memiliki perbedaan baik secara
vertikal atau kuantitatif maupun secara kualitatif. Perbedaan tersebut
berimplikasi kepada organisasi pelajaran. Perbedaan secara vertikal ialah
individu dapat dibedakan secara sifat fisik dan mentalnya. Sifat fisik meliputi
tinggi, berat, kuat dan lain sebagainya. Sedangkan secara mental meliputi tingkat
intelegensi individu.[13]
Perbedaan
secara vertikal ini berimplikasi pada organisasi pembelajaran, sehingga sebelum
guru mengorganisir peserta didik di dalam kelas maka perbedaan individu perlu
dipertimbangkan sehingga tidak terjadi kesalahan serta kekeliruan. Peserta
didik dapat dikelompokkan menurut fisiknya karena jika didalam suatu kelompok
ada peserta didik yang paling kecil secara fisik maka akan hal itu akan
memberikan dampak negatif bagi kelompok tersebut.
Perbedaan
kedua yang perlu dipertimbangkan dalam mengorganisasi proses pembelajaran
adalah perbedaan tingkat intelegensi. Karena jika suatu kelompok terdapat
peserta didik yang tingkat intelegensinya tidak sama maka akan berdampak kepada
peserta didik lainnya yang memiliki tingkat intelegensi tinggi. Sehingga
keharmonisan dan kerjasama di dalam kelompok dapat terganggu.[14]
Berdasarkan
perbedaan-perbedaan tersebut, guru diharuskan untuk membentuk serta
mengorganisir kelompok peserta didik sesuai dengan beberapa aspek yaitu:
a.
Group by
ability (kelompok berdasarkan intelegensi), kelompok ini menunjukkan bahwa
peserta didik memiliki tingkat intelegensi yang sama dan ditempatkan pada
posisi yang sama pula. Oleh karena itu, peserta didik dapat mencapai prestasi
yang maksimal jika mereka selalu mendapatkan tantangan serta dikelompokkan
dengan mereka yang memiliki tingkat kecerdasan yang sama;
b.
Group by
interest (kelompok berdasarkan minat), kelompok ini cenderung kepada proses
seleksi diri. Ada kelompok yang berminat untuk mengadakan penelitian
transportasi di dalam suatu negara atau sumber daya alamnya dan lain
sebagainya;
c.
Group by
achievement rate (kelompok berdasarkan tingkat prestasi), jika guru dihadapkan
pada organisasi kelompok, maka guru harus mempertimbangkan serta menganalisis
bakat serta minat setiap peserta didik. Dan kemungkinan setelah kelompok dibuat
akan terdapat kesamaan pada peserta didik. Oleh karena itu, guru perlu membuat
kelompok yang lain berdasarkan prestasi yang dicapai peserta didik.[15]
2.
Independent
Learning
Vernon S.
Gerlanch atau Donald P. Ely di dalam bukunya Teaching and Media a systematic
approach mengatakan:[16]“Independent study is a vital of the learning
process when the student pursues specific goals in a variety of locations element
on a self directed basis. (studi independen
adalah elemen penting dari proses belajar ketika siswa mengejar tujuan spesifik
di berbagai lokasi secara mandiri).
Pembelajaran
individu memusatkan pada upaya membantu individu untuk mengembangkan suatu
hubungan yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai
pribadi yang cakap. Sehingga, memperkaya hubungan antar pribadi dan lebih cakap
dalam pemrosesan informasi secara efektif.[17]
Di dalam
pembelajaran individu, penekanan terletak pada murid-murid yang menyelesaikan
pekerjannya secara mandiri dan menguji dirinya sendiri. Murid akan
menyelesaikan tugasnya dengan dipantau oleh guru, dan didorong untuk memberikan
jawaban yang mereka anggap paling baik dan bukan jawaban yang dianggap “benar”
atau “salah”. Jadi, peran murid adalah menyelesaikan tugas itu dengan
sebaik-baiknya, sedangkan peran guru adalah menentukan pekerjaan untuk murid
dan memastikan bahwa murid membuat kemajuan kearah penyelesaiannya.[18]
3.
Learning in
Groups (belajar secara kelompok)
a.
Small Group
Vernon S.
Gerlanch atau Donald P. Ely di dalam bukunya Teaching and Media a systematic
approach mengatakan:[19]
In small group, issues are discussed to
determine areas of agreement or disagreement. Groups examine terms, consepts,
and problems to gain a depth of understanding and to clarify points of
uncertainty. One of the fringe benefits of the group situation is the
improvement of interpersonal relationships.
Dalam kelompok kecil membahas tentang penentuan hal kesepakatan atau ketidaksepakatan. Dalam
kelompok ini juga akan memeriksa istilah, konsep, dan suatu masalah untuk
mendapatkan kedalaman pemahaman dan mengklarifikasi poin ketidakpastian. Salah
satu manfaat dalam situasi kelompok kecil adalah peningkatan hubungan interpersonal.
Small groups may be well suited to process
objectives such as those related to leadership, participation in a group, and
social awareness.[20]
Kelompok-kelompok kecil cocok untuk tujuan
proses seperti yang terkait dengan kepemimpinan, partisipasi dalam kelompok,
dan kesadaran sosial.
The small
group permits active students to be involved in learning. they feel free to
raise question that they probably would
not not pursue in large group. in the small group they learn to listen and to
respect the opinions of other members of the group.[21]
Didalam
kelompok kecil membuat siswa untuk lebih terlibat aktif dalam belajar. mereka merasa bebas untuk mengajukan pertanyaan, yang mana, mereka tidak bisa mengajukan
pertanyaan dengan maksimal ketika dikelompok besar. Dalam kelompok kecil mereka belajar untuk mendengarkan dan menghormati pendapat anggota lain dari kelompok.
b.
Large Group
Vernon S.
Gerlanch atau Donald P. Ely di dalam bukunya Teaching and Media a systematic
approach mengatakan:
Large group instruction involves a number of
activities for which small or medium size grouping. Since the method of large
group instruction is largely an expository one, the number of students in the
group does not have to be limited for any reasons other than the capacity of
the room, its acoustical properties, or the students ability to see
chalkboards, charts, or any other items which might be used by the teacher.[22]
Kelompok besar melibatkan sejumlah kegiatan yang kecil atau pengelompokan
ukuran sedang. Karena sebagian besar metode pengajaran kelompok besar adalah
ekspositori, jumlah siswa dalam kelompok tidak harus dibatasi dengan alasan
apapun selain kapasitas ruangan, sifat akustik[23],
atau kemampuan siswa untuk melihat papan tulis, bagan, atau item lainnya yang
dapat digunakan oleh guru.
4. Mengatur Ruang Dan Media Yang Digunakan Dalam
Pembelajaran Individu
a.
Set to Space (Mengatur
Ruang/Tempat Belajar)
Seperti hanya
yang dikatakan oleh Vernon S. Gerlanch atau Donald P. Ely di dalam bukunya Teaching
and Media a systematic approach bahwa yang termasuk media dalam
pembelajaran individu adalah: buku, instruksi
terprogram, kaset audio dan disk, slide filmstrips. Maka bisa
dikategorikan bahwa tempat pembelajaran individu antara lain:
1)
Di Kelas
2)
Di
Laboratorium
3)
Di Perpustakaan
b.
Set to Media (Mengatur
Media Belajar)
Vernon S.
Gerlanch atau Donald P. Ely di dalam bukunya Teaching and Media a systematic
approach mengatakan: There is a
wide variety of resources which students can use as individuals: books,
programmed instruction, audiotapes and disc, slides filmstrips.[24]
Ada berbagai macam media yang dapat
digunakan siswa sebagai individu: buku, instruksi terprogram, kaset audio dan
disk, slide filmstrips.
As a student endeavors to attain the
objectives in an independent study situation, a variety of methods and media
may be used. Reading, listening to record and tapes in a resource center, or
viewing slides or filmstrips independently all contribute to learning. The
learner may experiment in an independent laboratory carrel or investigate
mathematical problems using computer console.[25]
Sebagai upaya siswa untuk mencapai tujuan dalam situasi belajar mandiri,
berbagai metode dan media dapat digunakan. Membaca, mendengarkan rekaman dan
kaset di sebuah pusat sumber daya, atau melihat slide atau filmstrips mandiri
semua berkontribusi untuk belajar. Pelajar dapat melakukan percobaan dalam
ruang baca laboratorium independen atau menyelidiki masalah matematika
menggunakan konsol komputer.
Schramm,
membagi media menurut jumlah siswa (audiens) yang dilayaninya:[26]
1)
Individual
2)
Klasikal
(cukup kecil dan berpusat pada satu tempat)
3)
Masssal
(banyak yang tersebar di area yang luas).
Pembagaian
menurut Schramm tersebut tampak di dalam table berikut:
Tabel 1
Penggolongan
Media Menurut Ukuran Audiens
|
Media Untuk Individual
·
Media Cetak
·
Telepon
·
CAI (computer assisted
instruction)
|
Media Untuk Audiens Kecil
·
Film Suara
·
Film Bisu
·
Vidio Tape
·
Filstrip Suara
·
Slide
·
Radio
·
Audio Tape
·
Audio Disc
·
Foto
·
Poster
·
Papan Tulis
|
Media Untuk Audiens Besar
1)
Televisi
2)
Radio
|
5. Mengatur Ruang Dan Media Yang Digunakan Dalam Small
Group
a.
Space Setting
(Pengaturan Tempat)
1)
Di Kelas
2)
Di
Laboratorium
3)
Di
Perpustakaan
b.
Media Setting
(Pengaturan Media)
Menurut Schramm dalam buku Kiat
Membelajarkan Siswa karya Martinis Yamin menjelaskan sebagai berikut.[27]
Adapun
Media Untuk Audiens Kecil adalah:
1)
Film Suara
2)
Film Bisu
3)
Vidio Tape
4)
Filstrip Suara
5)
Slide
6)
Radio
7)
Audio Tape
8)
Audio Disc
9)
Foto
10)
Poster
11)
Papan Tulis
6. Mengatur Ruang Dan Media Yang Digunakan Dalam Large
Group
a.
Space Setting
(Pengaturan Tempat)
Melihat pada
jumlah audiens pada kelas besar sangat banyak sekali jumlahnya, dan seperti
yang dijelaskan oleh Vernon S. Gerlanch atau Donald P. Ely di dalam bukunya Teaching
and Media a systematic approach tidak ada batasan audiens kecuali kapasitas ruangan, sifat akustik[28],
atau kemampuan siswa untuk melihat papan tulis, bagan, atau item lainnya yang
dapat digunakan oleh guru. Jadi, pengaturan tempat dalam
pembelajaran kelompok kecil yaitu harus memenuhi kebutuhan banyaknya audiens
dengan luas ruangan yang memadai.
b.
Media Setting
(Pengaturan Media)
Menurut
Schramm dalam buku Kiat Membelajarkan Siswa karya Martinis Yamin
menjelaskan sebagai berikut.[29]
Adapun Media
Untuk Audiens Besar adalah:
1)
Televisi
2)
Radio
7.
Alokasi Waktu (Allocation
of Time)
Disamping
organisasi kelompok dan pembagian ruang, alokasi waktu merupakan salah satu
unsur yang harus ada dalam setting pengajaran, oleh karena itu alokasi waktu
harus diatur secara efisien sehingga ketuntasan materi yang disampaikan atau
dipelajari dapat tercapai dalam jumlah waktu yang telah ditentukan.
a.
Pengertian
Alokasi Waktu (Allocation of Time)
Alokasi waktu
adalah lamanya kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan didalam kelas atau
laboratorium yang dibatasi oleh kedalaman materi pembelajaran dan jenis
kegiatan.[30]
Sedangkan alokasi waktu menurut Marno adalah penentuan waktu yang diperlukan
untuk menguasai masing-masing kemampuan dasar.[31]
Dari sini
dapat dipahami bahwa alokasi waktu adalah penentuan total keseluruhan waktu
yang diperlukan untuk menyampaikan materi pokok atau melakukan kegiatan
pembelajaran di kelas sehingga setiap kompetensi yang harus dikuasai dapat
dicapai dalam waktu yang telah ditentukan.
b.
Penentuan
Alokasi Waktu
1)
Penjadwalan
Yang Fleksibel
Planning for
optimum use of time must be coordinated with the organization of groups and the
allocatin of space. One of the most promising innovations for organizing and
allocating time is found in the plans for flexible scheduling.[32]
Perencanaan
untuk penggunaan waktu yang optimal harus dikoordinasikan dengan organisasi
kelompok dan pembagian ruang. Salah satu inovasi yang paling menjanjikan untuk
mengatur dan mengalokasikan waktu ditemukan dalam rencana penjadwalan yang
fleksibel.
flexible scheduling of the time
available will probably help to make the use of that time more efficient.
Additional time could be gained by lengthening the school day, extending the
week by using evening and weekend times.[33]
penjadwalan yang fleksibel dari waktu yang
tersedia akan membantu untuk membuat penggunaan waktu yang lebih efisien. Waktu
tambahan dapat diperoleh dengan memperpanjang hari sekolah, memperluas minggu
dengan menggunakan waktu malam dan akhir pekan.
Hal ini dikarenakan peningkatan pengetahuan
yang harus dipelajari dalam jumlah waktu yang tetap telah menyebabkan pendidik
untuk menemukan waktu guna memasukkan pengetahuan baru ke dalam kurikulum, oleh
karena itu beberapa sekolah, dalam menanggapi tuntutan tersebut, telah
memperluas sumber daya perpustakaan dan jam pusat ke sore hari, malam hari, dan
hari sabtu.[34]
2)
Penjadwalan Yang
Sistematis
penjadwalan
(alokasi waktu) disini adalah perkiraan berapa lama siswa mempelajari materi
yang telah ditentukan, bukan lamanya siswa mengerjakan tugas dilapangan atau
dalam kehidupan sehari-hari. Alokasi waktu perlu diperhatikan pada tahap
pengembangan silabus dan perencanaan pembelajaran. Hal ini untuk memperkirakan
jumlah jam tatap muka yang diperlukan.[35]
Dalam menentukan alokasi waktu untuk setiap kompetensi dasar perlu mempertimbangkan
kompleksitas, frekuensi penggunaan banyaknya indikator dan materi pokok, serta
kemampuan dan kebutuhan siswa.[36]
Beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan dalam menentukan alokasi waktu adalah tingkat
kesukaran materi, luas, ruang lingkup atau cakupan materi, frekuensi penggunaan
materi baik untuk belajar maupun dilapangan, serta tingkat pentingnya materi
yang dipelajari. Semakin sukar dalam mempelajari atau mengerjakan pekerjaan
yang berhubungan dengan materi, semakin banyak yang digunakan dan semakin
penting maka perlu diberi alokasi waktu yang lebih banyak. Materi yang tidak
memerlukan kegiatan praktik di laboratorium membutuhkan waktu yang lebih pendek
jika dibandingkan materi yang perlu didukung pengalaman praktik di
laboratorium.[37]
Secara umum
pembagian alokasi waktu pembelajaran pada setiap kegiatan belajar mengajar baik
dalam bentuk organisasi kelompok maupun belajar secara mandiri disesuaikan
dengan alokasi waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya yaitu 35 menit untuk
jenjang sekolah dasar, 40 menit untuk jenjang sekolah menengah pertama dan 45
menit untuk jenjang sekolah menengah atas. Hanya saja yang membedakan disini
adalah pendistribusian waktu kedalam setiap kegiatan pembelajaran.
Pada
prinsipnya proses belajar mengajar dikelompokkan kedalam tiga kegiatan besar,
yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan awal
diisi dengan mengmukakan hal-hal yang menarik minat siswa untuk belajar,
membahas ulang pengetahuan prasyarat, atau menyampaikan informasi awal dan
penjelasan tugas secara klasikal. Pengetahuan prasyarat yang dibahas hendaknya
betul-betul yang dekat dengan konsep baru yang akan dipelajari, tidak terlalu
jauh sehingga waktu yang digunakan menjadi singkat. Penyampaian informasi awal
dan tugas hendaknya jelas, jika perlu secara perlahan. Informasi dan tugas yang
tidak jelas hanya akan membuat guru sibuk menjelaskan ulang informasi atau
tugas tersebut ke setiap (kelompok) siswa, sementara siswa sudah mulai bekerja.
Akibatnya, siswa kurang memerhatikan penjelasan ulang.
Kegiatan inti disediakan
untuk siswa mengalami kegiatan seperti melakukan percobaan, bermain peran,
kegiatan pemecahan masalah, atau simulasi, yang sebaiknya dilakukan secara
berpasangan atau kelompok. Apabila kegiatan inti dilakukan oleh siswa secara
perorangan maka harus diikuti dengan kegiatan yang melibatkan lebih dari satu
orang, misalnya saling menjelaskan proses dan hasil belajarnya kepada temannya.
Hal ini dimaksudkan agar tercipta interaksi diantara mereka sehingga hasil
belajar mereka menjadi mantap.
Kegiatan
penutup biasanya diisi dengan rangkuman hasil belajar
secara klasikal. Alokasi waktu untuk kegiatan awal dan penutup masing-masing
sebaiknya tidak lebih dari 10-15 menit sehingga sisanya untuk kegiatan inti.
Oleh karena itu pada
rata-rata 10 menit pertama kita cenderung dapat mengingat informasi yang diterima.
Demikian juga informasi yang diterima pada rata-rata 10 menit terakhir dari
suatu episode belajar. Sedangkan informasi diantara itu cenderung terlupakan.
Oleh karena itu, pada menit ditengah siswa harus melakukan kegiatan langsung.[38]
kegiatan langsung disini dapat berupa praktikum, diskusi kelompok, pengamatan,
ataupun pembelajaran secara mandiri, dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Robbert Bush dan Dwight Ellen, bahwa dalam menentukan alokasi
waktu yang menjadi salah satu perhatiannya adalah bagaimana mengorganisasikan
materi pelajaran kedalam kelompok-kelompok belajar seperti, kelompok besar
(small group), laboratorium (laboratory), dan kelompok
besar (large group).[39]
C.
PENUTUP
Peran media
dalam setting pembelajaran memang sangat
diperlukan hal ini dikarenakan media mempunyai sumbangan yang cukup besar
ketika difungsikan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Selain media terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya adalah pengorganisasian, alokasi tempat dan waktu.
Pengorganisasian ini dibentuk dalam rangka
mengembangkan kemampuan individual dan sosial, pengaturan siswa dalam belajar
hendaknya berganti-ganti antara belajar secara perorangan, berpasangan, dan
berkelompok. Pengaturan ini tentu disesuaikan dengan karakteristik bahan ajar yang akan dipelajari atau bia juga
disesuaikan dengan setiap kemampuan atau minat peserta didik. Sehingga siswa
yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak bisa memberikan informasi kepada
teman-temannya dan siswa yang belum fahan terhadap suatu materi yang dipelajari
bisa bertanya kepada siswa yang sudah faham atau yang memiliki pengetahuan yang
lebih. Hal ini untuk menanamkan kesan bahwa belajar bisa dari siapa saja, tidak
harus selalu dari guru yang akibatnya selalu tergantung pada guru.
Alokasi tempat (ruang belajar) dan Media pembelajaran ini ditentukan untuk mendukung jalannya proses pembelajaran, karena tempat
atau ruang belajar dan media mempunyai pengaruh yang cukup dominan dalam proses
pembelajaran. Disamping itu tempat belajar atau bisa kita sebut dengan
lingkungan belajar tidak hanya berperan sebagai sumber belajar, akan tetapi
penggunaan tempat belajar (ruang belajar) sebagai sumber belajar akan membuat
peserta didik merasa senang dalam belajar ketika didukung dengan berbagai media
yang sesuai dengan tema yang sedang dipelajari. Berbagai contoh media yang
mendukung proses belajar mengajar diantaranya adalah video, film, radio, LCD
projector, papan tulis dan sebagainya.
Alokasi waktu ditentukan untuk
mengetahui jumlah keseluruhan waktu yang diperlukan untuk
menyampaikan materi pokok atau melakukan kegiatan pembelajaran di kelas
sehingga setiap kompetensi yang harus dikuasai dapat dicapai dalam waktu yang
telah ditentukan.
DAFTAR RUJUKAN
A Purtanto,
Pius, Abarry, M Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Burhanuddin, 1994.
Analisis Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara
Gerlach, Vemon S. dan Donald P. Ely, Teaching
and Media: a Systematic Approach, second edition, (New Jersey: Prentice
Hall, tt)
Joko Susilo, Muhammad. 2007. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan Dan Kesiapan Sekolah
Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Marno. tt. Cara
Pengembangan Silabus Dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Dalam Modul
Desain Pembelajaran PAI
Muijs, Daniel
dan Reynolds, David. 2008. Effective Teaching Teori dan Aplikasi. Yogjakarta:
Pustaka Pelajar
Mursell, J.
dan S. Nasution, 2002. Mengajar dengan Sukses: Successful Teaching, Jakarta:
Bumi Aksar
Muslich, Mansur. 2007. KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman Dan Pengembangan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Purwanto, M. Ngalim. 2006. Administrasi Supervisi
Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. XVI
Sagala,
Syaiful. 2010. Supervisi Pembelajaran Dalam Profesi Pendidikan. Bandung:
ALFABETA
Sutisna, Oteng.
1987. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, Bandung:
Angkasa, Cet. X
Yamin, Martinis. 2007. Kiat
Membelajarkan Siswa. Jakarta: Pusat Grafika
[1] M. Ngalim
Purwanto, Administrasi Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet. XVI, 2006), 160
[2] Burhanuddin, Analisis
Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
1994), 192
[3] Oteng Sutisna,
Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung:
Angkasa, Cet. X, 1987), 175-176
[6] Vemon S.
Gerlach dan Donald P. Ely, Teaching and Media: a Systematic Approach, second
edition, (New Jersey: Prentice Hall, tt), 205
[10] J. Mursell dan
S. Nasution, Mengajar dengan Sukses: Successful Teaching, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2002), 8
[17] Syaiful Sagala. Supervisi
Pembelajaran Dalam Profesi Pendidikan. (Bandung: ALFABETA. 2010) Hlm. 78
[18] Daniel Muijs dan David Reynolds. Effective
Teaching Teori dan Aplikasi. (Yogjakarta: Pustaka Pelajar. 2008) Hlm. 174
[20] Gerlach dan Ely, Teaching and
Media…,225
[23] Sifat ilmu gelombang suara atu
bunyi (cabang ilmu alam)Pius A Purtanto, M Dahlan Abarry. Kamus Ilmiah
Populer. (Surabaya: Arkola. 2001), 25
[28] Sifat ilmu gelombang suara atu
bunyi (cabang ilmu alam)Pius A Purtanto, M Dahlan Abarry. Kamus Ilmiah
Populer. (Surabaya: Arkola. 2001), 25
[30] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan Dan Kesiapan Sekolah
Menyongsongnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 142
[31] Marno, Cara Pengembangan
Silabus Dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Dalam Modul Desain Pembelajaran PAI), hlm.
10
[36] Marno, Cara Pengembangan
Silabus ...,10
[38] Mansur Muslich, KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman Dan Pengembangan (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2007), hlm. 60-61
[39] Gerlach dan Ely, Teaching and
Media…,233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar