Kamis, 23 Agustus 2012

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI UMAYYAH

A.  Pendahuluan

Perkembangan sejarah pendidikan dari masa kemasa selalu mengalami progres yang berdampak baik bagi perkembangan intelektual masyarakat Islam pada saat itu sampai sekarang. Pendidikan terus mengalami perkembagan dari masa Rasulullah, masa Khulafa Ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyyah, bahkan dinasti-dinasti kecil yang muncul diantara dinasti kuduanya dan semakin berkembang pula setelah masa pembaharuan pendidikan Islam.
Setelah masa pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin berakhir, maka dilanjutkan oleh Hasan. Akan tetapi, lemahnya posisi Hasan membuat Umayyah berusaha mendapatkan kedudukan tersebut. Setelah Umayyah menjadi dinasti, ia mengubah sistem pemerintahan menjadi Monarki atau Kerajaan. Pada masa dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa Ar-Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra.  Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.  Metode pengajarannya pun tidak sama.  Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu, selain itu pada masa ini juga terjadi pergolakan politik untuk memperluas wilayah kekuasaan. Semua itu berdampak kepada pola pendidikan Islam pada masa itu, mulai dari adanya perbedaan kurikulum antara murid yang sekolah di Khuttab dengan murid yang sekolah di sekolah Istana dan lain sebagainya.
Pada masa Dinasti Umayyah pola pendidikan Islam senantiasa berusaha untuk bisa lebih  maju dari pendidikan Barat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah kegaiatan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, berkembangnya lembaga pendidikan serta kurikulum dan metodenya, berkembangnya ilmu pengetahuan, serta berkembang pula gerakan-gerakan ilmiah yang belum digalakkan pada masa-masa sebelumnya.
B.  Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
1.    Karakteristik Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Ada beberapa karakteristik pendidikan pada masa Dinasti Umayyah yang berbeda dengan masa Rasulullah dan Khulafa Ar-Rasyidin, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Bersifat Arab
Pendidikan pada masa Dinasti Umayyah adalah bersifat Arab dan Islam tulen, artinya yang terlibat dalam dunia pendidikan masih didominasi oleh orang-orang Arab, karena pada saat itu elemen-elemen Islam yang baru belum begitu tercampur. Hal ini disebabkan karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politik agama dan budaya.
b.    Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam Yang Baru Muncul
Sangat wajar kalau pendidikan Islam pada periode awal berusaha untuk menyiarkan Islam dan ajaran-ajarannya, itulah sebabnya pada periode ini banyak dilakukan penaklukan-penaklukan wilayah dalam rangka menyiarkan dan menguatkan prinsip-prinsip agama. Dalam pandangan mereka Islam adalah agama dan negara, sehingga para khalifah mengutus para ulama dan tentara keseluruh negeri untuk menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya. 
c.    Perioritas Pada Ilmu-Ilmu Naqliyah Dan Bahasa
Pada periode ini, pendidikan Islam memberi prioritas pada ilmu-ilmu naqliyah dan bahasa. Kecenderungan naqliyah dan bahasa dalam aspek budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama bahwa pendidikan pada masa ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama bertujuan untuk mengukuhkan dasar-dasar agama 
d.   Menunjukkan Perhatian Pada Bahan Tertulis Sebagai Media Komunikasi
Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya kepentingan penulisan. Pada mulanya penulisan dirasa penting ketika Nabi Muhammad hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Atas dasar itulah beliau mengangkat orang-orang yang bisa menulis untuk memegang jabatan ini. Pada masa Umayyah tugas penulisan semakin banyak dan terbagi pada lima bidang yaitu, penulis surat, penulis harta, penulis tentara, penulis polisi dan penulis hakim. Dengan demikian pada masa ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan bahasa arab dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun secara tulisan diseluruh wilayah Islam.
e.    Membuka Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing
Keperluan untuk mempelajari bahasa-bahasa asing dirasa sangat perlu semenjak kemunculan Islam yang perama kali walaupun hanya dalam ruang lingkup yang terbatas. Keperluan ini semakin dirasa penting ketika Islam dipegang oleh dinasti Umayyah, dimana wilayah Islam sudah semakin meluas sampai ke Afrika utara dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang bahasa mereka bukanlah bahasa Arab. Dengan demikian pengajaran bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan Islam masa itu bahkan sejak kemunculan Islam pertama kali.[1]
f.     Menggunakan Surau (Kuttab) dan Masjid
Diantara jasa besar dinasti umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada masa ini pula pendirian masjid banyak dilakukan terutama didaerah-daerah yang baru ditaklukkan, pada masa ini pula didirikan masjid zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua didunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’ yang menaklukkan Afrika utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa kerajaan Umayyah pada saat itu.[2]  

2.    Tempat-Tempat Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Diantara tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
a.    Khuttab
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[3]
b.    Masjid
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah.[4] Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[5]


c.    Majelis Sastra
d.   Pendidikan Istana
yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.[7]
e.    Pendidikan Badiah
yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.[8]

3.    Pusat-Pusat Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:[9]
a.       Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
b.      Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c.       Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
d.      Madrasah Kufah
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e.       Madrasah Damsyik (Syam)
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f.       Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat yang pertamakali mendirikan madrasah dan menjadi guru dimesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli hadis yang bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi beliau juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana Al-Auza’i di Syam.    

4.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Disamping melakukan ekspansi, pemerintahan dinasti umayyah juga menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama’ mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.[10] Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:[11]    
a.       Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b.      Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
c.       Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d.      Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

5.      Gerakan-Gerakan Ilmiah Pada Masa Bani Umayyah
a.    Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an[12]
Al-Qur’an yang telah dikodifikasikan pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan ditulis tanpa titik, sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf fa’ dan huruf qaf  atau buruf ta’ dengan huruf ba’ dan huruf tsa’ dan baris sehingga tidak dapat dibedakan dhamma yang berbunyi “u fathah yang berbunyi ‘a’ dan kasroh yang berbunyi “i”. Menurut salah satu riwayat ulama’ yang pertama kali memberikan baris dan titik pada huruf-huruf al-Qur’an adalah Hasan al-Bashri atas perintah Abd. Malik Ibn Marwan. Beliau menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan al-Qur’an, al-Hajjaj meminta Hasan Al-Bashri untuk menyempurnakannya; dan hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya ibn Ya’mura.    


b.   Penulisan Hadits
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri    
   
c.    Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian terkenal dengan sebutan ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak akidah Islam. Kemudian berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.   
     
d.   Madrasah Hasan Al-Bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.          

e.       Gerakan Ijtihad
Dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa sahabat dan seterusnya, dan karena adanya interaksi dengan budaya-budaya bangsa lain, pola kehidupan masyarakat muslim banyak terjadi perubahan dan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Permasalahan-permasalahan baru tersebut mendorong para sahabat untuk menetapkan ketentuan hukum yang sifatnya baru pula. Sebenarnya secara umum Nabi Muhammad saw, telah memberikan pedoman bagaimana cara memberikan keputusan hukum terhadap masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.[13]
Petunjuk Nabi Muhammad saw dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ada dicari dalam sunnah atau hadits, dan jika tidak terdapat dalam keduanya maka gunakan akal pikiran (ijtihad) untuk memberikan ketentuan hukum. Namun demikian, ternyata dalam prakteknya mereka mengalami kesulitan, karena pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum.[14]
Penjelasan yang rinci terdapat dalam hadits Rasulullah. Sedangkan hadits Rasulullah tentunya tidak semua sahabat mengetahuinya secara lengkap. Kesulitan tersebut menjadi lebih nampak  jika suatu perkara terjadi pada daerah yang jauh dari sahabat atau tabi’in yang menanganinya tidak mengetahui hadits yang sesuai. Bagaimana penggunaan ra’yu atau ijtihad tentunya hal ini akan sangat tergantung kepada kemampuan sahabat atau tabi’in atau petugas yang bersangkutan. Dengan demikian dimungkinkan akan timbul berbagai macam keputusan hukum yang berbeda dengan masalah yang sama.[15]  
Menurut Zuhairini, saat itu dalam ijtihad berkembang dua pola, pertama, tokoh-tokoh hadits dalam memberikan ketetapan hukum  sangat tergantung pada ketetapan Rasulullah, sehingga bagaimana pun juga, mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain. Mereka ini lah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi sayangnya pada masa itu telah berkembang pula hadits-hadits palsu untuk kepentingan-kepentingan politik. Pola kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl-al-Ra’yu (ahli pikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak hadits-hadits palsu. Sehubungan dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits yang kuat atau sahih saja, dan mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu dalam berijtihad. Selanjutnya aliran Ahl-al-Ra’yu ini mendorong usaha penelitian terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Disamping itu, mereka juga mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian disebut sebagai ilmu ushul fiqih.[16]
Dari dua pola umum ijtihad tersebut, kemudian berkembang sebagai madzhab (aliran) dalam fiqih, yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya. Diantara ahli-ahli fiqih yang saat itu berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih adalah Abu Hanifah yang memimpin madrasah Khuffah dan Imam Malik yang memegang madrasah Madinah.   
                       
 




















C.    ANALISIS

Pada masa dinasti Umayah telah terjadi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari Theo Demokrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Pada saat itu situasi politik masih belum stabil sehingga kebijakan pemerintahan dalam pendidikan terus berubah-ubah. Ini dikarenakan upaya peralihan kekuasaan dari Hasan dianggap dilakukan atas dasar kelicikan. Sebelumnya Muawwiyyah telah berjanji tidak akan merubah sistem pemerintahan. Akan tetapi, Muawwiyyah tetap merubah sistemnya menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini sangat berdampak sekali terhadap pola pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa sebelum dinasti Umayah, pendidikan difokuskan di Khuttab dan di Masjid.
Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja didasarkan atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Pendidikan ini bertujuan agar anak-anak para raja diajarkan ilmu-ilmu tentang kepemimpinan dari sebuah kerajaan. Kurikulum dalam pendidikan istana inipun berbeda dengan kurikulum yang diberlakukan di Khuttab atau masjid. Kurikulum di pendidikan istana ini ditentukan dan diatur oleh guru dan orangtua. Ini menyebabkan terjadi perbedaan kurikulum.
Selain itu, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Umayyah, menyebabkan penggunaan bahasa Arab semakin berkembang. Ini menyebabkan berdirinya Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad. Untuk mengimbangi dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada saat itu telah memulai kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang oleh orang barat. Ini bertujuan agar orang-orang Islam bisa memperoleh ilmu dari buku tersebut. tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. 

































DAFTAR RUJUKAN

Al Abrasi, Athiyya. 1993. Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani. Jakarta: Bulan Bintang

Anwar, Saipul. Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah
Langgulung, Hasan. 1980. Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21. Jakarta: Pustaka Al Husna

Langgulung, Hasan. 1998.  Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Husna

Langgulung, Hasan.  2001. Pendidikan Islam Dalam abad Kesatu. Jakarta: Al-Husna Zikra
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: kencana
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta. 1986. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Salabi, Ahmad.  1972. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana
Yunus, Mahmud.  1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hida Karya Agung
Zuhairini. 1992.  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara


[1] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1998), hlm. 69-74
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Dalam abad Keduapuluh satu, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001), hlm. 18
[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm.47
[4] Athiyya Al Abrasi, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hlm. 56
[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 19
[6] Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1972), hlm. 72
[7] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 91
[8] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 96
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989 ), hlm. 34-39
[10] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: kencana, 2008), hlm.59
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 41-42
[12] Saipul Anwar, Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah

[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 85

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

A.    Pendahuluan
Untuk menghasilkan penelitian yang inovatif, banyak hal yang perlu kita perhatikan yaitu sebelum pelaksanaan penelitian, saat penelitian sampai pada penulisan hasil penelitian. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam suatu penelitian. Dengan kata lain, rencana penelitian, proses penelitian dan penulisan hasil penelitian harus menjadi fokus utama penelitian.
Berbagai tahapan dalam penelitian perlu kita cermati mulai dari ide penelitian, jenis  penelitian yang kita pilih, sampel yang diambil, proses pengambilan data, cara menganalisa data selama proses penelitian, metode dalam menganalisa data sampai pada pengambilan kesimpulan hasil penelitian.
Analisis data dianggap sebagai kunci utama dalam suatu penelitian, karena dengan cara menganalisis data yang benar dan sesuai, kita dapat menuangkan hasil penelitian sebagai suatu laporan ilmiah yang dapat diambil manfaatnya. Oleh karena itu peneliti harus mengetahui segala teori-teori yang berkaiatan dengan analisis data agar dapat melakukan penelitian sesuai yang mereka inginkan.
Untuk dapat melakukan penelitian yang memiliki hasil yang maksimal maka seorang peneliti harus memiliki beberapa pengetahuan tentang berbagai macam pendekatan dan jenis dalam suatu penelitian. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang terkait dengan metodologi penelitian kualitatif dengan pokok bahasan tentang pengertian penelitian kualitatif, jenis-jenis penelitian kualitatif, fungsi teori, cara pembuatan data, analisis data, temuan penelitian, pembahasan dan penyimpulan.  

B.     Penelitian Kualitatif
1.    Pengertian Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, gerakan sosial, atau hubungan kekerabatan.[1] Sedangkan Wahidmurni menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkap gejala secara holistik-konstektual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai istrumen (alat pengumpul data). Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Sebagai contoh, ketika kita melihat orang menangis, secara langsung kebanyakan orang akan mengatakan bahwa ia sedih, apakah memang benar demikian?. Memang secara kuantitatif, kebanyakan orang menangis dikarenakan kesedihan, namun orang kualitatif masih mempertanyakan mengapa is menangis?, boleh jadi ia menangis karena terlalu bahagia, karena baru dilamar pujaan hatinya atau ia baru diterima bekerja dan sebagainya.[2] Berdasarkan pengertian diatas pendekatan kualitatif merupakan suatu penerapan pendekatan alamiah pada pengkajian suatu masalah yang berkaitan dengan individu, fenomenal, simbol-simbol, dokumen-dokumen, dan gejala-gejala sosial.

2.    Jenis-jenis Penelitian Kualitatif
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand) fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan sebuah teori. Karena tujuannya berbeda dengan penelitian kuantitatif, maka prosedur perolehan data dan jenis penelitian kualitatif juga berbeda. Setidaknya ada enam jenis penelitian kualitatif, diantaranya adalah:
a.    Biografi, merupakan tsudi terhadap seseorang atau individu yang dituliskan oleh peneliti atas permintaan individu tersebut atau atas keinginan peneliti yang bersangkutan. Biografi bisa disusun berdasarkan kepada dokumen atau materi lainnya dalam konteks tertentu. Artinya, dalam model biografi, subjek penelitian dapat berupa orang yang masih hidup atau dapat pula yang sudah tidak ada (meninggal dunia), sepanjang data yang relevan dapat diperoleh oleh peneliti dari dokumen yang tersedia. Dalam model biografi, hal yang menjadi fokus penelitian adalah kehidupan secara keseluruhan atau beberapa fase kehidupan dari seroang individu yang dianggap unik, khas menarik, atau luar biasa. Sehingga sangat layak untuk diangkat menjadi suatu penelitian kualitatif.[3]          
b.    Fenomenologi, berusaha untuk mengungkap dan mempelajari serta memahami suatu fenomena beserta konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran “keyakinan” individu yang bersangkutan. Penelitian fenomenologi berusaha untuk mencari arti secara psikologis dari suatu pengalaman individu terhadap suatu fenomena melalui penelitian yang mendalam dalam konteks kehidupan sehari-hari subjek yang diteliti. Perlu kiranya diingat bahwa dalam melakukan persiapan yang matang dan komprehansif, bukan hanya kepada subjek penelitian semata, tetapi juga peneliti harus mendapatkan akses untuk menacapai situasi dan tempat yang akan diteliti karena inti dari fenomenologi adalah adanya keterkaitan antara subjek, lokasi, fenomena yang alami. Jika salah satu dari ketiga faktor tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, maka hasil yang didapatkan dari penelitian dengan model fenomenologi tidak optimal.[4]    
c.    Grounded theory, jenis ini dikhususkan untuk menemukan atau menghasilkan teori dari sutau fenomena yang berkaitan dengan situasi tertentu. Situasi yang dimaksud adalah suatu keadaan ketika individu (subjek penelitian) berinteraksi langsung, mengambil bagian dan melebur berproses menjadi sau terhadap suatu fenomena. Grounded theory adalah suatu model dalam penelitian kualitatif dan yang bersifat konseptual atau teori sebagai hasil pemikiran induktif, bukan hasil pengembangan teori yang telah ada.[5]
d.   Etnografi, merupakan suatu studi atau penelitian yang difokuskan pada penjelasan deskriptif dan interpretasi terhadap budaya dan sistem sosial suatu kelompok atau suatu masyarakat tertentu melalui pengamatan dan penghayatan langsung terhadap kelompok aatau masyarakat yang diteliti. Peneliti memfokuskan penelitiannya pada kelompok atau suatu masyarakat tertentu melalui pengamatan dan penelitian secara langsung terhadap kelompok yang bersangkutan.[6] 
e.    Studi kasus, adalah suatu model penelitian kualitatif yang terperinci tentang individu atau suatu unit sosial tertentu selama kurun waktu tertentu. Secara mendalam studi kasus merupakan suatu model yang bersifat komprehansif, intens, terperinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang bersifat kontemporer.[7] 
Untuk lebih detailnya berikut uraian ringkas tentang masing-masing jenis penelitian tersebut:

Dimensi
Biografi
Fenomenologi
Grounded Theory
Etnografi
Studi Kasus
Fokus
Melakukan eksplorasi terhadap kehidupan individu yang dianggap unik dan khas
Memahami inti dari pengalaman idividuyang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu
Menemukan suatu teori berdasarkan data yang diperoleh langsung dilapangan
Memberikan gambaran dan melakukan interpretasi dari suatu budaya dan kelompok sosial
Mengembangkan analisis yang mendalam dari suatu kasus tunggal atau kasus jamak
Asal Disiplin Keilmuan
·    Antropologi
·    Sejarah
·    Psikologi
·    Sosiologi
·    Filsafat
·    Sosiologi
·    Psikologi

·    Sosiologi
·    Antropologi budaya
·    Sosiologi

·    Ilmu politik
·    Sosiologi
·    Psokologi
·    Antropologi
Metode Pengumpulan
Data
Wawancara primer dan studi dokumentasi

Wawancara mendalam dengan banyak subyek (lebih dari 10 subyek)
Wawancara dengan banyak subyek (lebih dari 20-30 subyek) untuk menetapkan kategori dan teori secara lebih detail
Observasi dan wawancara primer dilapangan dengan dengan rentang waktu yang relatif lama
Dapat dengan banyak metode seperti wawancara, observasi, dokumentasi, studi arsip, pemeriksaan fisik, dll
Metode Analisis Data
·    Model bercerita
·    Analisis sejarah
·    Analisis pertanyaan
·    Analisis arti
·    Deskripsi umum suatu pengalaman
·    Open conding
·    Axial conding
·    Selective conding
·    Conditional matrix
·    Deskripsi
·    Analisis
·    Interpretasi

·    Analisis deskripsi
·    Analisis tema
·    Asersi
Bentuk Narasi
Gambaran detail dan spesifik dari kehidupan individu
Deskripsi inti atau dasar dari suatu pengalaman
Teori atau model teoretis
Deskripsi perilaku berbudaya dari suatu kelompok atau individu
Studi mendalamdari kasus tunggal atau jamak.


Tabel: Perbandingan Antara Kelima Jenis Penelitian Model (Creswell,1998)


3.    Fungsi Teori
Metode penelitian kualitatif berangkat dari lapangan dengan melihat fenomena atau gejala yang terjadi untuk selanjutnya menghasilkan atau mengembangkan teori. Jika dalam metode penelitian kuantitatif teori berwujud dalam bentuk hipotesis atau definisi, maka dalam metode penelitian kualitatif teori berbentuk pola (pattern) atau generalisasi naturalistik (naturalistic generalization). Karena itu, pola dari suatu fenomena bisa dianggap sebagai sebuah teori.  Kalau begitu apa fungsi teori dalam metode penelitian kualitatif?[8] Teori dipakai sebagai bahan pisau analisis temuan penelitian pada bagian pembahasan atau diskusi hasil penelitian (pada umumnya di bab V dari laporan penelitian).[9]
Dengan teori, peneliti akan memperoleh inspirasi untuk bisa memaknai persoalan. Memang teori  bukan satu-satunya alat atau bahan untuk melihat persoalan yang diteliti. Pengalaman atau pengetahuan peneliti sebelumnya yang diperoleh lewat pembacaan literatur, mengikuti diskusi ilmiah, seminar atau konferensi, ceramah dan sebagainya bisa dipakai sebagai bahan tambahan untuk memahami persoalan secara lebih mendalam. Teori dipakai sebagai informasi pembanding atau tambahan untuk melihat gejala yang diteliti secara lebih utuh. Karena tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami gejala atau persoalan tidak dalam konteks mencari penyebab atau akibat dari sebuah persoalan lewat variabel yang ada melainkan untuk memahami gejala secara komprehensif, maka berbagai informasi mengenai persoalan yang diteliti wajib diperoleh. Informasi dimaksud termasuk dari hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai persoalan yang sama atau mirip.[10]
Misalnya, jika seorang mahasiswa program Magister Pendidikan Agama Islam hendak melakukan penlitian mengenai implementasi pendidikan agama Islam di SMAN 1 Malang, maka informasi dari mana saja, lebih-lebih dari hasil penelitian sebelumnya yang mirip dengan tema tersebut, wajib dikumpulkan. Informasi itu tidak saja dipakai sebagai bahan perbandingan untuk memahami persoalan yang diteliti, tetapi juga untuk menegaskan bahwa peneliti tidak melakukan duplikasi dari penelitian sebelumnya. Sebabhal itu dianggap tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Sementara itu I Made Wirartha menyebutkan beberapa fungsi teori diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang akan diteliti sehingga dapat melakukan kontrol
b.    Menegaskan kerangka teoritis yang menjadi landasan jalan pemikiran penelitian
c.    Mempertajam konsep-konsep yang dipergunakan sehingga memudahkan perumusan hipotesisnya
d.   Menghindari terjadinya pengulangan penelitian demi penghematan waktu, tenaga dan biaya[11]

4.    Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif dikenal beberapa metode pengumpulan data, diantara adalah sebagai berikut:
a.    Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi.[12] Yaitu melalui percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[13] Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur, tidak terstruktur, langsung ataupun tidak langsung. Tujuan dari wawancara adalah untuk memperoleh informasi yang tidak dapat diamati atau tidak dapat diperoleh dengan alat lain. Contoh dari bentuk pertanyaan yang digunakan dalam melakukan wawancara adalah sebagai berikut:
1)   Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman; pertanyaan ini ditujukan untuk mendeskripsikan pengalaman.[14] Misalnya: Sudah berapa lama Bapak/Ibu menjabat sebagai kepala SMP LAB UIN Maliki Malang atau sudah berapa lama Bapak/Ibu mengajar di SMP LAB UIN Maliki Malang?    
2)   Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat; pertanyaan ini ditujukan untuk memberikan gambaran pada kita mengenai hal yang dipikirkan tentang sesuatu.[15] Misalnya: Menurut Bapak/Ibu bagimana mutu PAI di SMP LAB UIN Maliki Malang? Atau Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung  mutu pendidikan agama Islam?
3)   Pertanyaan tentang pengetahuan; pertanyaan ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan faktual yang dimiliki responden.[16] Misalnya: strategi apa yang digunakan bapak selaku pimpinan sekolah dalam meningkatkan mutu PAI di sekolah
b.    Observasi
Cartwright dan Cartwright mendinisikan obrvasi sebagai suatu proses melihat, mengamati dan mencermati serta merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu.[17] Sedangkan tujuan dari observasi adalah untuk mendeskripsikan perilaku objek serta memahaminya atau bisa juga hanya ingin mengetahui frekuensi suatu kejadian.[18] dari sini bisa difahami bahwa inti dari observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung, dan dapat diukur. 
Contohnya, penelitian yang terkait dengan strategi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan agama Islam di SMP LAB UIN Maliki Malang, maka beberapa hal yang perlu diamati adalah bagaimana manajemen yang dikembangkan di sekolah tersebut, seperti apa kurikulum PAI yang diterapkan, program apa saja yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam, seperti apa output yang dihasilkan dari sekolah tersebut, bagaimana respon masyarakat terhadap output sekolah tersebut, bagaimana minat masyarakat terhadap sekolah tersebut apakah selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, dan seterusnya. Untuk keperluan itu, peneliti dapat bergabung atau ikut mengambil bagian dalam setiap kegiatan atau program yang dimiliki oleh sekolah tersebut tanpa mengurangi tujuan utama dari penelitian yang dilakukan.   
c.    Dokumentasi
Gottschalk menyatakan bahwa dokumen (dokumentasi) dalam pengertiannya yang lebih luas berupa setiap proses pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun, baik itu yang bersifat tulisan, lisan, gambaran, atau arkeologis.[19] G.J. Renier, sejarawan terkemuka dari University College London, menjelaskan istilah dokumen dalam tiga pengertian, pertama dalam arti luas, yaitu yang meliputi semua sumber, baik sumber tertulis maupun sumber lisan; kedua dalam arti sempit, yaitu yang meliputi semua sumber tertulis saja; ketiga dalam arti spesifik, yaitu hanya yang meliputi surat-surat resmi dan surat-surat negara, seperti surat perjanjian, undang-undang, konsesi, hibah dan sebagainya.[20] Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa dokumen merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik berupa sumber tertulis, film, gambar (foto), dan karya-karya monumental, yang semuanya itu memberikan informasi bagi proses penelitian.
d.   Focus Group Discussion
Metode terakhir untuk mengumpulkan data ialah lewat Diskusi terpusat (Focus Group Discussion), yaitu upaya  menemukan makna sebuah isu oleh sekelompok orang lewat diskusi untuk menghindari diri pemaknaan yang salah oleh seorang peneliti. Misalnya, sekelompok peneliti mendiskusikan hasil UN 2011 di mana nilai rata-rata siswa pada matapelajaran bahasa Indonesia rendah. Untuk menghindari pemaknaan secara subjektif oleh seorang peneliti, maka dibentuk kelompok diskusi terdiri atas beberapa orang peneliti. Dengan beberapa orang mengkaji sebuah isu diharapkan akan diperoleh hasil pemaknaan yang lebih objektif.[21]

5.    Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, hendaknya diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Oleh karena itu untuk menganalisis hasil temuan diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.    Reduksi Data
Merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstraksian dn pentransformasian data kasar dari lapangan. Fungsi reduksi data untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi sehingga interpretasi bisa ditarik. Dalam proses reduksi ini peneliti benar-benar mencari data yang benar-benar valid, ketika peneliti menyangsikan kebenaran data yang diperoleh akan dicek ulang dengan informan lain yang dirasa peneliti lebih mengatahui.[22]
b.    Penyajian Data
Adalah sekumpulan informasi tesusun yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajiannya antara lain berupa teks naratif, matriks, grafik jaringan dan bagan. Tujuannya adalah untuk memudahkan membaca  dan menarik kesimpulan. Dalam proses ini peneliti mengelompokkan hal-hal yang serupa menjadi kategori atau kelompok satu, kelompok dua, kelompok tiga dan seterusnya.masing-masing kelompok tersebut menunjukkan tipologi yang ada sesuai dengan rumusan masalah, dalam proses ini diklasifikasikan berdasarkan tema-tema.[23]

c.    Menarik Kesimpulan Atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-makna yang muncul dari data harus selalu diuji kebenaran dan kesesuaiannya sehingga validitasnya terjamin.[24]
Berdasarkan uraian diatas, langkah analisis data dengan pendekatan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
                               Koleksi data                     Displai data


Reduksi
   data


Pemaparan
Kesimpulan

(Gambar: Analisis data model interaktif dari Miles dan Huberman (1994) )

6.    Temuan                                        
Jika dalam paparan data peneliti memaparkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan (apa yang terjadi) dan atau hasil wawancara (apa yang dikatakan) serta deskripsi informasi lainnya (misalnya yang berasal dari dokumen, foto, rekaman, video dan hasil pengukuran); maka dalam sub bagian temuan penelitian, peneliti dituntut untuk menyajikan atau memaparkan apa yang sesungguhnya ada dibalik dari paparan data yang disajikan. Untuk itu pada bagian temuan penelitian ketajaman analisis peneliti diperlukan untuk mengungkapkan atau menginterpretasikan informasi yang terkandung dalam paparan data. Temuan penelitian yang dikemukakan tetap harus merujuk pada pertanyaan yang dituangkan dalam rumusan masalah atau fokus dan sub fokus penelitian yang telah disajikan pada bab pendahuluan. Dalam pemaparan temuan penelitian, peneliti tidak lagi memaparkan data tentang apa yang dikatakan informan, apa yang diamati atau memaparkan data yang diperoleh dari dokumen atau pengukuran, melainkan langsung memberikan makna dari apa yang telah peneliti paparkan dalam paparan data. Hasil temuan ini selanjutnya menjadi rujukan utama dalam melakukan pembahasan atau diskusi hasil penelitian ada bab berikutnya.[25]      
Berikut adalah contoh penyajian temuan penelitian dengan judul “Strategi Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Khadijah Surabaya” Rumusan masalah yang dikemukakan adalah sebagai berikut: “Bagaimana strategi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan agama Islam pada rintisan sekolah bertaraf internasional SMA Khadijah Surabaya?”
Temuan penelitian yang disajikan oleh peneliti berdasar hasil penelitian atau paparan data sebelumnya adalah seagai berikut:
Beberapa strategi yang diterapkan dan diaplikasikan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan agama Islam pada rintisan sekolah bertaraf internasional SMA Khadijah Surabaya adalah sebagai berikut:[26]
1) Peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru dengan cara mengadakan pelatihan IT dan Bahasa Inggris setiap bulannya, mengadakan sister school yang bekerjasama dengan ADNI International Islamic School Malaysia dengan pertukaran guru dan siswa yang bertujuan untuk mengembangkan wawasan keislaman, memberikan beasiswa bagi guru untuk melanjutkan kuliah S2, mengadakan kegiatan rutin berupa revitalisasi agama yang berisi tentang kajian seputar keagamaan serta tentang aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagai bagian dari tujuan yayasan yang berideologi ahlussunnah wal jamaah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama serta program family gathering yang diikuti oleh semua guru dan keluarga, itu semua merupakan sebagian usaha yang rutin dilakukan SMA Khadijah dalam rangka meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru.
2) peningkatan materi dan metode dengan cara menerapkan model kurikulum adaptif yang diadop dan diadaptasi dari kurikulum Depag, Diknas, Al-Ma’arif, Yayasan, yang diperkaya dengan kurikulum yang mengacu pada negara anggota OEDC atau negara maju lainnya oleh karena itu sekolah punya program untuk melakukan workshop kurikulum adaptif yang dilaksanakan setiap awal semester dengan memberikan berbagai materi mulai dari metode mengajar, strategi mengajar, menyusun RPP, silabus serta melakukan kegiatan rutin MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) untuk membahas berbagai hal termasuk yang berkaitan dengan materi dan metode pengajaran.
3) peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dengan cara, pengadaan software tata cara baca al-qur’an, software tata cara taharoh, CD-CD pembelajaran, Penggunaan LCD dimasing-masing kelas, Menggunakan power poin, al-Qur’an wibsite, media gambar, media benda seperti boneka, kain dll, soal-soal dalam bentuk software. Disamping itu juga terdapat beberapa prasarana pendukung seperti ruang kelas yang dilengkapi dengan IT serta wi-fi, perpustakaan, masjid, lapangan sekolah yang representatif, lingkungan sekolah yang asri, ruang TU yang lengkap dengan monitor pemantau CCTV pada setiap ruangan, begitu pula terdapat diruang kepala sekolah serta berbagai fasilitas pendukung seperti CCTV dan lainnya.
Untuk menghindari pembaca menjadi jenuh ketika membaca hasil penelitian yang telah dilakukan maka hasil penelitian bisa di bagankan seperti contoh dibawah ini:





Text Box: 125
 









7.    Pembahasan dan Penyimpulan
a.    Pembahasan
Pada bagian ini kejelian dan ketajaman daya fikir peneliti untuk membahas temuan penelitian sangat penting, sebab pada bagian pembahasan peneliti harus menginterpretasi bagaimana kedudukan temuan penelitiannya terhadap temuan atau teori sebelumnya. Jika memungkinkan perlu diungkapkan juga implikasi dari temuan penelitian ini. Pengintegrasian temuan penelitian ke dalam kumpulan pengetahuan yang sudah ada dilakukan dengan jalan menjelaskan temuan-temuan penelitian dalam konteks khazanah ilmu yang lebih luas. Hal ini dilakukan dengan membandingkan temuan-temuan penelitian yang diperoleh dengan teori dan empiris lain yang relevan. Sebab, membandingkan hasil penelitian yang diperoleh dengan temuan penelitian yang relevan akan mampu memberikan taraf kredibilitas yang lebih tinggi terhadap hasil penelitian. Dengan demikian pembahasan ini akan memberikan makna terhadap temuan itu sebagai bagian dari temuan yang sudah mapan.[27]        
Dengan demikian secara umum tujuan pembahasan adalah menjawab masalah penelitian atau menunjukkan bagaimana tujuan penelitian itu dicapai, menafsirkan temuan-temuan, mengintegrasikan temuan penelitian kedalam kumpulan pengetahuan yang telah mapan, serta menyusun teori baru atau modifikasi teori yang telah ada.[28]
b.      Penyimpulan
Penyimpulan atau pembuatan kesimpulan tidak boleh lepas dari rumusan masalah atau fokus dan sub fokus penelitian dalam bagian pendahuluan. Pada umumnya banyaknya jumlah pertanyaan dalam rumusan masalah atau fokus penelitian juga menentukan banyaknya jumlah rumusan kesimpulan yang harus disajikan. Jadi jika rumusan masalah atau fokus masalah ada lima buah maka kesimpulannya juga harus sebanyak lima buah. Oleh karena itu  simpulan-simpulan itu hendaknya disajikan secara berurutan atau diberi nomor. Simpulan nomor satu berarti menjawab rumusan masalah nomor satu begitu juga seterusnya. Namun perlu diperhatikan bahwa pada bagian penutup untuk skripsi biasanya hanya berisi kesimpulan dan saran. Sedangkan untuk tesis dan disertasi berisi kesimpulan, implikasi, dan saran.        

C.    Analisis dan Diskusi
1.    Analisis
Setiap penelitian, baik penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif memiliki ciri khas dan karakteristiknya masing-masing. Dalam penelitian kualitatif, ada beberapa bentuk atau jenis penelitian kualitatif yang berbeda satu sama lain dalam arah, tujuan, kepentingan bahkan hasil akhirnya. karena pada dasarnya setiap jenis penelitian yang dipilih akan mempengaruhi banyak hal seperti, sudut pandang terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian yang diajukan, teknik analisis data, serta hasil penelitian.
Pada prinsipnya metodologi penelitian kualitatif adalah tangkapan atas perkataan subjek penelitian dalam bahasanya sendiri. Pengalaman orang diterangkan secara mendalam, menurut makna kehidupan, pengalaman dan interaksi sosial dari subjek penelitian sendiri. Dengan demikian peneliti dapat memahami masyarakat menurut pengertian mereka sendiri. Hal ini berbeda dengan penelitian kuantitatif yang membakukan pengalaman responden kedalam kategori-kategori peneliti baku peneliti sendiri.
Data kualitatif bersifat mendalam dan rinci, sehingga juga bersifat panjang lebar. Akibatnya analisis data kualitatif bersifat spesifik, terutama untuk meringkas data dan menyatukannya dalam suatu alur analisis yang mudah dipahami pihak lain. Sifat data ini berbeda dari data kuantitatif yang relatif lebih sistematis, terbakukan, dan muda disajikan dalam format ringkas.   

2.    Diskusi
a.    P: Bagaimana proses pelaksanaan focus group discussion dan apakah ada
standartnya untuk orang yang kita ajak diskusi?
J: pelaksanaan focus group discussion dilakukan setelah semua data benar-benar terkumpul dan sudah memungkinkan untuk didiskusikan. Dan focus group discussion memiliki standart tersendiri untuk siapa saja yang akan menjadi narasumber atau anggota focus group discussion terdapat beberapa pertimbangan atau standart antara lain: 1) memiliki keahlian atau epakaran dalam kasus yang akan didiskusikan, 2) memiliki pengalaman praktisi dan kepedulianterhadap fokus masalah, 3)masyarakat awam yang tidak tahu menahu dengan masalah tersebut namunikut merasakan persoalan yang sebenarnya.
b.    P: Apa perbedaan antara historical research dengan etnografi dan apakah
    itu termasuk pada jenis penelitian ataukah pendekatan dalam penelitian?
J: historical research, penelitian yang dilakukan untuk merekonstruksi kondisi masa lampau secara  obyektif , sistematis, dan akurat guna merumuskan kesimpulan yang lebih kuat dan akurat. Sedangkan etnografi: penelitian dimaksudkan untuk memahami budaya atau aspek kebudayaan  dalam kehidupan sosial masyarakat. Dan kedua penelitian ini merupakan jenis-jenis (macam-macam) penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif.
c.    P: Apa bedanya penelitian kulitatif, literatur, dan studi tokoh?
J: Penelitian kulitatif merupakan suatu pendekatan penelitian yang menggunakan latar alamiah dan penelitian kualitatif ini menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau kuantifikasi lainnya. Sedangkan penelitian literatur adalah penelitian terhadap suatu topik yang telah ditulis oleh para peneliti atau ilmuan yang diakui kepakaranny, kepakarannya diakui bila hasil penelitiannya atau hasil pemiirannya dipublikasikan jurnal, buku atau yang lainnya. Dan penelitian studi tokoh adalah penelitian yang yang subyek penelitiannya adalah orang yang masih hidup atau dapat pula yang sudah tidak ada (meninggal dunia), sepanjang data yang relevan dapat diperoleh oleh peneliti dari dokumen yang tersedia. Dan pada prinsipnya penelitian literatur dan studi tokoh merupakan jenis penelitian dari metodologi atau pendekatan kualitatif.
d.   P: Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi teori adalah sebagai
pisau analisis ketika menganalisis sebuah temuan, tetapi pada penerapannya banyak orang yang menggunakan banyak teori sehingga itu hanya mempertebal laporan penelitiannya saja dan teori-teori tersebut banyak yang tidak terpakai. Bagaimana caranya supaya teori-teori yang disajikan itu bisa dipakai semua ketika menganalisis?
J: perlu kita ketahui bahwa tidak ada batasan untuk kajian pustaka dalam sebuah penelitian akan tetapi kajian pustaka yang digunakan dalam sebuah penelitian harus disesuaikan dengan keyword atau batasan masalah yang ada pada suatu penelitian, sehingga dengan adanya kajian pustaka kita akan lebih mudah untuk menentukan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara yang kita kembangkan dari adanya kajian pustaka, sehingga dengan begitu tidak ada kajian pustaka yang tidak terpakai ketika melakukan analisis data. dan dengan begitu juga kita akan bisa mengetahui secara jelas apakah temuan kita memberikan kontribusi pada teori-teori yang sebelumnya ada atau tidak dan jika ada maka perlu dikembangkan atau diperbaharui lagi teori-teori yang sudah ada tersebut.
e.    P: Ketika tujuan akhir dari jenis penelitian grounded theory yaitu
untuk menghasilkan teori baru sesuai dengan hasil penelitian, maka bagaimana korelasi antara grounded theory dengan kajian pustaka?
J: Perlu diketahui bahwa grounded theory merupakan jenis penelitian yang melepaskan teori dan peneliti langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Dengan kata lain,  peneliti  model grounded bergerak dari data menuju  konsep. Data yang telah diperoleh dianalisis menjadi fakta, dan dari fakta diinterpretasi menjadi konsep. Jadi prosesnya adalah data menjadi fakta, dan fakta menjadi konsep. Dengan kata lain peneliti peneliti melepaskan sikap, pandangan, keberpihakkan pada teori tertentu Sebab, keberpihakkan semacam itu dikhawatirkan kegagalan peneliti menangkap fenomena atau data yang diperoleh secara jernih karena sudah dipengaruhi oleh pandangen sebuah teori yang dibawa. Namun demikian, peneliti grounded theory tetap wajib memiliki wawasan teoretik mengenai tema yang diteliti, termasuk mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu. Sebab, bagaiamana seorang peneliti bisa memahami gejala atau fenomena yang terjadi tanpa memiliki wawasan teoretik mengenai fenomena tersebut. Karena itu, membaca teori atau konsep terkait dengan permasalahan penelitian tetap dilakukan  oleh peneliti grounded theory.
f.     P: Banyak kita menemui beberapa permasalahan ketika melakukan
penelitian salah satunya adalah ketika kita sudah menganalisis hasil temuan ternyata hasil temuan tersebut tidak sesuai dengan tujuan penelitian dan hal itu terjadi berulang-ulang sehingga mau tidak mau kita harus melakukan triangulasi data. Bagaimana seharusnya peneliti menyikapi hal tersebut?
J: Memang benar dari beberapa proses penelitian, hal yang paling menjenuhkan adalah ketika peneliti harus berulang kali melakukan analisis data dan triangulasi data kerena temuan yang dihasilkan tidak sesuai. Oleh sebab itu kejelihan peneliti dan ketekunan peneliti mutlak dibutuhkan dan peneliti tidak boleh puas terhadap data yang itu-itu saja karena kejenuhannya dalam meneliti, akan tetapi peneliti mau tidak mau harus tetap mengumpulkan data sampai peneliti benar-benar menemukan kejenuhan data (data yang diperoleh tetap sama dengan data-data sebelumnya).  
g.    P: Apakah kita bisa menggunakan wacana sebagai sebuah landasan
dalam melakukan penelitian ataukah hanya kajian teori (pustaka) saja yang dapat kita jadikan sebagai landasan dalam melakukan penelitian?
J: Pada prinsipnya boleh-boleh saja kita menggunakan wacana sebagai landasan penelitian karena pada dasarnya penelitian kualitatif tidak menguji kebenaran sebuah teori sebagaimana penelitian kuantitatif sehingga pada penelitian kuantitatif, teori yang digunakan harus teori yang sudah teruji kebenarannya oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif hanya menggunakan beberapa kajian teori saja. Sedangkan pada penelitian kualitatif, kajian pustaka dijadikan sebagai usaha untuk mengembangkan sebuah teori atau memperoleh pemahaman tentang makna dari segala sesuatu sehingga wacanapun bisa dijadikan landasan untuk melakukan penelitian.  
h.    P: Bagaimana penggunaan analisis data dan triangulasi data?
J: analisis data digunakan setelah data telah terkumpulkan dimana data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan reduksi data (pemilihan data, pengelompokan data), data yang sesuai dengan tujuan penelitian digunakan dalam menganalisis dan data yang tidak sesuai (tidak penting) dihilangkan. Selanjutnya hasil dari proses reduksi data tersebut disajikan dalam penyajian data yang selanjutnya data tersebut bisa dipahami untuk ditarik sebuah kesimpulan atau verifikasi. dan ketika peneliti meragukan hasil temuannya maka peneliti bisa melakukan triangulasi data dengan cara mengecek hasil temuannya. Misalnya dari hasil wawancara seorang kepala sekolah menyebutkan jika mutu PAI di sekolah yang dipimpin adalah bagus karena banyak menjuarai lomba internasional tetapi setelah dilakukan observasi dan dokumentasi ternyata perkataan kepala sekolah tersebut tidak bisa dibuktikan. Maka bisa dilakukan triangulasi (pengecekan keabsahan temuan) dengan cara hasil wawancara kepala sekolah dicek lagi dengan melakukan wawancara kepada waka kurikulum, yang kemudian dalam trianggulasi data pengecekan data semacam ini disebut dengan triangulasi sumber data. Atau bisa juga mengkroscek hasil wawancara dengan obsevasi atau dokumentasi, yang kemudian dalam triangulasi data disebut dengan triangulasi metode. Dan perlu diketahui bahwa analisis data dan triangulasi data harus dilakukan selama proses penelitian berlangsung hingga pada penulisan laporan penelitian. Untuk menghasilkan temuan-temuan yang tidak lagi diragukan kebenarannya (validitasnya).  























DAFTAR RUJUKAN

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta

Herdiansyah., Haris . 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif  Seni Dalam Memahami Fenomena Sosial. Yogyakarta: greentea publishing

Herdiansyah ,Haris. 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ILMU Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Louis, Gottschalk. Understanding History; A Primer of Historical Method terjemahan Nugroho Notosusanto. 1998. Jakarta: UI Press

Rahardjo, Mudjia. Fungsi Teori dan State of the Arts dalam Penelitian dalam http://www.blogspot.com, diakses 11 Maret 2012

Rahardjo, Mudjia.  Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif  dalam http://www.blogspot.com, diakses 11 Maret 2012

Renier, G.J. 1997. History its Purpose and Method terjemahan Muin Umar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sa’idah, Ratnatus. 2011. “Strategi Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Khadijah Surabaya”, Skripsi, Fakultas tarbiyah UIN MALIKI Malang
Universitas Negeri Malang (UM). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian, Edisi Keempat. Malang: UM
Wahidmurni, 2008, Cara Mudah Menulis Proposal dan Laporan Penelitian Lapangan; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  (Skripsi, Disertasi dan Tesis) Malang: UM Press



[1] Straus, Anseirn dan Juliet Corbin, Basicsof Qualitative Research: Gerounded Theory Procedures and Techniques. Dalam Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif , (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 1
[2] Wahidmurni, Cara Mudah Menulis Proposal dan Laporan Penelitian Lapangan; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  (Skripsi, Disertasi dan Tesis) (Malang: UM Press, 2008), hlm. 5-7
[3] Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif Seni Dalam Memahami Fenomena Sosial, (Yogyakarta: greentea publishing, 2009), hlm. 64-65
[4] Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ILMU Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm.66-67
[5] Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif Seni Dalam Memahami Fenomena Sosial,... hlm. 70
[6] Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ILMU Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 75
[7] Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ILMU Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm.76
[8] Mudjia Rahardjo, Fungsi Teori dan State of the Arts dalam Penelitian (http://www.blogspot.com, diakses 11 Maret 2012)
[9]Wahidmurni, Cara Mudah Menulis Proposal dan Laporan Penelitian Lapangan; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  (Skripsi, Disertasi dan Tesis)...hlm. 28
[10] Mudjia Rahardjo, Fungsi Teori dan State of the Arts dalam Penelitian...
[11] I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2006), hlm. 23
[12] I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis,... hlm. 37
[13] Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif  (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007), hlm. 186
[14] Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif ,... hlm. 131
[15] Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif ,... hlm. 131-132
[16] Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif ,... hlm. 132
[17] Cartwright, CA & Cartwright, GP, Developing Observation Skill.  Dalam  Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ILMU Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm.. 131
[18] I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis,... Hlm. 37
[19] Gottschalk, Louis. Understanding History; A Primer of Historical Method (terjemahan Nugroho Notosusanto). (Jakarta: UI Press.1998), hlm. 127
[20] G.J. Renier, 1997. History its Purpose and Method (terjemahan Muin Umar). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1997), hlm. 104
[21] Mudjia Rahardjo, Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif  (http://www.blogspot.com, diakses 11 Maret 2012)
[22] Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif ,... hlm. 209
[23] Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif ,... hlm. 209-210
[24] Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif ,... hlm. 210
[25] Wahidmurni, Cara Mudah Menulis Proposal dan Laporan Penelitian Lapangan; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  (Skripsi, Disertasi dan Tesis),... hlm. 67-668
[26] Ratnatus Sa’idah, “Strategi Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama Islam Pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Khadijah Surabaya, Skripsi, Fakultas tarbiyah UIN MALIKI Malang, 2011, hlm. 120-132
[27] Wahidmurni, Cara Mudah Menulis Proposal dan Laporan Penelitian Lapangan; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif  (Skripsi, Disertasi dan Tesis),... hlm. 69
[28] Universitas Negeri Malang (UM), pedoman penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, artikel, makalah, laporan penelitian, edisi keempat (Malang: UM, 2000), hlm. 45