A.
PENDAHULUAN
Jika ditelaah secara sosiologis dengan lebih
mendalam, tampak ada hubungan antara latar belakang lahirnya trend dan
pola hidup sufistik dengan perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat. Sebagai
contoh adalah munculnya gerakan kehidupan zuhud dan ‘uzlah
yang dipelopori oleh Hasan al-Bashri (110 H.) dan Ibrahim Ibn Adham
(159 H). Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup hedonistik
(berfoya-foya) yang dipraktekkan oleh para pejabat Bani Umayyah.[1]
Demikian juga berkembangnya tasawuf filosofis yang dipelopori oleh Abu
Mansur Al-Hallaj (309 H). dan Ibn Arabi (637 H), tampaknya tidak bisa terlepas
dari adanya pengaruh gejala global masyarakat Islam, yang cenderung tersilaukan
oleh berkembangnya pola hidup rasional. Hal ini merupakan pengaruh
berkembangnya filsafat dan kejayaan para filosof peripatetik, seperti;
al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain.[2]
Demikian juga halnya, munculnya gerakan
tasawuf sunni yang dipelopori oleh al-Qusyairi, al-Ghazali dan lain-lain, juga
tidak terlepas dari dinamika masyarakat Islam pada saat itu. Mereka banyak
mengikuti pola kehidupan sufistik yang menjauhi syari’at, dan tenggelam dalam
keasikan filsafatnya. Sehingga sebagai antitesanya, munculah gerakan kembali ke
syari’at dalam ajaran tasawuf, yang dikenal dengan istilah tasawuf sunni.[3]
Adapun tarekat, sebagai gerakan kesufian
populer (massal), sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, tampaknya juga tidak
begitu saja muncul. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan
sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis,
maupun politis pada waktu itu.[4]
oleh karena itu tulisan ini akan mendeskripsikan “tarekat sebagai institusi
persaudaraan kaum sufi”.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Tarekat
Tarekat
secara etimologi berasal dari bahasa Arab “tharikah” jamaknya “taraiq”
secara etimologis berarti (1) jalan, cara (al-kaifiyah), (2) metode,
sistem (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab),
(4) keadaan (al-halal), (5) pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah
aththawillah), (6) tiang tempat berteduh, tongkat payung (amud
al-mizallah), (7) yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif al-qaum)
dan (8) goresan/garis pada sesuatu (al-khathth fi asy-syay).[5]
Secara
terminologi tarekat adalah jalan
yang mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian
berkembang menjadi organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas[6]
atau institusi yang menaungi paham
tasawwuf.[7]
Sementara itu
Harun Nasution, menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata tariqah yaitu jalan
yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin
dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap
tarekat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir masing-masing.[8]
Menurut
Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus
yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui
tahapan-tahapan atau maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama
ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam
mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan.[9] Kedua,
tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) tumbuh sejalan dengan
semakin mantapnya berbagai teori dan amalan-amalan sufistik. Hal ini ditandai
dengan terjadinya perubahan hubungan Syeikh dan murid sejak abad ke 10 dengan
adanya hubungan yang lebih formal melalui lembaga khanaqah, thariqah,
tha’ifah sebagai pusat kegiatannya. Selanjutnya lahir pula konsep ijazah[10]
istilah ini muncul setelah ajaran tasawuf ‘amali. Klimaksnya adalah
terbentuknya ordo sufi atau tarekat. Dalam tarekat dikenal adanya mursyid
(pembimbing) sebagai guru dan salik (penempuh) atau murid (orang yang
berkehendak menuju Allah) sebagai peserta didiknya. Salik atau murid tidak
boleh mengamalkan atau mentransformasikan suatu ilmu tanpa ada petunjuk dan
bimbingan seorang mursyid. Baru setelah diarasa cukup menempuh ilmu, Salik atau
murid diperbolehkan atau diberi ijazah untuk mengamalkan sendiri atau
ditransformasikan pada orang lain sekaligus sebagai indikator kelayakan dan
kemampuan (fit and proper) ilmu yang diberikan.[11]
Bahkan pada
masa-masa berikutnya, seorang murid tidaklah sekedar pengikut Syaikh akan
tetapi mereka juga harus menerima bai’ah (sumpah setia) kepada sang Syeikh
ataupun pendiri tarekat sesuai dengan garis lurus silsilah yang diterimanya
dari Syeikh, maka dengan begitu seorang murid memperoleh legitimasi dalam
pengetahuan tarekat dan jalinan silsilah persaudaraan, yang berarti sudah
berada dalam satu keluarga besar tarekat yang dimasukinya.[12]
Dari beberapa
penjelasan diatas dapat difahami bahwa tarekat merupakan implementasi dari
suatu ajaran tasawuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi
dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawuf secara bersama-sama
dimana seorang syekh yang menganut suatu
tarekat tertentu kemudian mengamalkannya bersama dengan murid-muridnya dalam
suatu lembaga yang benama khanaqah, thariqah, tha’ifah.
2.
Sejarah Muncul
Dan Berkembangnya Tarekat
Tarekat sebagai gerakan kesufian populer
sekaligus sebagai bentuk terakhir gerakan tasawuf, memiliki sejarah yang cukup
menarik untuk diketahui. Kemunculannya tampaknya lebih dari sebagai tuntutan
sejarah, dan latar belakang yang cukup beralasan, baik secara sosiologis,
maupun politis pada waktu itu. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan
lahirnya gerakan tarekat pada masa itu, yaitu faktor kultural dan politik.[13]
Dari segi politik, dunia Islam sedang
mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti: wilayah
Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa,
yang terkenal dengan Perang Salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H. /
1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.[14]
Di bagian timur, dunia Islam menghadapi
serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Ia melahap setiap wilayah yang
dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan
peradaban Islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena
selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir (Turki dan Dinasti
Buwaihi).[15]
Secara formal khalifah masih diakui, tetapi
secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan sultan-sultan.
Keadaan yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang
memporak porandakan pusat peradaban Umat Islam (1258 M.).[16]
Kerunyaman politik dan krisis
kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di wilayah
tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintegrasi sosial yang
sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara
golongan sunni dengan syi’ah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan
Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah
yang mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan
sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa di
mana-mana.[17]
Dalam
situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya
dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin
hubungan yang damai dengan sesama muslim.[18]
Masyarakat
Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan,
sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut
membidani lahirnya gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman
masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat
anak ayam kehilangan induk).
Dengan
dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi
sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang awam yang
memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan
berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan
tarekat.[19]
Tarekat
kemudian berkembang jadi persaudaraan kesufian yang berkembang luas. Secara
historis pertumbuhan tarekat sudah dimulai sejak abad ke-3 H dan ke-4 H (abad ke-9
dan 10 M), seperti al-Malamatiyah yang didirikan Ahmadun Al-Qashar, atau
Ta’rifiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami, atau pun al-Khazzajiyah
yang mengacu pada Abu Dzaid al-Khazzaz, tarekat-tarekat tersebut dan semacamnya
masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja. Perkembangan dan kemajuan
tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 H, dan yang pertama kali
mendirikan tarekat pada periode tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir al-Jailani
pada awal abad ke-6 H, kemudian menyusul tarekat-tarekat lainnya.[20]
Sejarah
perkembangan tarekat secara garis besar melalui tiga tahap diantaranya adalah
tahap Khanqah, tahap Ribath, dan tahap Zawiyah:[21]
a. Tahap khanaqah
Tahap khanaqah (pusat
pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama
dibawah peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi.
Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan
secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad X M. Gerakan ini mempunyai masa
keemasan tasawuf.
b. Tahap thariqah
Sekitar abad XIII M.
di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Pada masa
inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya
masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai
kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf telah mencapai kedekatan diri
kepada Tuhan, dan disini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.
c. Tahap tha’ifah
Terjadinya pada
sekitar abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan kepada
pengikut. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di
tempat lain. Pada tahap tha’ifah inilah tarekat mengandung arti lain,
yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu. Terdapatlah
tarekat-tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat
Syadziliyah dan lain-lain.
4. Kriteria Murid
Untuk Menjalankan Tarekat
Guru
dalam tarekat yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syekh,
dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun pengikutnya disebut murid. Selain itu
tiap tarekat juga memiliki ajaran dan juga amalan wirid tertentu, simbol-simbol
kelembagaanya, tata tertibnya dan upacara-upacara lainnya yang membedakan
antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya. Menurut ketentuan tarekat
pada umumnya bahwa seorang syekh sangat menentukan terhadap muridnya,
keberadaan murid di hadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya
apa-apa. Dan karena ini tarekat merupakan jalan yang harus dilalui untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang menjalankan syariat dan si murid
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Mempelajari ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan syariat agama.
b.
Mengamati dan berusaha semaksimal
mungkin untuk mengikuti jejak guru, dan melaksanakan perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya.
c.
Tidak mencari-cari keringanan dalam
beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
d.
Berbuat dan mengisi waktu
seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna memantapkan dan
kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
e.
Memegang hawa nafsu agar terhindar
dari kesalahan yang dapat menodai amal.[22]
5. Tata
Cara Pelaksanaan Tarekat (Ritual)
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain :
a.
Dengan Zikir, yaitu ingat yang
terus menerus kepada Allah dalam hati dan menyebutkan namanya dengan lisan,
zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar
tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
b.
Ratib, yaitu mengucapkan lafadz
La Illaha Illallah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c.
Bernafas, yaitu mengatur cara
bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu. Selain itu Mustafa Zahri
mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tarekat sebagaimana disebutkan diatas,
perlu mengadakan latihan batin, riadhoh dan mujahadah (perjuangan kerohanian).
Perjuangan seperti itu dinamakan pula suluk dan yang mengerjakannya di sebut
salik.[23]
3. Aliran-aliran
Tarekat Yang Berkembang di Indonesia
Setidaknya
ada ratusan tarekat yang telah berkembang di Dunia. Tentu untuk menjelaskan
kesemua tarekat tersebut tidak cukup memuat di lembaran makalah yang hanya
beberapa lembar ini. Untuk itu penulis hanya mengangkat beberapa tarekat saja
yang paling tidak bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada kita tentang
Tarekat tersebut termasuk ajaran-ajarannya, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah
adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh ‘Abd
al-Qadir Jilani lahir di desa Naif kota Gilan tahun 470/1077, yaitu wilayah
yang terletak 150 km timur laut Baghdad, Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani meninggal
di Baghdad pada tahun 561/1166. Tarekat ini menempati posisi yang sangat
penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor
lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang
tarekat di dunia lslam.[24]
Syekh
‘Abd al-Qadir Jilani adalah seorang sufi yang pertama kali mendirikan gerakan
spiritualitas yang bersifat masif dan terorganisir dengan baik. Sebelum Syekh
‘Abd al-Qadir Jilani, spiritualitas Islam bersifat individual dan belum
terstruktur. Disamping itu, beberapa pendiri tarekat seperti Khwajah Mu’in al-Din
al-Khisti dan Syeikh Najib al-Din ‘Abd al-Qathir Suhrawardi terpengaruh oleh
ajaran-ajarannya dan ungkapan para sahabatnya.[25]
Tarekat
Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa
bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah
Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.[26]
1) Ajaran
Ajaran
Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu
dunia. Karena itu, beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian
diri yang tinggi adapun beberapa ajaran tersebut adalah
a) Taubat
Taubat
adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari
hati dan kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir
Jilani taubat itu ada dua macam, pertama taubat yang berkaitan dengan
hak sesama manusia, taubat ini tidak terrealisasi kecuali dengan menghindari
kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada
pemiliknya. kedua taubat yang berkaitan dengan hak Allah, taubat ini
dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam
hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi dimasa mendatang.[27]
b) Zuhud
Ibn
Qadamah al-Maqdisi mendefinisikan zuhud sebagai gambaran tentang menghindari
dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau
dengan istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehinaannya bila
dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani,
zuhud ada dua yaitu, zuhud hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan
mutazahid shuwari atau zuhud lahir (mengeluarkan duia dari hadapannya).
Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rezeki yang
diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk
ketaatan kepada Allah.[28]
c) Tawakal
Tawakal
artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari
gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir.[29]
Syaikh
‘Abd al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda
Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka
Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya. Begitu juga sebaliknya, bila
dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan
dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia,
maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi, “Apabila
inngatan manusia telah condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada
akhiratakan berkurang.[30]
Disinilah
letak perbandingan antara manusia yang mengejar dunia, sehingga semua hati dan
perasaannya ditumpuhkan kepada dunia yang di kejarnya. Berusahalah dia siang
dan malam kerena dunia, padahal urusan keduniaan itu ada akhirnya. Semakin
banyak yang diraihnya, semakin serakah ia untuk terus berusaha
mendapatkannya. Sebaliknya, bila ingatan manusia condong kepada akhirat maka
ingatannya terhadap dunia akan berkurang. Oleh kerena itu, pilihlah akhirat
daripada dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu.[31]
d) Syukur
Syukur
adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan,
tangan, maupun hati. Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga
macam, pertama syukur dengan lisan yaitu dengan mengakui adanya nikmat
dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan
dengan segala kerendahan hati dan ketundukan. Kedua syukur dengan badan
dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta
melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Dalam hal ini si penerima nikmat
selalu berusaha menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga
syukur dengan hati, yaitu beri’tikaf atau berdiam diri di atas tikar Allah
dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima
nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah
SWT.[32]
e) Sabar
Sabar
adalah tidak mengeluh karena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali
mengeluh kepada Allah. Menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani sabar ada tiga macam
yaitu, pertama bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya dan
mejauhi larangannya, kedua bersabar bersama Allah, yaitu bersabar
terhadap ketetapan Allah dan perbuatannya terhadapmu dari berbagai macam
kesulitan dan musibah, ketiga bersabar atas Allah yaitu, bersabar
terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang
dijanjikan Allah di akhirat.[33]
f) Ridha
Ridha
adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir)[34] Tidak
diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakan jiwa manusia dan
memasukan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya; kerena seorang hamba
yang ridha dan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya, dia tahu bahwa yang
dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam keadaan. Keridhaan
ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa tenang, hilang
rasa gundah, dan kegalauan.[35]
g) Jujur
Secara
bahasa jujur adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam
istilah sufi dan menurut Syekh ‘Abd al-Qadir Jilani, jujur adalah mengatakan
yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak
menguntungkan.[36]
Syaikh
‘Abd al-Qadir Jilani membedakan antara al-shadaq (orang
jujur) dengan al-shiddiq (orang yang sangat jujur). Al-hadiq
adalah isim lazim dari kata al-shidq, sedangkan
al-shiddiq adalah untuk menunjukan kejujuran yang sangat tinggi,
sehingga kejujuran merupakan jalan kehidupan baginya. Sikap jujur ini sangat
diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena
seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan
bersih.[37]
b. Tarekat Syadziliyah
Tarekat
syadziliyah tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Ali bin
Abdullah bin ‘Abd. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya
yaitu Syaziliyah yang mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan tarekat
yang lain.[38]
Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, diutara Maroko pada tahun
573 H.[39]
Tarekat
ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur Tengah, Sri Lanka
dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara juga di
Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur[40]
1) Ajaran
Antara
ajaran Syadziliyah dan Qadariyah memiliki beberapa persamaan tetapi juga
memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Apabila Qadariyah lebih menekankan pada riyadhah al-abadan
(latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqaah,
misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain), maka syadziliyah lebih menekankan
pada riyadhoh al-qulub tanpa menekankan adanya musyaqaah al-abadan,
misalnya menekankan senang, rela, selalu bersyukur atas nikmat Allah.[41]
Adapun ajaran tarekat Syadziliyah adalah sebagai berikut:
(a) Tidak
menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia
mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang
layak dalam kehidupan yang sederhana
karena meninggalkan dunia yang berlebih-lebihan akan menghilangkan rasa
syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfataatkan dunia akan membawa kepada
kedzaliman. Artinya manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan
sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
(b) Menjalankan syari’at Islam sesuai dengan
al-Qur’an dan hadits.
(c) Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia
karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah.
(d)
Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya
raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Artinya
seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan namun jangan sampai menjadi
hamba dunia (melalaikan-Nya).
(e) Berusaha merespon apa yang sedang mengancam
kehidupan ummat, artinya seorang salik berusaha menjembatani antara
kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan
urusan duniawi.
(f) Berakhlak sesuai dengan akhlak Allah SWT dan
senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta
berupaya untuk selalu bersama dengan-Nya secara sungguh-sungguh.[42]
c. Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri
tarekat ini adalah Muhammad bin Muhammad Bah al-Din al-Uwaisi al-Bukhari
Naqsyabandi. Lahir di Qashrul Arifah.[43] Ia
mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai pemimpin
spiritual. Ia belajar Ilmu Tarekat pada Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Dari
sinilah ia pertama belajar tarekat. Pada dasarnya tarekat ini bersumber dari
Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdani, seorang sufi yang hidup sezaman dengan Abdul Qadir
Jailani.[44]
Pusat perkembangan Tarekat Tarekat Naqsyabandiyah adalah di Asia Tengah, ke
Turki, India, Mekkah termasuk ke Indonesia, melalui Jemaah Haji yang pulang ke
Indonesia. Dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain : Gerakan Pembaharuan dan politik. Penaklukan
Makkah oleh Abd al-Aziz bin Saud berakibat besar terhambatnya perkembangan
tarekat Naqsabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintah
oleh kaum Wahaby yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu
tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat ini di Makkah bagi Jamaah
haji khususnya dari Indonesia yang setiap dari generasi banyak dari mereka
masuk tarekat.[45]
1) Ajaran
Diantara
beberapa ajaran tarekat naqsyabandiyah adalah sebagai berikut:[46]
(a) Husyr Dar Dam (sadar ketika bernafas),
suatu latihan konsentrasi dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan
dan kealpaan ketika keluar masuk nafas supaya hati selalu merasakan kehadiran
Allah, kaena hal ini akan memberikan kekuatan spiritual dan membawa seseorang
lebih dekat dengan Allah.
(b) Nazhar Bar Qadam (menjaga
langkah), seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila
berjalan harus menundukkan kepala, melihat kearah kaki. Dan bila duduk, tidak
memandang kanan kiri hal ini dilakukan agar tujuan-tujuan rohaninya tidak
dikacaukan oleh segala hal yang berada disekelilingnya.
(c) Safar Dar Wathan (melakukan
perjalanan ditanah kelahirannya), maknanya adalah melakukan perjalanan batin
dengan meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju
kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.
(d)Khalwat Dar Anjuman (sepi
ditengah keramaian), dalam hal ini ada dua cara yang bisa dilakukan yaitu. Pertama
dengan khalwat lahir (mengasingkan diri kesebuah tempat tersisih dari
masyarakat ramai). Kedua khalwat batin (mata hati menyaksikan rahasia
kebesaran Allah dalam pergauln sesama makhluk).
(e) Yad Krad (ingat atau menyebut), berdzikir terus menerus
mengingat Allah, baik dzikir ism al-dzat (menyebut Allah), maupun dzikir
nafi itsbat (menyebut La Illaha Illa Allah).
(f) Baz Gaht (kembali/memperbaharui), hal ini dilakukan
untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang.
(g) Nigah Dasyt (waspada), ialah setiap
murid harus menjaga hati, pikiran dan perasaan dari sesuatu walau sekejap
ketika melakukan dzikir tauhid, hal ini dilakukan untuk memelihara pikiran dan
perilaku agar sesuai dengan makna kalimah yang diucapkan (kalimat dzikir).
(h) Wukuf Zamani (memeriksa penggunaan
waktu), yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan
dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali.
(i) Wukuf Adadi (memeriksa hitungan dzikir), yakni dengan
penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi
itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali.
(j) Wuquf Qalbi (menjaga hati tetap terkontrol), kehadiran
hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara
sempurna sejalan dengan dzikir dan maknanya.
d.
Tarekat Khalwatiyah.
Nama tersebut diambil dari
nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar yaitu Muhammad Yusuf bin Abdullah
Abu Mahasin al-Taj al-Khalwaty al-Makassary.[47] Sekarang
terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama kita. Keduanya
dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.[48]
Tarekat Khalwatiyah ini hanya menyebar dikalangan orang Makassar dan sedikit
orang Bugis. Para khalifah yang diangkat terdiri dari orang Makassar sehingga
secara etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku tersebut.[49]
Beliau yang pertama kali menyebarkan tarekat ini ke Indonesia. Guru beliau Syaikh
Abu al- Baraqah Ayyub al-Kahlwati al-Quraisy.[50]
bergelar ” Taj al- Khalwaty” sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj
al-Khalwaty. Al-Makassary di baiat menjadi penganut Tarekat Khalwatiyah di
Damaskus ada indikasi bahwa tarekat yang dijarkan merupakan penggabungan
dari beberapa tarekat yang pernah ia pelajari, walaupun Tarekat Khalwatiyah
tetap yang paling dominan.[51]
1) Ajaran
Adapun
dasar ajaran Tarekat khalwatiyah adalah :
(a) Yaqza maksudnya kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang
hina di hadapan Allah SWT. Yang maha Agung.
(b) Taubah Mohon ampun atas segala dosa.
(c) Muhasabah, menghitung-hitung atau introspeksi diri.
(d) Inabah, berhasrat kembali kepada Allah.
(e) Tafakkur Merenung tentang kebesaran Allah.
(f) I’tisam selalu bertindak sebagai Khalifah Allah di bumi.
(g) Firar, Lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak
berguna.
(h) Riyadah, melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya.
(i) Tasyakur, selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan
memujinya.
(j) Sima’ mengkonsentrasikan seluruh anggota tubuh dan mengikuti
perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[52]
e. Tarekat Syattariyah.
Tarekat Syaikh Abd Allah
al-Syathary. Jika ditelusuri lebih awal lagi tarekat ini sesunggguhnya memiliki
akar keterkaitan dengan tradisi Transoxiana, karena silsilahnya terhubungkan
kepada Abu Yazid al-Isyqi, yang terhubungkan lagi kepada Abu yazid al- Bustami
dan Imam Ja’far Shadiq. Tidak mengherankan kemudian jika tarekat ini dikenal
dengan nama Tarekat Isyqiyyah di Iran, atau Tarekat Bistamiyah di Turki Utsmani.
Sekitar abad ke lima cukup popular di Wilayah Asia Tengah,[53] Tarekat
Syattariyah menonjolkan aspek dzikir dalam ajarannya. Para pengikut tarekat ini
mencapai tujuan-tujuan mistik melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk
menjalaninya seseorang terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat
akhyar (orang yang terpilih) dan Abrar (orang yang terbaik). Ada sepuluh ajaran
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat Syattariyah ini, Sebagaimana
yang di kutip dalam Ensiklopedi Islam[54]
yaitu : Tobat, Zuhud, Tawakkal, Qanaah, Uzlah, Muraqabah, Sabar, Ridha, Dzikir
dan Musyaahadah (menyaksikan Keindahan, kebesaran dan kemuliaan Allah SWT.
f. Tarekat Sammaniyah.
Didirikan oleh Muhammad bin
Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman, lahir di Madinah dari keluarga
Quraisy. Di kalangan muridnya ia lebih di kenal dengan nama al-Sammany atau
Muhammad Samman. Beliau banyak menghabiskan hidupnya di Madinah dan tinggal di
rumah bersejarah milik Abu Bakar As-siddiq.[55]
Guru–guru beliau adalah Muhammad Hayyat seorang muhaddits di Haramain sebagai
penganut tarekat Naqsyabandiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang penentang
bid’ah dan praktik-praktik syirik serta pendiri Wahabiyah.[56],
Muhammad Sulaiman Al-Qurdi, Abu Thahir Al-Qur ani, Abdul Allah Al-Basri, dan
Mustafa bin Kamal Al-Din Al-Bakri. Mustafa bin kamal Al-Din al-Bakri (Mustafa
Al-Bakri) adalah guru bidang tasawuf dan tauhid dan merupakan Syaikh Tarekat
Khalwatiyah yang menetap di Madinah.[57]
Samman membuka cabang tarekat Al-Muhammadiyah.[58]
Samman belajar tarekat
Khalwatiyah, Naqshabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah. Dengan masuk menjadi murid
tarekat Qadiriyah ia dikenal dengan nama Muhammad Bin Abdul Karim Al-Qadiri
Al-Samman dalam perjalanan belajarnya itu ternyata tarekat Naqsabandiyah juga
banyak mempengaruhinya, sementara itu tarekat Syadziliyah juga dipelajari oleh
Samman sebagai Tarekat yang mewakili tradisi tasawuf Maghribi.[59] Dari
beberapa ajaran tarekat yang dipelajarinya, Samman akhirnya meracik tarekat
tersebut, termasuk memadukan tekhnik-tekhnik zikir, bacaan bacaan, dan ajaran
mistis lainnya, sehingga menjadi satu nama tarekat yaitu tarekat Sammaniyah.[60]
Tarekat Sammaniyah ini juga berkembang di Nusantara, menurut keterangan dari
Snouck Haugronje selama tinggal di Aceh, ia menyaksikan tarekat ini telah
dipakai oleh masyarakat setempat.[61].
selain itu Tarekat ini juga banyak berkembang di daerah lain terutama di
Sulawesi selatan. Dan menurut keterangan Sri Muliyati bahwa dapat dipastikan
bahwa di daerah Sulawesi Selatanlah Tarekat Sammaniyah yang terbanyak
pengikutnya hingga kini.[62]
1) Ajaran
Ajaran-ajaran
pokok yang terdapat Tarekat ini adalah :
(a) Tawassul, Memohon berkah kepada pihak-pihak tertentu
yang dijadikan wasilah (perantara) agar maksud bisa tercapai. Obyek tawasul
tarekat ini adalah Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, asma-asma
Allah, para Auliya, para ulama Fiqih, para ahli Tarekat, para ahli Makrifat,
kedua orang tua
(b)
Wahdat al-Wujud, merupakan tujuan akhir yang mau dicapai oleh para sufi
dalam mujahadahnya.Wahdatul wujud merupakan tahapan dimana ia menyatu dengan
hakikat alam yaitu Hakikat Muhammad atau nur Muhammad
(c)
Nur Muhammad. Nur Muhammad merupakan salah satu rahasia Allah yang kemudian
diberinya maqam. Nur Muhammad adalah pangkal terbentuknya alam semesta dan dari
wujudnya terbentuk segala makhluk
(d)
Insan Kamil, dari segi syariat Wujud Insan kamil adalah Muhammad dan sedang
dari segi hakekat adalah Nur Muhammad atau hakekat Muhammad, Orang Islam yang
berminat menuju Tuhan sampai bertemu denganya harus melewati koridor ini yaitu
mengikuti jejak langkah Muhammad.[63]
g. Tarekat Tijaniyah
Didirkan oleh
syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani, lahir di ‘Ain Madi, Aljazair Selatan, dan
meninggal di Fez, Maroko. Syaikh Ahmad Tijani diyakini sebagai wali agung yang
memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat,[64]
menurut pengakuannya, Ahmad Tijani memiliki Nasab sampai kepada Nabi Muhammad .
Silsilah dan garis nasabnya adalah Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Salim bin
al-Idl bin salim bin Ahmad bin Ishaq bin Zain al Abidin bin Ahmad bin Abi
Thalib, dari garis Siti Fatimah al-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW. Ahmad
Tijani lahir dan di besarkan dalam lingkungan tradisi keluarga yang taat
beragama. Beliau memperdalam ilmu kepada para wali besar di berbagai
Negara seperti Tunis, Mesir, Makkah, Medinah, Maroko. Kunjungan itu untuk
mecari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas, sehingga ia berhasil mencapai
derajat kewalian yang sangat tinggi.[65]
Selanjutnya tarekat ini berkembang di Negara Afrika seperti Sinegal,
Mauritania, Guinea, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai ke luar Afrika termasuk
Saudi Arabia dan Indonesia.
Tarekat Tijaniah
masuk ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada fenomena yang
menunjukkan gerakan awal Tarekat Tijaniyah yaitu: Kehadiran Syaikh Ali bin Abd
Allah al-Thayyib dan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet
Cirebon. Kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib tidak diketahui secara
pasti tahunnya. Menurut penjelasan GF. Pijper dalam buku Fragmenta Islamica:
Beberapa tentang Studi tentang Islam di Indonesia abad 20 sebagaimana yang di
kutip oleh Sri Muliyati bahwa Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib datang
pertama kali ke Indonesia, saat menyebarkan Tarekat Tijaniyah ini di
Tasikmalaya.[66]
Berdarkan
kehadiran Syaikh Ali bin Abd Allah al-Thayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat
Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke 20 M. namun
menurut Pijper, sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum mempunyai pengikut
di pulau jawa. Pijper menjelaskan bawha Cirebon merupakan tempat pertama
diketahui adanya gerakan tarekat Tijaniyah. Pada bulan Maret 1928 pemerintah
Kolonial mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan yang dibawa oleh guru
agama ( Kiyai) yag membawa ajaran Tarekat baru yaitu Tijaniyah. Dari Cirebon
ini kemudian menyebar secara luas ke daerah-daerah di pulau Jawa melalui
murid-murid pesantren Buntet ini. Perkembanga tarekat ini pada akhirnya bukan
hanya dari pesantren Buntet di Cirebon tetapi juga dari luar Cirebon. Seperti
Tasikmalaya, Brebes dan Ciamis.[67]
1) Ajaran
Mengenai ajaran
Tarekat ini, pada dasarnya hampir sama dengan tarekat-tarekat yang telah
berkembang sebelumnya pendekatan kepada Allah melalui Dzikir. Ajaran Tarekat
ini cukup sederhana, yaitu perlu adanya perantara ( wasilah) antar manusia dan
Tuhan. Perantara itu adalah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/naibnya.
Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru-guru lain yang manapun,
bahkan ia dilarang pula untuk memohon kepada wali dimanapun selain diriya.[68]
Secara umum amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga
unsur pokok yaitu, Istigfar, Shalawat, dan Hailalah. Inti ajaran zikir dalam
Tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa
terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada
Allah SWT melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan
Allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk, yaitu zikir bil al-Lisan dan zikir
bi al-Qalb.[69]
Adapun bentuk amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis yaitu,
Wirid Wajibah dan wirid Ikhtiyaariyah, Wirid Wajibah yakni wirid yang wajib
diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak dan menjadi ukuran sah
atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah. Wirid Ikhtiyariyah yakni Wirid yang
tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk mengamalkannya, dan tidak menjadi
ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah.[70]
h. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah
Tarekat ini
adalah merupakan tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah yang terdapat di
Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang
berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat
yang baru dan berdiri yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan
juga Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Tarekat ini
didirikan oleh Orang Indonesia Asli yaitu Ahmad Khatib Ibn al-Ghaffar Sambas,
yang bermukim dan mengajar di Makkah pada pertengahan abad kesembilan belas.[71] Bila
dilihat dari perkembangannya Tarekat ini bisa juga disebut “Tarekat Sambasiyah”
Tapi Nampaknya Syaikh al-Khatib tidak menamakan tarekatnya dengan namanya
sendiri. berbeda dengan guru-gurunya yang lain yang memberikan nama tarekatnya
sesuai dengan nama pengembangnya.[72]
Sebagaimana kebiasaan ulama-ulama sebelumnya untuk memperdalam ilmu agama,
kiranya mereka berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu yang mereka miliki.
Demikian pula halnya dengan Ahmad Khatib, ia berangkat ke Makkah untuk belajar
Ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf dan mencapai posisi yang sangat di hargai
diantara teman-temannya dan kemudian menjadi seorang tokoh yang berpengaruh di
seluruh Indonesia. Diantara gurunya adalah Syaikh Daud bin Abd Allah bin Idris
al Fatani, Syaikh Muhammad Shalih Rays, selain itu ia juga banyak mengikuti dan
menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan oleh Syaikh Bishry al-Jabaty, Sayyid
ahmad al-Marzuki, Sayyid abd Allah ibn Muhammad al- Mirghany.[73]
Sebagaimana di
singgung sebelumnya bahwa tarekat ini mengambil dua nama tarekat yang telah
berkembang sebelumnya yaitu Qadiriyah dan
Naqsabandiyah. Tarekat Qadariyah sendiri dibangun oleh Abd Qadir Jilani,
yang mengacu pada tradisi Mazhab Iraqy yang dikembangkan oleh al-Junaid,
sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah dibangun oleh Muhammad bin Muhammad Bah al-Din
al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang didasarkan kepada tradisi al-Khurasany
yang dipelopori oleh al-Bisthami. Di samping itu keduanya juga mempunyai
cara-cara yang berbeda terutama dalam menerapkan cara dan teknik berzikir.
Qadiriyah lebih mengutamakan pada penggunaan cara-cara zikir keras dan jelas (
dzikr Jahr ), dalam menyebutkan Nafy dan Itsbath, yakni Kalimat La Ilaaha
Illa Allah. Sementara Naqsyabandiyah lebih suka memilih dzikir dengan
cara yang lembut dan samar ( Dzikr Khafy), pada pelafalan Ism al-Dzat,Yakni
Allah-Allah-Allah.[74]
1) Ajaran
Tarekat ini mengajarkan tiga syarat yang harus
dipenuhi orang yang sedang berjalan menuju Allah, yaitu zikir diam dalam
mengingat, merasa selalu diawasi oleh Allah di dalam hatinya dan pengabdian
kepada Syaikh.[75]Aturan
dzikir yang telah diformulasikan oleh Syaikh Ahmad Khatib pada Tarekat
Qadiriyah-Naqsabandiyah dalam bentuk Nafyi wa Itsbat atau dengan Ism
al-Dza, merupakan satu bentuk bimbingan praktis yang didorong dan
didasari ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga Thariqah, jalan spritualnya
diformulasikan sedemikian rupa sehingga berzikir (mengingat Allah) menjadi
lebih efektif, mudah dirasakan dan diresapkan dalam hati orang yang
melakukannya, baik dalam bentuk dzikir Jahr maupun dalam bentuk Sirr. Secara
rinci Syaikh Ahmad Khatib merumuskan cara-cara meresapi zikir kepada Allah agar
sampai pada tingkat hakikat atau kesempurnaan, yaitu Pertama, Salik
hendaklah berkonsentrasi dan membersihkan hatinya dari segala cela sehingga
dalam hati dan fikirannya tidak ada sesuatu pun selain Zat Allah, Kemudian
meminta limpahan karunia dan kasih sayangnya serta pengenalan yang sempurna
melalui perantaraan Mursyid (Syaikh). Kadua, ketika mengucapkan
lafal-lafal dzikir terutama Nafyi wa Itsbat La Ilaaha Illa Allah,
hendaknya salik menarik gerakan melalui suatu trayek dibadannya, dari pusat
perut sampai ke otak kepalanya. Kemudian ditarik kearah bahu kanan dan dari
sana dipukulkan dengan keras ke jantung. Disini kepala juga ikut bergerak
sesuai dengan trayek zikir. Dari bawah ke atas ditarik kata” La ” dengan ukuran
tujuh mad, kemudian kata ilaha ditarik ke bahu kanan dengan ukuran yang sama
dan akhirnya kata ” illallah ” dipukulkan ke jantung dengan ukuran yang lebih
lama sekitar tiga mad. Dan yang ketiga dengan memusatkan zikir pada titik-titik
halus (Lathaif) dalam anggota badan. Titik-titik halus semacam Lathifah al-Qalb
terletak di bawah susu kiri berukuran dua jari. Lathifah ar-Ruh terletak di
bawah susu kanan berukuran dua jari. Lathifah as-Sirr terletak bertepatan
dengan susu kiri berukuran dua jari. Lathifah al-Khafy letaknya bertepatan
dengan susu kanan berukuran dua jari. Lathifah al-akhfa letaknya di tengah dada
dan Lathifah an-Nafs letaknya dalam dahi dan seluruh kepala. Seadangkan unsur
unsur yang empat (Anashir al-Arbaah) adalah seluruh anggota badan harus
merasakan zikir dan merasakan hakikatnya. Maka di sinilah seluruh anggota badan
dituntut untuk menyempurnakan dan melengkapi dalam membantu gerak zikir Lathaif
tadi.[76]
C.
PENUTUP
Dari pembahsaan di atas
dapat kita simpulkan bahwa tarekat, adalah dimana suatu jalan yang ditempuh
oleh seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemudian didalam
pelaksanaan tarekat itu sendiri ada berbagai macam cara dan sangat beraneka
ragam antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya, diantaranya dengan
metode, wirid atau dikir yang keras, tarian, ratib, nafas, dan dengan musik.
Munculnya tarekat itu sendiri setidaknya ada dua faktor yang,
yaitu faktor kultural dan struktur. Dari segi politik, dunia Islam sedang
mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti: wilayah
Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa,
yang terkenal dengan Perang Salib. Di bagian timur, dunia Islam menghadapi
serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Demikian halnya di Baghdad
situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena selalu terjadi
perebutan kekuasan di antara para Amir. Dalam situasi seperti itu wajarlah
kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada
doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai
dengan sesama muslim disamping itu juga didukung oleh kepedulian ulama sufi
dalam memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral
yang sangat hebat sehingga dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam
maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya
para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri yang disebut dengan tarekat.
Beberapa tarekat yang pernah
ada antara lain: Tarekat Qadiriyah, Syadziliah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, dan masih banyak lagi tarekat yang lainnya yang
tentu sangat beraneka ragam keberadaannya. tujuan tarekat itu sendiri yaitu
suatu sistem atau suatu cara dalam rangka mengadakan latihan jiwa,
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat
yang terpuji dan memperbanyak dikir kepada Allah SWT, dengan penuh ikhlas
semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan bersatu secara ruhiyah dengan
Tuhan.
DAFTAR RUJUKAN
Abatasa
Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi, (http://www.wordpress.com,
diakses 01 Mei 2012)
Anonin. 1997. Ensiklopedi Islam,
Cetakan keempat, Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
: PT Ichtiar baru van hoeve
Anonim, Tarekat,
(http://www.wikipedia.com, diakses
01 Mei 2012)
Ali, A. K. 1990. Study of Islamic History. Delhi : Idarat Adabi
Arisandi, Ajaran tarekat
qadiriyah, (http://www.blogspot.com,
diakses 05 mei 2012)
Azra,
Azyumard. 1998 Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:Mizan
Fuad Said, H.A. 1996. Hakekat
Tarekat Naqsyabandiyah. Jakarta : Al-Husna Zikra
Hasan, Zainul. Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi
Historis), Tadris Jurnal Pendidikan Islam . volume. 1, nomor.1, tahun 2006
Ibrahim Hasan,
Hasan. 1989. Islamic History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh Djahdan Human
(ed) dengan judul : Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang
Iskandar Al Barsyany, Noer. 2001. Tasawwuf, Tarekat
dan Para Sufi, Jakarta: Grafindo
Nasution,
Harun. 1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Madkour,
Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa
Tathiquhu. diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran
Teologi dan Filsafat Islam, Jakarta : Bumi Aksara
Makluf, Luis. 1896. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam. Beirut: Dar Al-Masyrik
Mas Hajir Ismail, Sejarah Perkebangan
Toriqoh Di Indonesia, (http://wwww.wordpress.com,
diakses 05 Mei 2012)
Muhammad
al-Ghazali. Abu Hamid Ihya’ Ulum al-Din, jilid III. Kairo : Mustafa al-Bab
al Halabi
Mulyati, Sri. 2006.
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana
Muzani,
Saifulah (Ed). 1996. Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution. Bandung : Mizan
Nasution,Harun. 1973. Islam
Ditinjau, jilid 1. Jakarta :
Bulan Bintang
Nasution,
Harun. 1990 (ed.). Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah,
Asal-usul dan Perkembangannya. Tasikmalaya: IAIIM
Nasution,
Harun. 2000. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI Pres
Pangeran
karyonagoro, Kandjeng Sejarah Tarekat Sufi, (http://www.kompassania.com, diakses 01
Mei 2012)
Rusliana, Iu Mengenal
Tarekat, (http://www.Blogger Sunan Gunung
Djati.com, diakses 01 Mei 2012)
Samad, Dasuki Tasawuf
Dan Tarekat Bukan Aliran Sesat, (http://www.blogspot.com,
diakses 01 Mei 2012)
Thohir,
Ajid. 2002. Gerakan Politik Kaum
Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,(Bandung, Pustaka Hidayah
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,(Bandung, Pustaka Hidayah
Van
Bruinessen, Martin. 1996. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung:
Mizan
Zahri,
Mustafa. 1995. Kunci Memahai Ilmu
Tasawuf . Jakarta : Bina Ilmu
[2] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa
Tathiquhu, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran
Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm.
101
[3]
Ibid., hlm. 103
[4]
Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan
Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.), Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah,
Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAIIM, 1990), hlm. 28
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 8
[7] Noer Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta:
Grafindo, 2001) hlm. 73
[8] Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II, (Jakarta:
UI Press, 2000) hlm. 127
[9] Anonim, Tarekat, (http://www.wikipedia.com, diakses 01 Mei
2012)
[10] Secara harfiyah, berasal dari bahasa arab;
ajaza-yujizu-ijazah, artinya, memperbolehkan. Maksudnya, setelah melalui proses
pendidikan, seorang guru (mursyid, syaikh)memperbolehkan atau memberi izin
peserta didik (murid) untuk mengamalkan ilmu yang telah didapat sekaligus
memperbolehkan untuk ditransformasikan pada orang lain.
[11] Zainul Hasan, “Tadris Jurnal Pendidikan
Islam”, Lembaga Pendidikan Sufi (Refleksi Historis), volume. 1, nomor.1,
tahun 2006, hlm.2-3
[12] Dasuki Samad, Tasawuf Dan Tarekat Bukan
Aliran Sesat, (http://www.blogspot.com,
diakses 01 Mei 2012)
[13] Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan
Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.), Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah: Sejarah,
Asal-usul dan Perkembangannya, (Tasikmalaya: IAIIM, 1990), hlm. 28
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Islamic
History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh Djahdan Human (ed) dengan judul : Sejarah
dan Kebudayaan Islam , (Yogyakarta
: Kota Kembang, 1989), hlm. 245 – 266
[18] Mereka banyak berkumpul dengan para al-’ulama
al Shalihin banyak puasa,
membaca Al-Quran, dan dzikir serta mengasingkan diri dari keramaian duniawi
yang diyakini sebagi obat penentram jiwa. Baca Abu Bakar al-Makky, Kifayat
al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’ ,(Surabaya : Sahabat Ilmu, tt), hlm. 49-51.
[19] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, jilid III, (Kairo
: Mustafa al-Bab al Halabi, 1334 .H), hlm. 16-20
[20] Iu Rusliana, Mengenal Tarekat, (http://www.Blogger Sunan Gunung Djati.com, diakses 01
Mei 2012)
[21] Saifulah Muzani (Ed), Islam Rasional :
Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution , (Bandung : Mizan, 1996),
hlm. 366
[22] Abudin Nata,
Akhlak Tasawuf, PT. Raja grafindo (Jakarta : Persada, 1996), hlm.
176
[23] Mustafa Zahri, Kunci Memahai Ilmu Tasawuf
, ( Jakarta : Bina Ilmu, 1995) : Hlm 59
[24]
Mulyati,
Mengenal dan Memahami Tarekat...26
[25] Ibid., 33-34
[26] Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi,
(http://www.wordpress.com, diakses 01
Mei 2012)
[27] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 38-39
[29] Ibid., 40
[31] Ibid., 269
[34]
Ibid.,
[35] Arisandi, Ajaran tarekat qadiriyah, (http://www.blogspot.com, diakses 05 mei
2012)
[36] Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 43
[37]
Ibid.,
[38] Ibid., 57
[39] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi
Dan Tasawuf dalam Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat
Mukhtabarah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm. 58
[40] Abatasa Pustaka, Tarekat-Tarekat-Sufi,...
[41]
Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat., 75
[42] Ibid.,73-75
[43] H.A Fuad Said, Hakekat Tarekat
Naqsyabandiyah, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 1996)
hlm 23.
hlm 23.
[44] Ensiklopedi Islam, Cetakan keempat,
Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ( Jakarta : PT
Ichtiar baru van hoeve, 1997)...8
[45] Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat...95
[46]
Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat.,
103-105
[47] Azyumard Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1998)hlm 212
dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1998)hlm 212
[48] Ibid..hlm 117
[49]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...127
[50]Mas Hajir Ismail, Sejarah Perkebangan
Toriqoh Di Indonesia, (http://wwww.wordpress.com,
diakses 05 Mei 2012)
[51] Ibid.,
[52] Ibid.,
[53]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...154
[55] Azra, Jaringan Ulama Timur ....159
[56] Ibid.,
[57]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...182
[58]
Azra, Jaringan Ulama Timur ....160
[59]
Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[60]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...183-184
[61]
Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[62]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...214
[63] Ibid., 207-210
[65]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...218
[66]
Ismail, Sejarah Perkebangan Toriqoh...
[67]
Ibid.,
[69]
Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...218
[70]
Ibid.,
[71] Martin Van Bruinessen, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan Cet
IV,1996), hlm 89
IV,1996), hlm 89
[72] Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat:
Telaah Historis Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,(Bandung, Pustaka Hidayah,
Cet I, 2002), hlm 49
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa,(Bandung, Pustaka Hidayah,
Cet I, 2002), hlm 49
[73] Mulyati , Mengenal dan Memahami Tarekat...225
[74] Ibid.,
[75] Ibid.,258
[76]
Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat...75