Jumat, 02 November 2012

Fiqih Kontemporer ( Sebuah Kajian Produk Hukum Majelis Ulama' Indonesia)

            Fiqih Kontemporer (Sebuah Kajian Produk Hukum Majelis Ulama' Indonesia)
Oleh: Ratnatus Saidah

Disajikan Dalam Acara Seminar Kelas Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Oktober, 2012

 
A.    Pendahuluan
Kemajuan dalam bidang iptek dan keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah keseluruh aspek bidang kehidupan. Tidak saja membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, melainkan tidak dapat tidak juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan - persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam pada dasawarsa terakhir semakin tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Oleh karena itu, kiranya sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan. Umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimana kedudukan hal tersebut dalam ajaran Islam atau bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terhadapnya.
Pandangan Islam tentang hal tersebut boleh jadi telah termuat dalam sumber ajaran Islam. Kitab suci Al-Qur'an dan sunnah Nabi, boleh jadi telah termuat dalam khazanah klasik karya peninggalan ulama terdahulu,dan tidak tertutup pula kemungkinan bahwa hal tersebut tidak termuat secara tegas (eksplisit) dan sumber ajaran Islam maupun dalam khzanah klasik itu, atau bahkan belum pernah tersentuh sama sekali.
Jika jawaban persoalan itu telah terkandung dalam al-qur'an atau sunnah maupun dalam khazanah klasik permasalahannya tetap belum selesai sampai disitu, sebab hanya beberapa orang saja yang mampu menelaahnya. Permasalahan akan semakin kompleks jika mengenainya belum pernah dibicarakan sama sekali.
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan. Persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara I'tiqadi maupun secara syari'i. Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi. Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana MUI memutuskan beberapa  permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.
B.    Pembahasan
1.    Metode Ijtihad
Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:
a.    Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
b.    Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa
c.    Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.
d.    Al-Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,  sedangkan menurut ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
e.    Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak)  sedangkan menurut ahli istilah Al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatan.
f.    Istishhab
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan. Berdasarkan kaidah:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
g.    Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.
h.    Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Pengertian sadd adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah “melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
i.    Madzhab Shahaby
Setelah Rasulullah wafat, tampilah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah. Jadi, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
j.    Syar’u Man Qablana (Syari’at Sebelum Kita)
Suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita.
k.    Kaidah Ushuliyyah ditinjau dari Segi Bahasa
1)    Al-‘Amm
Lafadz ‘Amm ialah lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
2)    Al-Khas
Lafadz khas ialah setiap lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).




2.    Masalah Hukum Islam (Sebuah Produk Fatwa MUI)
Bab: Ketentuan Hukum Ibadah
a.    Pemberian Zakat untuk Beasiswa
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Ramadhan 1416 H / 10 Februari 1996 M, yang kemudian dilanjutkan pada hari Rabu 24 Ramadhan 1416 H / 14 Februari 1996 M membahas tentang pemberian zakat untuk beasiswa, merumuskan bahwa “Memberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukumnya adalah SAH, karena termasuk dalam asnaf fi sabilillah.
Sidang memberikan pertimbangan bahwa pelajar/ mahasiswa/ sarjana muslim, penerima zakat beasiswa, hendaknya:
a)    Berprestasi akademik
b)    Diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu.
c)    Mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam penetapan hukum pemberian zakat untuk beasiswa adalah dengan menggunakan kaidah ushul fiqh ditinjau dari kaidah bahasa yaitu metode al-‘Am (lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafdz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu ).
Aspek kebahasaan yang menunjukkan lafdz al-‘Am adalah kata-kata   yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
                         
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
MUI merumuskan pemberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa dihukumi SAH karena orang yang menuntut ilmu di jalan Allah termasuk dalam asnaf fi sabilillah yaitu termasuk orang yang berjihad di jalan Allah, dan apabila orang yang sedang berjihad di jalan Allah terbengkalai dengan masalah keuangan, maka zakat bisa dialokasikan untuk membantu keperluan pendidikan. disamping itu MUI juga menggunakan metode Qiyas dalam penetapan hukum zakat ini, yaitu mengqiyaskan zakat untuk beasiswa terhadap nash al-Qur’an sebagaimana tersebut diatas.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mempertimbangkan kondisi perekonomian mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah, mahalnya biaya pendidikan saat ini, serta semakin ketatnya persaingan dalam era globalisasi, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan, keputusan fatwa MUI yang mengesahkan pemberian zakat untuk beasiswa terutama bagi mereka yang berprestasi akademik, kurang mampu dan mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia sangatlah baik atau sesuai dengan keadaan Indonesia saat ini.
b.    Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Bulan Jumadil Awal 1404/ Maret 1984 menghimbau kepada Ummat Islam  Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk:
a)    Menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan dengan syarat istitha'ah dalam arti yang luas.
b)    Memberi kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji terutama kepada keluarga yang belum haji.
c)    Kepada umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu, disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum, disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum ibadah haji hanya sekali seumur hidup adalah dengan menggunakan kaidah al-Mashlahah al-Mursalah (kesejahteraan umum). Metode ini digunakan agar para peminat haji yang sudah pernah melaksanakan haji yang kesekian kalinya, bisa memberikan kesempatan bagi para peminat haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji, serta dana yang awalnya digunakan untuk haji sunnah bisa dizakatkan atau disodaqohkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dengan demikian akan terjadi simbiosis mutualisme, bagi orang yang memberikan kesempatan haji bagi yang belum pernah melaksanakan serta menafkahkan dana haji sunnah kepada yang membutuhkan akan mendapatkan pahala, dan bagi orang yang diberi kesempatan serta orang yang diberi shodaqoh juga akan mendapat keuntungan, hal demikian akan menimbulkan kesejahteraan umum.

3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Tinjauan Konteks ke-Indonesia-an
Ditinjau dari banyaknya peminat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji semakin bertambah dari tahun ke tahun atau bisa dikatakan jauh lebih banyak dari kuota yang tersedia (over kuota), fatwa MUI telah menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk malaksanakan haji sekali seumur hidup, Hanya saja fatwa MUI ini tidak berani menegaskan bahwa haji kedua dan seterusnya adalah terlarang. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agamapun tidak dapat melarang orang menunaikan haji kedua kali, sehingga ketika yang bersangkutan mendaftar, langsung masuk dalam waiting list.
Menurut hemat penulis, banyaknya peminat haji yang ingin melaksanakan ibadah haji, hendaknya fatwa MUI yang berkaitan dengan haji hanya sekali seumur hidup bukan hanya himbauan semata, akan tetapi larangan, alasan penulis berkaitan dengan haji yang kedua dan seterusnya adalah sebagai berikut:
a)    Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Tidak ada perintah kedua kali dan selanjutnya. Haji berikutnya tidak memberi manfaat kecuali pahala sunnah, bahkan haji kedua dan seterusnya akan memberi mafsadah/ kerugian bagi calon jamaah haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji.
b)    Ibadah sunnah bisa diterima setelah ibadah wajib usai ditunaikan. Banyak jamaah haji yang begitu mudah mengeluarkan dana untuk haji sunnah, sementara ia belum selesai menunaikan yang wajib, seperti membayar zakat dan hutangnya. Padahal, sebelum berhaji masalah wajib harus ditunaikan terlebih dahulu.
c)    Mencegah kerusakan harus diprioritaskan daripada mencari kepentingan. Dari pemahaman ini, banyak orang yang keras kepala melanggar berbagai aturan hanya untuk bisa menunaikan ibadah haji sunnah yang sudah dibatasi itu. Misalnya dengan mengambil porsi orang lain.
d)    Masalah agama harus dirujuk kepada para ulama. Beberapa ulama banyak menyarankan dan menasehatkan agar dana untuk haji sunnah dipergunakan untuk sedekah meringankan umat Islam lainnya

Bab: Ketentuan Hukum Paham Keagamaan
a.    Ahmadiyah Qadiyan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam Musyawarah Nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H / 26 Mei-1 Juni 1980 M di Jakarta memfatwakan tentang jama’ah Ahmadiyah sebagai berikut:
a)    Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam sembilan buah buku tentang ahmadiyah, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah luar Islam sesat dan menyesatkan.
b)    Dalam menghadapi persoalan ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama’ Indonesia selalu berhubungan dengan pemerintah.
Adanya beberapa fakta tersebut kemudian Majelis Ulama’ Indonesia menyerukah bahwa:
a)    Agar Majelis Ulama’ Indonesia, majelis ulama’ daerah tingkat I, daerah tingkat II, para ulama’ dan da’i di seluruh Indonesia menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya jama’at Ahmadiyah Qadiyah yang berada di luar Islam.
b)    Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti jama’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
c)    Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham sesat. 
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia Dalam merespon aliran tersebut menggunakan al-Qur’an surat : (al-Ahzab [33]: 40)
•           • 
Artinya:  Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa kenabian Muhammad merupakan penutup dari para Nabi yang diutus kepada umat manusia. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada nabi lagi yang diutus.
Ayait inilah yang kemudian di Qiyaskan oleh Majelis Ulama’ Indonesia dalam menyanggah sebuah pernyataan dari aliran Ahmadiyah Qadiyan yang  mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad.
 Majelis Ulama’ Indonesia juga menggunakan hadits dalam memutuskan fatwa tentang aliran Ahmadiyah Qadiyan, yaitu hadits dari  Imam Bukhari yang berbunyi:
قال رسول الله, لا نبي بعد (رواه البخاري)
Artinya: "Bersabda Rasulullah: Tidak ada nabi sesudahku." (HR. al-Bukhari).
Dalam konteks tertentu, Ijma’ dipergunakan, seperti ketika MUI  memfatwakan kesesatan aliran Ahmadiyah Qadiyah. Secara umum,  fatwa tentang aliran sesat ini dikeluarkan untuk menghilangkan keresahan dalam masyarakat. Jadi, MUI mengedepankan maqashid al-syari’ah, yaitu terpeliharanya agama dalam kebutuhan primer manusia.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mengingat Eksistensi Ahmadiyah Qadiyan yang dilegalisasi oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan keresahan di dalam tubuh umat Islam yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat mengalami ketakutan terhadap berkembangnya ajaran-ajaran dan aqidah yang berseberangan dengan ajaran Islam yaitu pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad. Maka Majelis ulama’ Indonesia mengeluarkan fatwa akan sesatnya jema’ah Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam, serta menghimbau untuk mempertinggi kewaspadaan masyarakat Indonesia sehingga tidak mudah terpengaruh oleh faham sesat itu.

Bab : Ketentuan Hukum Masalah Sosial Kemasyarakatan
a.    Perkawinan Campuran
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam musyawarah nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei - 1 Juni 1980 M, memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a)    Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
b)    Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab terdapat perbedaan pendapat setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram. 
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Pada Masalah perkawinan antar agama, Majelis Ulama’ Indonesia berdiri sendiri dalam memecahkan hukum tersebut tanpa dipengaruhi oleh pendapat ahli hukum terdahulu. Sebagai buktinya, dengan tegas Majelis Ulama’ Indonesia menyatakan haram dengan berdalil pada al-Qur'an  Qs. Al-Baqarah: 221, Qs. Al-Maidah: 5, Qs. Al-Mumtahanah: 10 dan Qs. At-Tahrim: 6 yang secara garis besar menjelaskan larangan menikahi wanita atau laki-laki non muslim, serta larangan untuk menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim ataupun sebaliknya. MUI dalam hal ini juga menggunakan Hadits untuk melakukan istimbath tentang perkawinan campuran tersebut diantaranya adalah. Hadits yang diriwayatkan oleh Tabhrani dan hadits riwayat Aswad bin Sura’i yang artinya:
“Barang siapa telah kawin ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain”(HR. Thabrani)
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka ibu bapak nyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi ”(HR. Aswad bin Sura’i)
Nilai implisit dari ayat dan hadits diatas adalah perintah untuk menyelamatkan orang-orang yang berada dalam pengampuan kita dari api neraka. Didalam keluarga, orang tua bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya, baik di dunia dan akhirat. Dengan membiarkan anak-anak memeluk agama selain Islam, berarti orang tua seakan-akan membiarkan anaknya menjadi bahan bakar neraka. Sedangkan istri menjadi tanggung jawab suaminya, karena suami adalah kepala keluarga yang berkewajiban membimbing anak dan istrinya pada jalan Islam.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’.
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk. Maka untuk mengantisipasi terjadinya pernikahan beda agama tersebut MUI dengan tegas memutuskan bahwa perkawinan campuran (pernikahan beda agama) diharamkan hukumnya.

b.    Cecak, Tokek Dan Kadal Sebagai Bahan Obat
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam hal ini Majelis Ulama’ Indonesia propinsi Jawa Timur memutuskan dan menetapkan  pada tanggal 10 Rabiul Awal 1433 H / 22 Mei 2002 M tentang penggunaan hewan cecak, tokek, dan kadal sebagai obat adalah sebagai berikut:
Pertama, hukum penggunaan cecak (hemidactylus sp), tokek (gecko sp), dan kadal (maboya sp) sebagai bahan obat adalah halal
Kedua, surat keputusan ini mulai berlaku tanggal ditetapkan. Dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya maka akan dilakukan pembetulan sebagaimana mestinya.  
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan obat adalah berdasarkan pada QS. al-A’raf [7]: 157, QS. Al-An’am [6]: 145, dan QS. Al-Maidah [5]:  3. Yang secara garis besar, ayat-ayat tersebut menyatakan kehalalan segala yang baik dan keharaman segala yang buruk, pengharaman bangkai, darah yang mengalir, dan babi serta hewan yang disembelih tidak dengan nama Allah, hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam oleh binatang buas, kecuali apabila sempat disembelih. Lebih khusus, Hadits yang diriwayatkan oleh   Muslim, Abu Dawud dan Ahmad dari Amir ibn Sa'ad, Nabi:
ان النبى أمر بقتل الوزع وسماّ ه فو يسقا
Artinya: "Nabi memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya   sebagai binatang yang berbahaya.”
Selain itu dalam memutuskan fatwa tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan  obat MUI juga menggunakan kaidah ushuliyyah:
أ لحاجة تنزل منزلة الضرورة في إباحة المحضورات
Artinya: (hajat [kebutuhan yang mendesak] itu sama dengan darurat dalam hal kebolehan melakukan hal-hal yang dilarang)
Artinya setiap yang mengandung unsur dharurat dan mendesak maka diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang, selama tidak melanggar yang di syari’atkan sebelumnya. Selain itu ijma’ ulama dan kajian zoologi juga menjadi pertimbangan MUI dalam memutuskan fatwa hukum ini, ijma’ ulama menyatakan bahwa jumhur ulama’ termasuk di dalamnya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan haram makan binatang melata seperti tikus, ular, cicak, kadal dan yang serupa dengannya. Imam Malik menyatakan bahwa semua itu makruh bukan haram. Tetapi jika binatang tersebut dipergunakan untuk obat maka menurut jumhur ulama’ “boleh/halal” karena telah menjadi hajat manusia. Sedangkan dari segi kajian zoologi cicak, tokek, dan kadal bukan binatang yang memiliki taring, binatang berracun, binatang buas, binatang yang berdarah panas, dan bukan juga binatang yang berdarah dingin. Sehingga penggunaannya ketika dalam keadaan yang sangat terpaksa sehingga tidak ada jalan lain selain melakukan atau mengkonsumsi yang haram, maka melakukan atau mengkonsumsinya diperbolehkan, bahkan diharuskan. Namun, bila ada alternatif lain, maka pilihan untuk melakukan atau mengkonsumsi alternatif tersebut harus ditangguhkan.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
    Akhir-akhir ini, cicak, tokek, dan kadal menjadi populer di tengah masyarakat Indonesian karena dipercaya dapat menjadi alternatif dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit membandel seperti, gatal-gatal, kadas, kudis, kurap, panu, bisul, eksim, dan lain-lain yang tidak bisa disembuhkan oleh obat-obatan selain obat yang terbuat dari tiga jenis binatag tersebut. Oleh karena itu Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenagan dalam memutuskan fatwa hukum Islam menetapkan bahwa mengkonsumsi cicak, tokek, dan kadal diperbolehkan hukumnya jika dalam keadaan mendesak dan dharurat.

  Bab: Ketentuan Hukum Masalah Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
a.    Bayi Tabung (inseminasi buatan)
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam masalah ini dewan pimpinan Majelis Ulama’ Indonesia memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a.    Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hal ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.    Bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram.
c.    Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
d.    Bayi tabung yang sperma dan ovumya diambil dari selain pasangan suami-isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina).
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Sedangkan dalam permasalahan yang lain seperti bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain maka hukumnya adalah haram, hal ini berdasarkan pada kaidah Sadd adz-dzari’ah. Sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, begitu juga sebaliknya).
kaidah Sadd adz-dzari’ah ini juga berlaku pada dua permasalahan yang berbeda pertama, permasalahan bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia yaitu haram, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. Kedua, bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis diluar pernikahan  yang sah (zina) yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Kesulitan memiliki keturunan di Indonesia telah banyak di alami oleh sebagian besar pasangan suami isteri oleh karena itu teknologi bayi tabung menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahn tersebut. Teknologi bayi tabung merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan teknologi bayi tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa bayi tabung hanya diperbolehkan ketika sperma dan ovum berasal dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh).
b.    Kloning
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Fatwa musyawarah nasional VI Majelis Ulama’ Indonesia tentang kloning pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 141 H / 29 Juli 2000 M memutuskan dan menetapkan bahwa:
a.    Kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram
b.    Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan kemudharatan (hal-hal negatif)
c.    Mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia
d.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama para ulama’ untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi kloning, meneliti peristilahan dan permasalahannya, serta menyelenggarakan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
e.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk mendorong pembentukan (pendirian) dan mendukung institusi-institusi ilmiah yang menyelenggarakan penelitian di bidang biologi dan teknik rekayasa genetika pada selain bidang kloning manusia yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
f.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk segera merumuskan kriteria dan kode etik penelitian dan eksperimen di bidang biologi untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukan.
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa-fatwa dalam hukum Islam memutuskan untuk memperbolehkan melakukan kloning sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan madharat. Oleh sebab itu dalam memutuskan permaslahan yang terkait dengan kloning baik itu terhadap manusia, tumbuh-tumbuhan, ataupun hewan Majelis Ulama’ Indonesia dalam hal ini menggkajinya dengan menggunakan kaidah ushulul fiqh yaitu Al-Maslahah Al-Mursalah. 
Kaidah ini digunakan jika suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi tidak juga ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat maka penentuan hukumnya harus berdasrkan pada Al-Maslahah Al-Mursalah.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Berkaitan dengan kloning, para ilmuwan dan agamawan juga memiliki sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak para ilmuwan berusaha untuk meneruskan percobaannya, sementara di lain pihak para agamawan dengan berbagai dalilnya menolak kloning manusia secara tegas. Secara aklamasi mereka memutuskan bahwa kloning terhadap hewan dan tumbuhan diperbolehkan karena jika kloning dilakukan pada tumbuhan dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak. Akan diperoleh tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat dan dengan sifat yang identik atau sama dengan induknya. Jika tanaman induk mempunyai sifat-sifat unggul maka dapat dipastikan keturunannya pun akan memiliki sifat unggul yang sama dengan induknya. Di Indonesia Upaya kloning pada tumbuhan juga dapat di gunakan sebagai upaya konservasi tumbuhan langka. Disamping itu adanya teknologi kloning pada tumbuhan juga dapat meningkatkan agrobisnis akan tetapi tidak demikian dengan kloning terhadap manusia. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan kloning pada manusia tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa melakukan kloning pada manusia adalah haram hukumnya.

Bab: Ketentuan Hukum Masalah Lembaga Keuangan Syari’ah
a.    Tabungan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang fatwa Majelis Ulama’ Indonesia pada tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H/ 1 Apr il 2000 memutuskan fatwa tentang tabungan:
Pertama
Tabungan ada dua jenis:
a)    Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
b)    Tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Kedua  
Ketentuan umum tabungan berdasarkan mudhorobah:
a)    Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shohibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudhorib atau pengelola dana.
b)    Dalam kapasitasnya sebagai mudhorib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya mudhorobah dengan pihak lain.
c)    Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai, bukan piutang.
d)    Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukuan rekening.
e)    Bank sebagai mudhorib menutup biaya operasional tabungan dengna menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f)    Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga 
Ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a)    Bersifat simpanan
b)    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
c)    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘Athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank.
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Dalam menetapkan fatwa tentang tabungan, majelis ulama’ Indonesia menggunakan metode:
a)    Ijma’, diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’   
b)    Qiyas, hadits Nabi riwayat Ibnu Majah yang artinya:
   “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqorodhoh (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari shuhaib)”. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah (secara terminologi adalah suatu akan dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya ). 
c)    Kaidah fiqih :
عَلَى تَحْرِيْميْهاَ اَلأَصْلُ فيِ الْمُعَا مَلاَتِ أَلأِبَاحَةُ إِلأَ أَنْ يَدُلُ دَلِيْلٌ
Artinya: “pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang menharamkannya”.
d)    Para ulama’ menyatakan dalam kenyataannya banyak orang yang mempunyai harta, namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memprodutifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama diantara kedua pihak tersebut.
3)    Penetapan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Seiring dengan berkembangnya tingkat perekonomian sebagian besar masyaralat Indonesia, tabungan menjadi alternatif dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam penyimpanan kekayaan, sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia memerlukan jasa perbankan dibidang penghimpunan dana masyarakat berupa tabungan. Namun tidak semua tabungan dapat dibenarkan dalam syari’at Islam. oleh karenanya MUI perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tabungan bank.



















C.    Penutup
Dalam melakukan pengkajian masalah yang akan ditentukan hukumnya, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok. Hampir seluruh fatwa-fatwa Komisi Fatwa selalu mendasarkan pada al- Qur’an dan Sunnah.
Meskipun terdapat beberapa fatwa yang tidak mencantumkan al-Qur’an   dan Sunnah sebagai pijakan, namun jumlahnya tidak signifikan. Jadi, dalam      menetapkan hukum permasalahan tertentu, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode bayaniy atau pengambilan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah secara langsung.
Namun, apabila al-Qur’an dan Sunnah belum menetapkan secara qath’i, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode ta’liliy atau qiyasiy, yaitu menetapkan hukum permasalahan baru karena adanya persamaan illat dengan permasalahan yang sudah ada ketetapannya dalam nash.
Sebagaimana metode bayaniy, metode ta’liliy atau qiyâsiy sering dipergunakan oleh Komisi Fatwa, terutama terhadap permasalahan baru yang belum ada ketetapannya secara qath’i dari nash.
Meskipun Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan fatwa-fatwanya pada al- Qur’an dan Sunnah, bukan berarti tidak memandang pada kepentingan kemanusiaan. Apabila metode bayaniy dan metode ta’liliy atau qiyasiy masih belum mewujudkan ke-mashlahah-an, maka Komisi Fatwa mempergunakan metode istislahiy, yaitu cara istinbath hukum mengenai  suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak  adanya  dalil  khusus mengenai masalah tersebut dengan berpijak pada asas kemashlahatan yang sesuai dengan maqashid asy-syari’ah.

        


DAFTAR RUJUKAN
Buchori, Abdusshomad, dkk. 2003. 101 Masalah Hukum Islam; Sebuah Produk Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Surabaya: Pustaka Da’I Muda
Syafe’i, Rahmat. 2007.  Ilmu Ushul Fiqh; Untuk UIN, Stain, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani
Khallaf, Abdul Wahab . 2002.  Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushulul Fiqh . Jakarta: Raja Grafindo Persada

http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah shul-fiqh.html. diakses pada 05 Oktober 2012
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003. Website : hhtp ://geocities.com/al-qur’an indo.
  

FIQIH KONTEMPORER (KAJIAN PRODUK HUKUM MUI)

                          “KAJIAN PRODUK HUKUM MAJELIS ULAMA INDONESIA”
                                                      Oleh:  Ratnatus Saidah

                      Disajikan Dalam Acara Seminar Kelas Magister Pendidikan Agama Islam
                                  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
                                                                 Oktober, 2012

A.    Pendahuluan
Kemajuan dalam bidang iptek dan keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah keseluruh aspek bidang kehidupan. Tidak saja membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, melainkan tidak dapat tidak juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan - persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam pada dasawarsa terakhir semakin tumbuh subur di bumi Nusantara ini. Oleh karena itu, kiranya sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan. Umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimana kedudukan hal tersebut dalam ajaran Islam atau bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terhadapnya.
Pandangan Islam tentang hal tersebut boleh jadi telah termuat dalam sumber ajaran Islam. Kitab suci Al-Qur'an dan sunnah Nabi, boleh jadi telah termuat dalam khazanah klasik karya peninggalan ulama terdahulu,dan tidak tertutup pula kemungkinan bahwa hal tersebut tidak termuat secara tegas (eksplisit) dan sumber ajaran Islam maupun dalam khzanah klasik itu, atau bahkan belum pernah tersentuh sama sekali.
Jika jawaban persoalan itu telah terkandung dalam al-qur'an atau sunnah maupun dalam khazanah klasik permasalahannya tetap belum selesai sampai disitu, sebab hanya beberapa orang saja yang mampu menelaahnya. Permasalahan akan semakin kompleks jika mengenainya belum pernah dibicarakan sama sekali.
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan. Persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara I'tiqadi maupun secara syari'i. Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi. Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana MUI memutuskan beberapa  permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.

B.    Pembahasan
1.    Metode Ijtihad
Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:
a.    Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).

b.    Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa

c.    Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.

d.    Al-Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,  sedangkan menurut ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

e.    Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak)  sedangkan menurut ahli istilah Al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatan.

f.    Istishhab
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan. Berdasarkan kaidah:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.

g.    Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.

h.    Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Pengertian sadd adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah “melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).

i.    Madzhab Shahaby
Setelah Rasulullah wafat, tampilah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah. Jadi, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.

j.    Syar’u Man Qablana (Syari’at Sebelum Kita)
Suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita.

k.    Kaidah Ushuliyyah ditinjau dari Segi Bahasa
1)    Al-‘Amm
Lafadz ‘Amm ialah lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
2)    Al-Khas
Lafadz khas ialah setiap lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).

2.    Masalah Hukum Islam (Sebuah Produk Fatwa MUI)
Bab: Ketentuan Hukum Ibadah
a.    Pemberian Zakat untuk Beasiswa
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Ramadhan 1416 H / 10 Februari 1996 M, yang kemudian dilanjutkan pada hari Rabu 24 Ramadhan 1416 H / 14 Februari 1996 M membahas tentang pemberian zakat untuk beasiswa, merumuskan bahwa “Memberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukumnya adalah SAH, karena termasuk dalam asnaf fi sabilillah.
Sidang memberikan pertimbangan bahwa pelajar/ mahasiswa/ sarjana muslim, penerima zakat beasiswa, hendaknya:
a)    Berprestasi akademik
b)    Diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu.
c)    Mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam penetapan hukum pemberian zakat untuk beasiswa adalah dengan menggunakan kaidah ushul fiqh ditinjau dari kaidah bahasa yaitu metode al-‘Am (lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafdz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu ).
Aspek kebahasaan yang menunjukkan lafdz al-‘Am adalah kata-kata   yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
                         
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
MUI merumuskan pemberikan uang zakat untuk keperluan pendidikkan, khususnya dalam bentuk beasiswa dihukumi SAH karena orang yang menuntut ilmu di jalan Allah termasuk dalam asnaf fi sabilillah yaitu termasuk orang yang berjihad di jalan Allah, dan apabila orang yang sedang berjihad di jalan Allah terbengkalai dengan masalah keuangan, maka zakat bisa dialokasikan untuk membantu keperluan pendidikan. disamping itu MUI juga menggunakan metode Qiyas dalam penetapan hukum zakat ini, yaitu mengqiyaskan zakat untuk beasiswa terhadap nash al-Qur’an sebagaimana tersebut diatas.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mempertimbangkan kondisi perekonomian mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah, mahalnya biaya pendidikan saat ini, serta semakin ketatnya persaingan dalam era globalisasi, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan, keputusan fatwa MUI yang mengesahkan pemberian zakat untuk beasiswa terutama bagi mereka yang berprestasi akademik, kurang mampu dan mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia sangatlah baik atau sesuai dengan keadaan Indonesia saat ini.
b.    Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Bulan Jumadil Awal 1404/ Maret 1984 menghimbau kepada Ummat Islam  Indonesia yang sudah melaksanakan haji untuk:
a)    Menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali seumur hidup dan dengan syarat istitha'ah dalam arti yang luas.
b)    Memberi kesempatan pada mereka yang belum menunaikan ibadah haji terutama kepada keluarga yang belum haji.
c)    Kepada umat Islam yang sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji akan lebih bermanfaat bila dana yang tersedia itu, disalurkan untuk amal/jariyah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umum, disamping mendapat pahala yang terus mengalir bagi yang melaksanakannya.
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum ibadah haji hanya sekali seumur hidup adalah dengan menggunakan kaidah al-Mashlahah al-Mursalah (kesejahteraan umum). Metode ini digunakan agar para peminat haji yang sudah pernah melaksanakan haji yang kesekian kalinya, bisa memberikan kesempatan bagi para peminat haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji, serta dana yang awalnya digunakan untuk haji sunnah bisa dizakatkan atau disodaqohkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dengan demikian akan terjadi simbiosis mutualisme, bagi orang yang memberikan kesempatan haji bagi yang belum pernah melaksanakan serta menafkahkan dana haji sunnah kepada yang membutuhkan akan mendapatkan pahala, dan bagi orang yang diberi kesempatan serta orang yang diberi shodaqoh juga akan mendapat keuntungan, hal demikian akan menimbulkan kesejahteraan umum.

3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Tinjauan Konteks ke-Indonesia-an
Ditinjau dari banyaknya peminat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji semakin bertambah dari tahun ke tahun atau bisa dikatakan jauh lebih banyak dari kuota yang tersedia (over kuota), fatwa MUI telah menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk malaksanakan haji sekali seumur hidup, Hanya saja fatwa MUI ini tidak berani menegaskan bahwa haji kedua dan seterusnya adalah terlarang. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agamapun tidak dapat melarang orang menunaikan haji kedua kali, sehingga ketika yang bersangkutan mendaftar, langsung masuk dalam waiting list.
Menurut hemat penulis, banyaknya peminat haji yang ingin melaksanakan ibadah haji, hendaknya fatwa MUI yang berkaitan dengan haji hanya sekali seumur hidup bukan hanya himbauan semata, akan tetapi larangan, alasan penulis berkaitan dengan haji yang kedua dan seterusnya adalah sebagai berikut:
a)    Haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Tidak ada perintah kedua kali dan selanjutnya. Haji berikutnya tidak memberi manfaat kecuali pahala sunnah, bahkan haji kedua dan seterusnya akan memberi mafsadah/ kerugian bagi calon jamaah haji yang lainnya yang belum pernah melaksanakan haji.
b)    Ibadah sunnah bisa diterima setelah ibadah wajib usai ditunaikan. Banyak jamaah haji yang begitu mudah mengeluarkan dana untuk haji sunnah, sementara ia belum selesai menunaikan yang wajib, seperti membayar zakat dan hutangnya. Padahal, sebelum berhaji masalah wajib harus ditunaikan terlebih dahulu.
c)    Mencegah kerusakan harus diprioritaskan daripada mencari kepentingan. Dari pemahaman ini, banyak orang yang keras kepala melanggar berbagai aturan hanya untuk bisa menunaikan ibadah haji sunnah yang sudah dibatasi itu. Misalnya dengan mengambil porsi orang lain.
d)    Masalah agama harus dirujuk kepada para ulama. Beberapa ulama banyak menyarankan dan menasehatkan agar dana untuk haji sunnah dipergunakan untuk sedekah meringankan umat Islam lainnya

Bab: Ketentuan Hukum Paham Keagamaan
a.    Ahmadiyah Qadiyan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam Musyawarah Nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H / 26 Mei-1 Juni 1980 M di Jakarta memfatwakan tentang jama’ah Ahmadiyah sebagai berikut:
a)    Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam sembilan buah buku tentang ahmadiyah, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah luar Islam sesat dan menyesatkan.
b)    Dalam menghadapi persoalan ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama’ Indonesia selalu berhubungan dengan pemerintah.
Adanya beberapa fakta tersebut kemudian Majelis Ulama’ Indonesia menyerukah bahwa:
a)    Agar Majelis Ulama’ Indonesia, majelis ulama’ daerah tingkat I, daerah tingkat II, para ulama’ dan da’i di seluruh Indonesia menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya jama’at Ahmadiyah Qadiyah yang berada di luar Islam.
b)    Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti jama’at Ahmadiyah Qadiyan supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
c)    Kepada seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham sesat.  


2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia Dalam merespon aliran tersebut menggunakan al-Qur’an surat : (al-Ahzab [33]: 40)
•           • 
Artinya:  Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa kenabian Muhammad merupakan penutup dari para Nabi yang diutus kepada umat manusia. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada nabi lagi yang diutus.
Ayait inilah yang kemudian di Qiyaskan oleh Majelis Ulama’ Indonesia dalam menyanggah sebuah pernyataan dari aliran Ahmadiyah Qadiyan yang  mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad.
 Majelis Ulama’ Indonesia juga menggunakan hadits dalam memutuskan fatwa tentang aliran Ahmadiyah Qadiyan, yaitu hadits dari  Imam Bukhari yang berbunyi:
قال رسول الله, لا نبي بعد (رواه البخاري)
Artinya: "Bersabda Rasulullah: Tidak ada nabi sesudahku." (HR. al-Bukhari).
Dalam konteks tertentu, Ijma’ dipergunakan, seperti ketika MUI  memfatwakan kesesatan aliran Ahmadiyah Qadiyah. Secara umum,  fatwa tentang aliran sesat ini dikeluarkan untuk menghilangkan keresahan dalam masyarakat. Jadi, MUI mengedepankan maqashid al-syari’ah, yaitu terpeliharanya agama dalam kebutuhan primer manusia.


3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Mengingat Eksistensi Ahmadiyah Qadiyan yang dilegalisasi oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan keresahan di dalam tubuh umat Islam yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat mengalami ketakutan terhadap berkembangnya ajaran-ajaran dan aqidah yang berseberangan dengan ajaran Islam yaitu pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi yang diutus kepada umat Islam sesudah Nabi Muhammad. Maka Majelis ulama’ Indonesia mengeluarkan fatwa akan sesatnya jema’ah Ahmadiyah Qadiyan yang berada di luar Islam, serta menghimbau untuk mempertinggi kewaspadaan masyarakat Indonesia sehingga tidak mudah terpengaruh oleh faham sesat itu.

Bab : Ketentuan Hukum Masalah Sosial Kemasyarakatan
a.    Perkawinan Campuran
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Majelis Ulama’ Indonesia dalam musyawarah nasional tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei - 1 Juni 1980 M, memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a)    Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
b)    Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab terdapat perbedaan pendapat setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama’ Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.  
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Pada Masalah perkawinan antar agama, Majelis Ulama’ Indonesia berdiri sendiri dalam memecahkan hukum tersebut tanpa dipengaruhi oleh pendapat ahli hukum terdahulu. Sebagai buktinya, dengan tegas Majelis Ulama’ Indonesia menyatakan haram dengan berdalil pada al-Qur'an  Qs. Al-Baqarah: 221, Qs. Al-Maidah: 5, Qs. Al-Mumtahanah: 10 dan Qs. At-Tahrim: 6 yang secara garis besar menjelaskan larangan menikahi wanita atau laki-laki non muslim, serta larangan untuk menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim ataupun sebaliknya. MUI dalam hal ini juga menggunakan Hadits untuk melakukan istimbath tentang perkawinan campuran tersebut diantaranya adalah. Hadits yang diriwayatkan oleh Tabhrani dan hadits riwayat Aswad bin Sura’i yang artinya:
“Barang siapa telah kawin ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain”(HR. Thabrani)
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka ibu bapak nyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi ”(HR. Aswad bin Sura’i)
Nilai implisit dari ayat dan hadits diatas adalah perintah untuk menyelamatkan orang-orang yang berada dalam pengampuan kita dari api neraka. Didalam keluarga, orang tua bertanggung jawab terhadap masa depan anaknya, baik di dunia dan akhirat. Dengan membiarkan anak-anak memeluk agama selain Islam, berarti orang tua seakan-akan membiarkan anaknya menjadi bahan bakar neraka. Sedangkan istri menjadi tanggung jawab suaminya, karena suami adalah kepala keluarga yang berkewajiban membimbing anak dan istrinya pada jalan Islam.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’.
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk. Maka untuk mengantisipasi terjadinya pernikahan beda agama tersebut MUI dengan tegas memutuskan bahwa perkawinan campuran (pernikahan beda agama) diharamkan hukumnya.

b.    Cecak, Tokek Dan Kadal Sebagai Bahan Obat
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam hal ini Majelis Ulama’ Indonesia propinsi Jawa Timur memutuskan dan menetapkan  pada tanggal 10 Rabiul Awal 1433 H / 22 Mei 2002 M tentang penggunaan hewan cecak, tokek, dan kadal sebagai obat adalah sebagai berikut:
Pertama, hukum penggunaan cecak (hemidactylus sp), tokek (gecko sp), dan kadal (maboya sp) sebagai bahan obat adalah halal
Kedua, surat keputusan ini mulai berlaku tanggal ditetapkan. Dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya maka akan dilakukan pembetulan sebagaimana mestinya.  
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Metode yang digunakan MUI dalam menetapkan hukum tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan obat adalah berdasarkan pada QS. al-A’raf [7]: 157, QS. Al-An’am [6]: 145, dan QS. Al-Maidah [5]:  3. Yang secara garis besar, ayat-ayat tersebut menyatakan kehalalan segala yang baik dan keharaman segala yang buruk, pengharaman bangkai, darah yang mengalir, dan babi serta hewan yang disembelih tidak dengan nama Allah, hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam oleh binatang buas, kecuali apabila sempat disembelih. Lebih khusus, Hadits yang diriwayatkan oleh   Muslim, Abu Dawud dan Ahmad dari Amir ibn Sa'ad, Nabi:
ان النبى أمر بقتل الوزع وسماّ ه فو يسقا
Artinya: "Nabi memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya   sebagai binatang yang berbahaya.”
Selain itu dalam memutuskan fatwa tentang cecak, tokek dan kadal sebagai bahan  obat MUI juga menggunakan kaidah ushuliyyah:
أ لحاجة تنزل منزلة الضرورة في إباحة المحضورات
Artinya: (hajat [kebutuhan yang mendesak] itu sama dengan darurat dalam hal kebolehan melakukan hal-hal yang dilarang)
Artinya setiap yang mengandung unsur dharurat dan mendesak maka diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang, selama tidak melanggar yang di syari’atkan sebelumnya. Selain itu ijma’ ulama dan kajian zoologi juga menjadi pertimbangan MUI dalam memutuskan fatwa hukum ini, ijma’ ulama menyatakan bahwa jumhur ulama’ termasuk di dalamnya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan haram makan binatang melata seperti tikus, ular, cicak, kadal dan yang serupa dengannya. Imam Malik menyatakan bahwa semua itu makruh bukan haram. Tetapi jika binatang tersebut dipergunakan untuk obat maka menurut jumhur ulama’ “boleh/halal” karena telah menjadi hajat manusia. Sedangkan dari segi kajian zoologi cicak, tokek, dan kadal bukan binatang yang memiliki taring, binatang berracun, binatang buas, binatang yang berdarah panas, dan bukan juga binatang yang berdarah dingin. Sehingga penggunaannya ketika dalam keadaan yang sangat terpaksa sehingga tidak ada jalan lain selain melakukan atau mengkonsumsi yang haram, maka melakukan atau mengkonsumsinya diperbolehkan, bahkan diharuskan. Namun, bila ada alternatif lain, maka pilihan untuk melakukan atau mengkonsumsi alternatif tersebut harus ditangguhkan.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
    Akhir-akhir ini, cicak, tokek, dan kadal menjadi populer di tengah masyarakat Indonesian karena dipercaya dapat menjadi alternatif dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit membandel seperti, gatal-gatal, kadas, kudis, kurap, panu, bisul, eksim, dan lain-lain yang tidak bisa disembuhkan oleh obat-obatan selain obat yang terbuat dari tiga jenis binatag tersebut. Oleh karena itu Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenagan dalam memutuskan fatwa hukum Islam menetapkan bahwa mengkonsumsi cicak, tokek, dan kadal diperbolehkan hukumnya jika dalam keadaan mendesak dan dharurat.

  Bab: Ketentuan Hukum Masalah Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
a.    Bayi Tabung (inseminasi buatan)
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Dalam masalah ini dewan pimpinan Majelis Ulama’ Indonesia memutuskan dan memfatwakan bahwa:
a.    Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hal ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.    Bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram.
c.    Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
d.    Bayi tabung yang sperma dan ovumya diambil dari selain pasangan suami-isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina). 
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Sedangkan dalam permasalahan yang lain seperti bayi tabung dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri yang lain maka hukumnya adalah haram, hal ini berdasarkan pada kaidah Sadd adz-dzari’ah. Sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, begitu juga sebaliknya).
kaidah Sadd adz-dzari’ah ini juga berlaku pada dua permasalahan yang berbeda pertama, permasalahan bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia yaitu haram, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. Kedua, bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis diluar pernikahan  yang sah (zina) yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Kesulitan memiliki keturunan di Indonesia telah banyak di alami oleh sebagian besar pasangan suami isteri oleh karena itu teknologi bayi tabung menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahn tersebut. Teknologi bayi tabung merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan teknologi bayi tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa bayi tabung hanya diperbolehkan ketika sperma dan ovum berasal dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh).
b.    Kloning
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Fatwa musyawarah nasional VI Majelis Ulama’ Indonesia tentang kloning pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 141 H / 29 Juli 2000 M memutuskan dan menetapkan bahwa:
a.    Kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram
b.    Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan kemudharatan (hal-hal negatif)
c.    Mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia
d.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama para ulama’ untuk senantiasa mengikuti perkembangan teknologi kloning, meneliti peristilahan dan permasalahannya, serta menyelenggarakan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.
e.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk mendorong pembentukan (pendirian) dan mendukung institusi-institusi ilmiah yang menyelenggarakan penelitian di bidang biologi dan teknik rekayasa genetika pada selain bidang kloning manusia yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
f.    Mewajibkan kepada semua pihak, terutama ulama’ dan umara’ untuk segera merumuskan kriteria dan kode etik penelitian dan eksperimen di bidang biologi untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukan.
2)    Metode Yang Digunakan Sebagai Penetapan Hukum
Majelis Ulama’ Indonesia sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa-fatwa dalam hukum Islam memutuskan untuk memperbolehkan melakukan kloning sepanjang dilakukan demi kemaslahatan atau menghindarkan madharat. Oleh sebab itu dalam memutuskan permaslahan yang terkait dengan kloning baik itu terhadap manusia, tumbuh-tumbuhan, ataupun hewan Majelis Ulama’ Indonesia dalam hal ini menggkajinya dengan menggunakan kaidah ushulul fiqh yaitu Al-Maslahah Al-Mursalah. 
Kaidah ini digunakan jika suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi tidak juga ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat maka penentuan hukumnya harus berdasrkan pada Al-Maslahah Al-Mursalah.
3)    Penetapan Fatwa Majelis ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Berkaitan dengan kloning, para ilmuwan dan agamawan juga memiliki sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak para ilmuwan berusaha untuk meneruskan percobaannya, sementara di lain pihak para agamawan dengan berbagai dalilnya menolak kloning manusia secara tegas. Secara aklamasi mereka memutuskan bahwa kloning terhadap hewan dan tumbuhan diperbolehkan karena jika kloning dilakukan pada tumbuhan dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak. Akan diperoleh tanaman baru dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat dan dengan sifat yang identik atau sama dengan induknya. Jika tanaman induk mempunyai sifat-sifat unggul maka dapat dipastikan keturunannya pun akan memiliki sifat unggul yang sama dengan induknya. Di Indonesia Upaya kloning pada tumbuhan juga dapat di gunakan sebagai upaya konservasi tumbuhan langka. Disamping itu adanya teknologi kloning pada tumbuhan juga dapat meningkatkan agrobisnis akan tetapi tidak demikian dengan kloning terhadap manusia. Maka untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan kloning pada manusia tabung Majelis Ulama’ Indonesia  menyatakan bahwa melakukan kloning pada manusia adalah haram hukumnya.

Bab: Ketentuan Hukum Masalah Lembaga Keuangan Syari’ah
a.    Tabungan
1)    Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia
Sidang fatwa Majelis Ulama’ Indonesia pada tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H/ 1 Apr il 2000 memutuskan fatwa tentang tabungan:
Pertama
Tabungan ada dua jenis:
a)    Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
b)    Tabungan yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Kedua  
Ketentuan umum tabungan berdasarkan mudhorobah:
a)    Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shohibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudhorib atau pengelola dana.
b)    Dalam kapasitasnya sebagai mudhorib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya mudhorobah dengan pihak lain.
c)    Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai, bukan piutang.
d)    Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukuan rekening.
e)    Bank sebagai mudhorib menutup biaya operasional tabungan dengna menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f)    Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga 
Ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a)    Bersifat simpanan
b)    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan
c)    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘Athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank. 
2)    Metode yang digunakan sebagai Penetapan Hukum
Dalam menetapkan fatwa tentang tabungan, majelis ulama’ Indonesia menggunakan metode:
a)    Ijma’, diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’    
b)    Qiyas, hadits Nabi riwayat Ibnu Majah yang artinya: 
   “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqorodhoh (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari shuhaib)”. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah (secara terminologi adalah suatu akan dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya ). 
c)    Kaidah fiqih :
عَلَى تَحْرِيْميْهاَ اَلأَصْلُ فيِ الْمُعَا مَلاَتِ أَلأِبَاحَةُ إِلأَ أَنْ يَدُلُ دَلِيْلٌ
Artinya: “pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang menharamkannya”.
d)    Para ulama’ menyatakan dalam kenyataannya banyak orang yang mempunyai harta, namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memprodutifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama diantara kedua pihak tersebut.
3)    Penetapan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Ditinjau Dari Konteks ke-Indonesia-an
Seiring dengan berkembangnya tingkat perekonomian sebagian besar masyaralat Indonesia, tabungan menjadi alternatif dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam penyimpanan kekayaan, sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia memerlukan jasa perbankan dibidang penghimpunan dana masyarakat berupa tabungan. Namun tidak semua tabungan dapat dibenarkan dalam syari’at Islam. oleh karenanya MUI perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syari’ah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tabungan bank.








C.    Penutup
Dalam melakukan pengkajian masalah yang akan ditentukan hukumnya, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok. Hampir seluruh fatwa-fatwa Komisi Fatwa selalu mendasarkan pada al- Qur’an dan Sunnah.
Meskipun terdapat beberapa fatwa yang tidak mencantumkan al-Qur’an   dan Sunnah sebagai pijakan, namun jumlahnya tidak signifikan. Jadi, dalam      menetapkan hukum permasalahan tertentu, Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode bayaniy atau pengambilan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah secara langsung.
Namun, apabila al-Qur’an dan Sunnah belum menetapkan secara qath’i, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mempergunakan metode ta’liliy atau qiyasiy, yaitu menetapkan hukum permasalahan baru karena adanya persamaan illat dengan permasalahan yang sudah ada ketetapannya dalam nash.
Sebagaimana metode bayaniy, metode ta’liliy atau qiyâsiy sering dipergunakan oleh Komisi Fatwa, terutama terhadap permasalahan baru yang belum ada ketetapannya secara qath’i dari nash.
Meskipun Komisi Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia mendasarkan fatwa-fatwanya pada al- Qur’an dan Sunnah, bukan berarti tidak memandang pada kepentingan kemanusiaan. Apabila metode bayaniy dan metode ta’liliy atau qiyasiy masih belum mewujudkan ke-mashlahah-an, maka Komisi Fatwa mempergunakan metode istislahiy, yaitu cara istinbath hukum mengenai  suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak  adanya  dalil  khusus mengenai masalah tersebut dengan berpijak pada asas kemashlahatan yang sesuai dengan maqashid asy-syari’ah.

        


DAFTAR RUJUKAN
Buchori, Abdusshomad, dkk. 2003. 101 Masalah Hukum Islam; Sebuah Produk Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Surabaya: Pustaka Da’I Muda
Syafe’i, Rahmat. 2007.  Ilmu Ushul Fiqh; Untuk UIN, Stain, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani
Khallaf, Abdul Wahab . 2002.  Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushulul Fiqh . Jakarta: Raja Grafindo Persada

http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah shul-fiqh.html. diakses pada 05 Oktober 2012
Al-Qur’an Digital20.--------- Al-Qur’an & Terjemahnya. Rajab 1424 September 2003. Website : hhtp ://geocities.com/al-qur’an indo.

Kamis, 23 Agustus 2012

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI UMAYYAH

A.  Pendahuluan

Perkembangan sejarah pendidikan dari masa kemasa selalu mengalami progres yang berdampak baik bagi perkembangan intelektual masyarakat Islam pada saat itu sampai sekarang. Pendidikan terus mengalami perkembagan dari masa Rasulullah, masa Khulafa Ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyyah, bahkan dinasti-dinasti kecil yang muncul diantara dinasti kuduanya dan semakin berkembang pula setelah masa pembaharuan pendidikan Islam.
Setelah masa pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin berakhir, maka dilanjutkan oleh Hasan. Akan tetapi, lemahnya posisi Hasan membuat Umayyah berusaha mendapatkan kedudukan tersebut. Setelah Umayyah menjadi dinasti, ia mengubah sistem pemerintahan menjadi Monarki atau Kerajaan. Pada masa dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa Ar-Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra.  Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.  Metode pengajarannya pun tidak sama.  Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu, selain itu pada masa ini juga terjadi pergolakan politik untuk memperluas wilayah kekuasaan. Semua itu berdampak kepada pola pendidikan Islam pada masa itu, mulai dari adanya perbedaan kurikulum antara murid yang sekolah di Khuttab dengan murid yang sekolah di sekolah Istana dan lain sebagainya.
Pada masa Dinasti Umayyah pola pendidikan Islam senantiasa berusaha untuk bisa lebih  maju dari pendidikan Barat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah kegaiatan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, berkembangnya lembaga pendidikan serta kurikulum dan metodenya, berkembangnya ilmu pengetahuan, serta berkembang pula gerakan-gerakan ilmiah yang belum digalakkan pada masa-masa sebelumnya.
B.  Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
1.    Karakteristik Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Ada beberapa karakteristik pendidikan pada masa Dinasti Umayyah yang berbeda dengan masa Rasulullah dan Khulafa Ar-Rasyidin, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Bersifat Arab
Pendidikan pada masa Dinasti Umayyah adalah bersifat Arab dan Islam tulen, artinya yang terlibat dalam dunia pendidikan masih didominasi oleh orang-orang Arab, karena pada saat itu elemen-elemen Islam yang baru belum begitu tercampur. Hal ini disebabkan karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politik agama dan budaya.
b.    Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam Yang Baru Muncul
Sangat wajar kalau pendidikan Islam pada periode awal berusaha untuk menyiarkan Islam dan ajaran-ajarannya, itulah sebabnya pada periode ini banyak dilakukan penaklukan-penaklukan wilayah dalam rangka menyiarkan dan menguatkan prinsip-prinsip agama. Dalam pandangan mereka Islam adalah agama dan negara, sehingga para khalifah mengutus para ulama dan tentara keseluruh negeri untuk menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya. 
c.    Perioritas Pada Ilmu-Ilmu Naqliyah Dan Bahasa
Pada periode ini, pendidikan Islam memberi prioritas pada ilmu-ilmu naqliyah dan bahasa. Kecenderungan naqliyah dan bahasa dalam aspek budaya pendidikan Islam ini sejalan dengan ciri pertama bahwa pendidikan pada masa ini bercorak Arab dan Islam tulen yang terutama bertujuan untuk mengukuhkan dasar-dasar agama 
d.   Menunjukkan Perhatian Pada Bahan Tertulis Sebagai Media Komunikasi
Datangnya Islam merupakan faktor penting bagi munculnya kepentingan penulisan. Pada mulanya penulisan dirasa penting ketika Nabi Muhammad hendak menulis wahyu dan ayat-ayat yang diturunkan. Atas dasar itulah beliau mengangkat orang-orang yang bisa menulis untuk memegang jabatan ini. Pada masa Umayyah tugas penulisan semakin banyak dan terbagi pada lima bidang yaitu, penulis surat, penulis harta, penulis tentara, penulis polisi dan penulis hakim. Dengan demikian pada masa ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan bahasa arab dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun secara tulisan diseluruh wilayah Islam.
e.    Membuka Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing
Keperluan untuk mempelajari bahasa-bahasa asing dirasa sangat perlu semenjak kemunculan Islam yang perama kali walaupun hanya dalam ruang lingkup yang terbatas. Keperluan ini semakin dirasa penting ketika Islam dipegang oleh dinasti Umayyah, dimana wilayah Islam sudah semakin meluas sampai ke Afrika utara dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang bahasa mereka bukanlah bahasa Arab. Dengan demikian pengajaran bahasa asing menjadi suatu keharusan bagi pendidikan Islam masa itu bahkan sejak kemunculan Islam pertama kali.[1]
f.     Menggunakan Surau (Kuttab) dan Masjid
Diantara jasa besar dinasti umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada masa ini pula pendirian masjid banyak dilakukan terutama didaerah-daerah yang baru ditaklukkan, pada masa ini pula didirikan masjid zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua didunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’ yang menaklukkan Afrika utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa kerajaan Umayyah pada saat itu.[2]  

2.    Tempat-Tempat Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Diantara tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
a.    Khuttab
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[3]
b.    Masjid
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah.[4] Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[5]


c.    Majelis Sastra
d.   Pendidikan Istana
yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.[7]
e.    Pendidikan Badiah
yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.[8]

3.    Pusat-Pusat Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut:[9]
a.       Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
b.      Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c.       Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
d.      Madrasah Kufah
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e.       Madrasah Damsyik (Syam)
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f.       Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat yang pertamakali mendirikan madrasah dan menjadi guru dimesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli hadis yang bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi beliau juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana Al-Auza’i di Syam.    

4.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Disamping melakukan ekspansi, pemerintahan dinasti umayyah juga menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama’ mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.[10] Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:[11]    
a.       Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b.      Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
c.       Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d.      Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

5.      Gerakan-Gerakan Ilmiah Pada Masa Bani Umayyah
a.    Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an[12]
Al-Qur’an yang telah dikodifikasikan pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan ditulis tanpa titik, sehingga tidak dapat dibedakan antara huruf fa’ dan huruf qaf  atau buruf ta’ dengan huruf ba’ dan huruf tsa’ dan baris sehingga tidak dapat dibedakan dhamma yang berbunyi “u fathah yang berbunyi ‘a’ dan kasroh yang berbunyi “i”. Menurut salah satu riwayat ulama’ yang pertama kali memberikan baris dan titik pada huruf-huruf al-Qur’an adalah Hasan al-Bashri atas perintah Abd. Malik Ibn Marwan. Beliau menginstruksikan kepada Al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan al-Qur’an, al-Hajjaj meminta Hasan Al-Bashri untuk menyempurnakannya; dan hasan Al-Bashri dibantu oleh Yahya ibn Ya’mura.    


b.   Penulisan Hadits
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri    
   
c.    Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian terkenal dengan sebutan ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak akidah Islam. Kemudian berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.   
     
d.   Madrasah Hasan Al-Bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.          

e.       Gerakan Ijtihad
Dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa sahabat dan seterusnya, dan karena adanya interaksi dengan budaya-budaya bangsa lain, pola kehidupan masyarakat muslim banyak terjadi perubahan dan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Permasalahan-permasalahan baru tersebut mendorong para sahabat untuk menetapkan ketentuan hukum yang sifatnya baru pula. Sebenarnya secara umum Nabi Muhammad saw, telah memberikan pedoman bagaimana cara memberikan keputusan hukum terhadap masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.[13]
Petunjuk Nabi Muhammad saw dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ada dicari dalam sunnah atau hadits, dan jika tidak terdapat dalam keduanya maka gunakan akal pikiran (ijtihad) untuk memberikan ketentuan hukum. Namun demikian, ternyata dalam prakteknya mereka mengalami kesulitan, karena pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum.[14]
Penjelasan yang rinci terdapat dalam hadits Rasulullah. Sedangkan hadits Rasulullah tentunya tidak semua sahabat mengetahuinya secara lengkap. Kesulitan tersebut menjadi lebih nampak  jika suatu perkara terjadi pada daerah yang jauh dari sahabat atau tabi’in yang menanganinya tidak mengetahui hadits yang sesuai. Bagaimana penggunaan ra’yu atau ijtihad tentunya hal ini akan sangat tergantung kepada kemampuan sahabat atau tabi’in atau petugas yang bersangkutan. Dengan demikian dimungkinkan akan timbul berbagai macam keputusan hukum yang berbeda dengan masalah yang sama.[15]  
Menurut Zuhairini, saat itu dalam ijtihad berkembang dua pola, pertama, tokoh-tokoh hadits dalam memberikan ketetapan hukum  sangat tergantung pada ketetapan Rasulullah, sehingga bagaimana pun juga, mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain. Mereka ini lah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tetapi sayangnya pada masa itu telah berkembang pula hadits-hadits palsu untuk kepentingan-kepentingan politik. Pola kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl-al-Ra’yu (ahli pikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak hadits-hadits palsu. Sehubungan dengan itu, mereka hanya menerima hadits-hadits yang kuat atau sahih saja, dan mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu dalam berijtihad. Selanjutnya aliran Ahl-al-Ra’yu ini mendorong usaha penelitian terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah ilmu hadits. Disamping itu, mereka juga mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga melalui mereka berkembanglah apa yang kemudian disebut sebagai ilmu ushul fiqih.[16]
Dari dua pola umum ijtihad tersebut, kemudian berkembang sebagai madzhab (aliran) dalam fiqih, yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya. Diantara ahli-ahli fiqih yang saat itu berhasil mengembangkan satu corak madzhab fiqih adalah Abu Hanifah yang memimpin madrasah Khuffah dan Imam Malik yang memegang madrasah Madinah.   
                       
 




















C.    ANALISIS

Pada masa dinasti Umayah telah terjadi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari Theo Demokrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Pada saat itu situasi politik masih belum stabil sehingga kebijakan pemerintahan dalam pendidikan terus berubah-ubah. Ini dikarenakan upaya peralihan kekuasaan dari Hasan dianggap dilakukan atas dasar kelicikan. Sebelumnya Muawwiyyah telah berjanji tidak akan merubah sistem pemerintahan. Akan tetapi, Muawwiyyah tetap merubah sistemnya menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini sangat berdampak sekali terhadap pola pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa sebelum dinasti Umayah, pendidikan difokuskan di Khuttab dan di Masjid.
Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja didasarkan atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Pendidikan ini bertujuan agar anak-anak para raja diajarkan ilmu-ilmu tentang kepemimpinan dari sebuah kerajaan. Kurikulum dalam pendidikan istana inipun berbeda dengan kurikulum yang diberlakukan di Khuttab atau masjid. Kurikulum di pendidikan istana ini ditentukan dan diatur oleh guru dan orangtua. Ini menyebabkan terjadi perbedaan kurikulum.
Selain itu, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Umayyah, menyebabkan penggunaan bahasa Arab semakin berkembang. Ini menyebabkan berdirinya Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad. Untuk mengimbangi dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada saat itu telah memulai kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang oleh orang barat. Ini bertujuan agar orang-orang Islam bisa memperoleh ilmu dari buku tersebut. tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. 

































DAFTAR RUJUKAN

Al Abrasi, Athiyya. 1993. Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani. Jakarta: Bulan Bintang

Anwar, Saipul. Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah
Langgulung, Hasan. 1980. Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21. Jakarta: Pustaka Al Husna

Langgulung, Hasan. 1998.  Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Husna

Langgulung, Hasan.  2001. Pendidikan Islam Dalam abad Kesatu. Jakarta: Al-Husna Zikra
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: kencana
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta. 1986. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Salabi, Ahmad.  1972. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana
Yunus, Mahmud.  1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hida Karya Agung
Zuhairini. 1992.  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara


[1] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1998), hlm. 69-74
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Dalam abad Keduapuluh satu, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001), hlm. 18
[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm.47
[4] Athiyya Al Abrasi, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hlm. 56
[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 19
[6] Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1972), hlm. 72
[7] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 91
[8] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 96
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989 ), hlm. 34-39
[10] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuk Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: kencana, 2008), hlm.59
[11] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 41-42
[12] Saipul Anwar, Dalam PDF Karya ilmiah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayah

[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hlm. 85